Kendati demikian, penyematan gelar ini secara resmi dan formal baru dilakukan pada 1916, dengan dasar aturan Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.
"Jadi bedakan gelar formal Haji sekarang pakai H, dengan Haji sebagai panggilan. Kalau panggilan, sejak zaman kuno pun sudah ada," ungkapnya.
Menurut Syamsul, pemerintah kolonial menyematkan gelar Haji untuk menandai mereka yang kemungkinan terkontaminasi paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme.
Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Konsep dasar Pan-Islamisme ini dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19 Masehi.
Paham ini bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat muslim menggelar ibadah haji.
Apalagi, kata Syamsul, orang beribadah haji pada zaman dulu menghabiskan waktu sangat lama hingga bertahun-tahun.
"Karena di sana sambil mengaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," ujarnya.
Seiring menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
"Musuh Belanda dua, komunis dan Pan-Islam, yang membahayakan kolonial. Para Haji dicurigai terkontaminasi pikiran Pan-Islamisme ketika di Mekkah, maka gelar Haji menjadi penting bagi Belanda," paparnya. (*)
(tribun-medan.com)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com