“Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004,” ucapnya.
Tidak hanya itu, kata dia, power wheeling juga mereduksi peran negara. Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
“Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
“Power Wheeling yang bersumber dari EBT juga memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen,” cetusnya.
Terkait Ketahanan Energi, lanjut Abrar, ketersediaan akses listrik akan terganggu dengan meningkatnya risiko blackout, sehingga jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai.
“Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat,” ucap Abrar.
“Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve juga akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN,” lanjutnya.