TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terus mengkampanyekan anti kekerasan (negara) terhadap rakyat sipil.
Dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia, Biro Papua PGI melaksanakan diskusi kelompok terfokus di Graha Oikumene, Selasa (13/12/2022).
FGD ini menyoal khusus dua masalah di Papua, yaitu kasus Kisor di Maybrat Papua Barat dan kasus mutilasi yang terjadi di Timika Papua.
Narasumber yang hadir pada diskusi itu, antara lain Rivanlee Anandar, Peneliti KontraS; Namaantus Gwijangge, Anggota Pansus Mutilasi DPR Papua; Michael Hilman, PAHAM Papua salah satu kuasa Hukum kasus mutilasi; Leonardo Ijie, LBH Kaki Abu salah satu kuasa Hukum kasus Kisor Maybrat.
Selain itu, Pater Bernard Barus, mewakili Pastor-pastor Papua yang mendampingi para pengungsi Kisor Maybrat dan Narip Narigi, anak dari salah satu korban mutilasi mewakili keluarga korban.
Dari paparan masing-masing narasumber terkait kasus mutilasi, tergambar jelas bahwa hingga saat ini belum diketahui apa motif utama pelaku pembunuhan sadis tersebut.
Selain itu, masih banyak informasi yang ditemukan tim investigasi KontraS dan juga Pansus Mutilasi DPR Papua yang belum dimasukkan dalam BAP pihak penyidik.
Sebagaimana dijelaskan dalam keterangan ke Tribunmanado.co.id, keluarga mendesak penyelidikan dan penyidikan ulang serta memproses hukum para pelaku di Pengadilan Koneksitas di Timika.
Permintaan tersebut tidak ditanggapi, dan tanpa sepengetahuan keluarga korban melalui kuasa hukumnya, persidangan kasus mutilasi ini mulai dilakukan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura.
"Keluarga korban meminta dengan tegas agar proses persidangan harus dilakukan secara transparan dan berkeadilan,” ujar Narip Narigi.
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Namaantus Gwijangge.
Menurut Michael Hilman, LPSK sudah menemui salah satu pelaku untuk memberikan perlindungan hukum dan menggali sebanyak mungkin informasi yang bermanfaat dalam rangka perlindungan saksi.
Terkait kasus Kisor di Maybrat Papua Barat, Pater Bernard menginformasikan bahwa para pengungsi belum tertangani atau mendapat perhatian serius pemerintah setempat.
Mereka yang tersisa dalam pengungsian saat ini berjumlah 1.386 jiwa dari 3.121 jiwa yang awalnya mengungsi sejak September tahun lalu.
Baca juga: Gempa M 3.3 di Karangasem Bali, Info Terkini BMKG, Guncangan Terjadi Malam Ini Rabu 14 Desember 2022
Baca juga: Khotbah Natal, Lukas 2:12, Tuhan di dalam Palungan
Pengungsi terbanyak adalah anak-anak dan ibu-ibu.
Dari laporan pemantauan Gereja Katolik setempat, ada empat kondisi yang sangat memprihatinkan dialami para pengungsi.
Kondisi dimaksud, yakni tidak mendapatkan bantuan makanan dan minuman, tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, anak-anak pengungsi tidak dapat menikmati pendidikan sebagaimana layaknya.
Selain itu, pengungsi masih mengalami trauma sehingga takut mengambil risiko kembali ke kampung halamannya yang saat ini masih dijaga aparat keamanan.
Bernard mengatakan, harus segera dilakukan 'humanitarian pause' di wilayah ini untuk memberikan kesempatan kepada berbagai lembaga kemanusiaan atau yang peduli dengan persoalan kemanusiaan di Kisor untuk melakukan tindakan penyelamatan.
"Termasuk medis dalam rangka menolong para pengungsi tersebut,” usul Pater Bernard.
Persoalan lain yang menyeruak adalah kondisi para tahanan yang telah diadili dan dijatuhi hukuman berkekuatan hukum tetap di Pengadilan HAM Makassar adalah mereka yang berusia dan berstatus anak-anak dan sedang menjalani pendidikan SMP, SMA, dan bahkan kuliah.
Enam tahanan yang diadili di Makassar telah diputus hakim untuk menjalani hukuman penjara paling rendah delapan tahun.
Saat ini masih ada tiga tahanan lagi yang sedang menjalani proses hukum di PN Sorong.
Satu di antaranya meninggal di tahanan, bernama Abraham Mate (21).
Saat ini keluarga korban masih menunggu hasil autopsi oleh pihak kepolisian setempat.
Menurut Kuasa Hukum mereka, Leonardo Ijie, enam tahanan di Makassar selama menjalani masa penahanan--baik di Polres Sorong dan di Polda Sulsel-- telah mengalami penyiksaan atau perlakuan yang sangat tidak manusiawi.
Begitu pula dengan dua tahanan yang masih berada di Rutan Sorong.
Penyiksaan tersebut dilakukan oleh pihak aparat kepolisian untuk memaksa para tahanan tersebut mengakui perbuatan mereka dalam kasus Kisor.
Baca juga: Pemuda GMIM Pasang Ribuan Lilin Kenang Christmas Truce 1914, Kisah Perang Berhenti di Malam Natal
Baca juga: Chord Gitar dan Lirik Lagu Lupakan Aku - The Orion, Viral di TikTok
“Ada Daftar Pencarian Orang (DPO) yang tanpa nama dan berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi penduduk asli setempat. DPO tanpa nama ini juga menjadi salah satu penyebab para pengungsi tidak berani pulang ke kampung halamannya, karena tidak adanya jaminan keamanan kepada mereka,” tambah Ijie.
Atas dasar beberapa fakta dan informasi yang diungkapkan para narasumber di atas, PGI mengeluarkan seruan pendapat.
Pendapat tersebut, yakni:
Pertama, mendukung inisiatif “humanitarian pause” yang dilakukan berbagai pihak, dalam hal ini Gereja-gereja di Papua, dengan melibatkan otoritas negara dan lembaga-lembaga kemanusiaan di Indonesia yang berempati terhadap persoalan kemanusiaan yang sedang dialami para pengungsi korban konflik di wilayah Kisor-Maybrat.
Termasuk juga di wilayah-wilayah konflik lainnya di Papua, seperti di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Papua dan lain-lain.
Kedua, mendukung KPAI menindaklanjuti permintaan keluarga para tahanan Kisor Maybrat untuk menyelidiki tindakan penyiksaan di dalam tahanan.
Baik di Polres Sorong maupun di Polda Sulsel Makassar dan melakukan upaya peninjauan kembali atas putusan Pengadilan HAM Makassar yang telah mengadili para tahanan kasus Kisor yang masih berstatus anak-anak.
Ketiga, mendukung permintaan keluarga korban mutilasi agar proses hukum terhadap kasus mutilasi dilakukan secara transparan untuk memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
Keempat, mendukung inisiatif dialog hak asasi manusia melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Tujuannya, mencari solusi damai atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi selama lebih dari 50 tahun berintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.(*)
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.