Sepulangnya dari hukuman, Ishak masih harus dihadapkan dengan stigma masyarakat. Terlebih Ishak merupakan keluarga terhormat, putra dari seorang ulama dan pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
“Masyarakat tahunya saya militer, ya pada heran kenapa Pak Ishak itu anak ulama sampai ditahan di situ sebabnya apa, wong saya jebolan pondok pesantren. Jadi saya ditahan karena PKI, orang ya heran, apa sebabnya,” katanya.
Seperti eks tapol yang lain, sulit bagi Ishak mencari pekerjaan yang layak di lembaga formal. Di masa awal dia menghirup udara bebas, Ishak rela bekerja serabutan untuk bertahan hidup.
“Umur saya baru 40-an lah waktu itu, kerja jadi buruh mencangkul, buruh menek kelapa, jual ayam, jual sayuran, jual dedak, dipikul,” katanya.
Di akhir perbincangan, kepala Ishak tertunduk, mengenang peristiwa yang telah dia alami seumur hidupnya. Sampai saat ini setiap kepingan memori tentang peristiwa malam 30 September masih lekat di kepalanya.
Mulai dari kali pertama bertugas sebagai pengawal presiden, wajah rekan-rekan di Cakrabirawa, hingga peristiwa G30S/PKI yang seperti mimpi buruk baginya. “Kita-kita orang enggak tahu, militer si ya, orang militer kan enggak berpolitik, belajar politik saja enggak, jadi ngertinya karena PKI,” ungkapnya.
“Jadi bagi saya, kejadian itu (G30S) seperti kejadian kemarin, masih ingat semua, masih membayang. Saya baca bukunya Soeharto itu banyak, paling berat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),” pungkas Ishak. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com