Pendapat tersebut, yakni:
Pertama, mendukung inisiatif “humanitarian pause” yang dilakukan berbagai pihak, dalam hal ini Gereja-gereja di Papua, dengan melibatkan otoritas negara dan lembaga-lembaga kemanusiaan di Indonesia yang berempati terhadap persoalan kemanusiaan yang sedang dialami para pengungsi korban konflik di wilayah Kisor-Maybrat.
Termasuk juga di wilayah-wilayah konflik lainnya di Papua, seperti di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Papua dan lain-lain.
Kedua, mendukung KPAI menindaklanjuti permintaan keluarga para tahanan Kisor Maybrat untuk menyelidiki tindakan penyiksaan di dalam tahanan.
Baik di Polres Sorong maupun di Polda Sulsel Makassar dan melakukan upaya peninjauan kembali atas putusan Pengadilan HAM Makassar yang telah mengadili para tahanan kasus Kisor yang masih berstatus anak-anak.
Ketiga, mendukung permintaan keluarga korban mutilasi agar proses hukum terhadap kasus mutilasi dilakukan secara transparan untuk memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
Keempat, mendukung inisiatif dialog hak asasi manusia melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Tujuannya, mencari solusi damai atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi selama lebih dari 50 tahun berintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.(*)
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.