TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Fenomena satu pasangan calon kepala daerah versus kotak kosong diyakni bakal meningkat pada Pilkada 2024. Analis politik berpandangan, fenomena kotak kosong akibat pragmatisme dan sentralisasi politik menjelang Pilkada 2024.
Indikasinya, pada Pilkada 2024 paling sedikit calon independen. Kotak kosong adalah fenomena ketika pasangan calon tunggal harus bertarung sendiri tanpa lawan. Komisi Pemilihan Umum menyiapkan surat suara satu paslon dan kotak tak bergambar.
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini menyakini calon perseorangan menurun dan calon tunggal meningkat di Pilkada Serentak 2024.
Adapun hal itu disampaikan Titi dalam diskusi bertajuk Pilkada Damai 2024 di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
"Kita ini berada di tengah situasi model keserentakan pemilu antara Pemilu dan Pilkada itu beririsan tahapan jadwalnya sangat dekat," kata Titi.
Ia menjelaskan baru selesai Pemilu, masyarakat sudah masuk ke tahapan Pilkada memilih 37 gubernur dan 508 Bupati serta walikota.
"Saya menilai bahwa kita ini masih berada di tengah situasi kelelahan politik dan kelelahan pemilih. Pemilihnya masih capek oleh Pemilu, tapi dipaksa untuk bergegas langsung ke Pilkada," terangnya.
Baca juga: Bansos Berjalan di Pilkada 2024, Kemendagri: Bawaslu Bertindak jika Untungkan Calon
Atas hal itu menurutnya menjadi penjelasan mengapa calon perseorangan di Pilkada 2024 jumlahnya menurun.
"Karena ternyata jangan-jangan aktor politik itu belum pulih dari praktik politik Pemilu. Lalu tiba-tiba sudah dibuka pengumuman syarat dukungan bakal calon perseorangan," kata Titi.
"Makanya dari data, ini adalah tahun terendah calon perseorangan maju di Pilkada. Dampaknya pemilih mungkin tidak optimal mengawal persiapan tahapan Pilkada," terangnya.
Ia melanjutkan situasi kelelahan politik tersebut turut dirasakan oleh politisi, partai politik dan pemilih. Mengakibatkan ada potensi kuat untuk meningkatnya kepesertaan calon tunggal.
"Atau daerah yang berpilkada tapi pasangan calonnya hanya ada satu. Itu diakibatkan oleh pragmatisme politik sebagai dampak dari sentralisasi pencalonan," jelasnya.
(Tribunnews.com Rahmat W Nugraha)