Oleh:
Sriwulan J. C. Suot
(Staf PPNPN KPU Kota Manado)
GELARAN pemilu merupakan agenda politik yang penting dan dinantikan oleh semua orang, baik oleh aktor politik itu, maupun masyarakat yang mengharapkan perubahan pada wilayahnya dengan terpilih atau bergantinya kepemimpinan.
Pemilu yang juga sering disebut sebagai “pesta demokrasi”, dilaksanakan di Indonesia setiap 5 (lima) tahun.
Sebanyak 12 (dua belas) kali Indonesia telah mengadakan pemilu.
Pada masa orde lama dilaksanakan Pemilu 1955, kemudian masa orde baru, pemilu dilaksanakan enam kali, yaitu pada tahun: 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997.
Sedangkan di era reformasi saat ini, pemilu telah dilaksanakan sebanyak lima kali, yakni pada tahun: 1999, 2004, 2009, 2014, dan terakhir Pemilu 2019.
Tentunya, dalam setiap penyelenggaraan pemilu ada yang bertindak sebagai penyelenggara, salah satunya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
KPU sendiri dalam metamorfosisnya sejak tahun 1955 disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), kemudian tahun 1971 sebagai Lembaga Pemilihan Umum.
Pada tahun 1977 sampai dengan 1997 penyelenggara pemilu dikenal dengan nama Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP).
Sejak era reformasi sampai saat ini dikenal dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
KPU sendiri bersifat hierarki dan mempunyai struktur di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Selain itu, pada saat akan menjalankan tahapan pemilu,
KPU membentuk penyelenggara yang sifatnya non permanen atau sementara, yang dikenal sebagai badan ad hoc.
Badan ad hoc di tingkat kecamatan disebut dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), yang berkedudukan di desa/kelurahan dikenal sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan yang bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat hari pemungutan suara yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Tulisan ini memfokuskan pada problematika badan ad hoc, dalam hal ini KPPS berdasarkan pengalaman Pemilu 2019.