TRIBUNMANADO.COM, Manado - Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (DKP) Sulawesi Utara mendorong lahirnya sebuah regulasi pada level peraturan gubernur (pergub) yang dapat mengatur serta menjamin pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan.
Upaya ini dilakukan melalui diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion, FGD) untuk membahas draf naskah akademik atas Rancangan Pergub Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang digelar di Ruang Rapat Lantai IV Gedung Coral Triangle Initiative, Kairagi, Manado, pada Jumat, 8 Agustus 2025.
FGD dibuka secara resmi oleh Audy Dien SPi MSI selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan-Perikanan DKP Sulut.
FGD dihadiri beberapa mitra DKP dan pemerhati lingkungan kelautan serta staf lingkup Bidang Penataan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Perikanan-Kelautan.
Pengusulan rancangan pergub ini didasari pada kondisi kelautan Sulut.
Sulut dianugerahi luas perairan laut seluas 61.540 km⊃2; dengan panjang pantai 2.395,99 kilometer yang membentang dari ujung utara Kabupaten Kepulauan Talaud yang berbatasan dengan Laut Maluku dan Samudera Pasifik di utara serta Teluk Tomini di sisi selatan.
Dengan area perairan yang sedemikian luas, kompleksitas permasalahan sumber daya perikanan dan kelautan di Provinsi Sulut juga menjadi sangat tinggi.
Eksploitasi sumber daya perikanan yang berlebihan di antaranya maraknya penangkapan ikan ilegal, termasuk oleh kapal asing. Juga keterbatasan armada dan alat tangkap.
Selain itu, rantai pasok yang panjang dan kompleks, serta fluktuasi harga yang tidak stabil hingga masih terbatasnya kualitas sumber daya nelayan.
Hal-hal tersebut merupakan beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Sulut.
Selain itu, keterbatasan alokasi penganggaran untuk kegiatan-kegiatan pengawasan untuk mereduksi pelbagai pelanggaran yang terjadi di laut, semakin menambah kerumitan untuk menjaga kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan dan kelautan yang dimiliki provinsi ini.
Dalam upaya mendorong lahirnya pergub tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mewajibkan bahwa penyusunan sebuah rancangan peraturan daerah, termasuk rancangan peraturan gubernur, harus disertai dengan naskah akademik.
Naskah akademik sebagai landasan ilmiah dan akademis yang memuat analisis masalah yang akan diatur, tujuan pengaturan, serta landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari peraturan gubernur yang akan disusun.
Adapun FGD yang digelar oleh DKP Sulut tersebut didukung oleh para mitra DKP seperti Rare-Indonesia, Wildlife Conservation Society (WCS) serta Yayasan Manengkel Solidaritas.
FGD tersebut menjadi sebuah kebutuhan untuk memberikan wawasan (insight) ataupun mengkritisi draf naskah akademik yang sudah disusun.
Pembahasan dalam FGD juga untuk melengkapi hal-hal yang belum tercantum dalam draf naskah akademik tersebut.
“Kami berharap konsep untuk membangun konstruksi hukum pada tataran pergub yang sesuai dengan kewenangan pemerintah provinsi ini dapat terbangun. Untuk itu, kami perlu masukan dari beberapa pihak untuk memperkaya draf naskah akademik yang telah dibantu oleh teman-teman mitra DKP Provinsi dari Rare-Indonesia,” ujar Audy Dien dalam FGD.
“Kami juga berharap agar dapat menggelar FGD yang lebih besar lagi untuk dapat menghadirkan lebih banyak pemangku kepentingan di bidang kelautan dan perikanan di Sulawesi Utara ini guna memberi masukan lagi pada naskah rancangan peraturan gubernur setelah melewati tahapan ini,” lanjut dia.
Audy menambahkan, “Tujuan pembentukan pergub ini untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem pesisir yang merupakan salah satu tempat nursery biota laut atau area penting bagi sejumlah biota laut untuk melakukan pemijahan dan pengembangbiakan.”
“Area ini diharapkan akan meningkatkan produksi perikanan tangkap sebagai ‘pangan biru’ yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir serta peningkatan kepatuhan pelaku usaha dalam melakukan aktivitas usaha perikanan mereka,” tekannya.
FGD diawali dengan paparan draf naskah akademik oleh Dr Akhmad Solihin dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor.
Draf naskah akademik yang terdiri atas 5 bab ini memuat kajian teoretis dan praktik empiris serta mengevaluasi sejumlah regulasi yang terkait termasuk landasan filosofis, yuridis dan sosiologis.
Juga ruang lingkup dari pengaturan terkait pengelolaan dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang akan dicantumkan dalam rancangan pergub yang akan disusun.
“Selain soal pengelolaan, pemanfaatan dan pengendalian, bagian penting lain adalah soal kelembagaan pengelolaan perikanan di Sulut ini,” kata Akhmad Solihin.
“Serta bagimana memosisikan peran serta masyarakat nelayan dalam pengelolaan dan pengawasan di lapangan untuk mendukung kerja-kerja DKP provinsi sendiri,” lanjut ahli hukum perikanan dan kelautan yang banyak membantu Rare-Indonesia dalam perumusan regulasi di beberapa provinsi di Indonesia bahkan regulasi di tingkat nasional.
Dalam sesi diskusi, Edwin Walukow dari WCS mengemukakan bahwa kendala teknis di lapangan yang sering terjadi adalah ketika terjadi kasus-kasus pelanggaran di tingkat lapangan.
Dalam hal ini, masyarakat nelayan sudah melaporkan dugaan kasus pelanggaran yang terjadi namun respons dari pihak yang berwenang relatif lambat.
“Selain itu juga sering terjadi bahwa sanksi yang diberikan kepada para pelanggar aturan ini dianggap terlalu ringan. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan animo masyarakat untuk turut berpartisipasi secara sukarela dalam hal pengawasan di lapangan,” tambah Edwin.
Royke Pangalila yang juga hadir sebagai pemerhati lingkungan menyoroti terkait peran serta masyarakat yang menjadi ujung tombak di lapangan.
“Warga nelayan terutama mereka yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) menjadi mata dan telinga DKP Provinsi di tingkat lapangan. Beberapa Pokmaswas telah juga dibekali dengan peralatan walau masih sangat standar seperti radio komunikasi atapun binokular,” kata Royke.
“Namun memang disadari penuh bahwa DKP sendiri memiliki keterbatasan. Untuk itu, mungkin diperlukan untuk menggandeng dinas terkait lainnya seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dengan melibatkan Dinas PMD secara aktif dalam pengawasan perikanan, diharapkan dapat terbangun sistem pengawasan yang lebih efektif dan berkelanjutan.”
“Dan rancangan Pergub yang akan disusun ini nantinya akan membantu DKP Provinsi dalam hal pengawasan yang akan berimbas pada kesejahteraan nelayan itu sendiri,” jelas Royke yang pernah cukup lama berkecimpung di lembaga-lembaga jaringan internasional seperti WWF, Rare dan USAID Ber-IKAN untuk isu perikanan dan kelautan di beberapa provinsi lain terutama di Sulawesi Utara ini.
Mengakhiri rangkaian proses FGD, disepakati akan kembali dilakukan FGD tahap kedua yang akan membahas secara spesifik rancangan awal Ranpergub Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan ini yang akan dilaksanakan pada 15 Agustus 2025 mendatang. (*)