Sejarah Indonesia

Kisah Amir Sjarifuddin: Berkhianat Kudeta Soekarno, Pimpin Pemberontakan PKI Madiun, Dihukum Mati

Editor: Frandi Piring
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kisah Amir Sjarifuddin yang Berkhianat Ingin Kudeta Soekarno, Pimpin Pemberontakan Madiun, Dihukum Mati

TRIBUNMANADO.CO.ID - Jauh sebelum pemberontakan G30 September 1965, 73 tahun silam, mantan Perdana Menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin, dieksekusi mati karena dianggap terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.

Kisah Amir Sjarifuddin bersama Musso melakukan gerakan pemberontakan Madiun 1948.

Berawal dari kejatuhannya dalam kabinet, Amir Sjarifuddin melakukan aksi untuk mengkudeta rezim Soekarno.

Dilansir dari Kompas.com dengan judul artikel "Amir Sjarifuddin, Kontroversi dan Perannya dalam Kemerdekaan Indonesia", Tengah malam, 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir Sjarifuddin bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.

Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, karya Soe Hok Gie, yang diangkat dari skripsi sarjana strata satu, menggambarkan momen-momen menjelang eksekusi mati itu.

"Amir bertanya kepada seorang kapten TNI yang memimpin proses persiapan eksekusi," tulis Soe Hok Gie. "Mau diapakan mereka [kami]?"

"Saya tentara, tunduk perintah, disiplin," jawab sang tentara. Malam itu, puluhan warga setempat disuruh menggali lubang sedalam 1,7 meter untuk penguburan 11 orang tawanan politik pemerintah —termasuk Amir.

(Foto: Kisah Amir Sjarifuddin yang Berkhianat Ingin Kudeta Soekarno, Pimpin Pemberontakan Madiun, Dihukum Mati (via Kompas.com)

Seusai lubang digali, pelaksanaan hukuman mati pun dimulai. Amir Sjarifuddin, bekas perdana menteri dan menteri pertahanan, dan anggota politbiro CC PKI, serta ikut mencetuskan Kongres Pemuda II 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda, meminta waktu untuk "menulis surat"— tawanan lainnya melakukan hal yang sama.

Sejarawan Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar di buku itu, menulis bahwa apa yang disebutnya sebagai pemberontakan PKI di Madiun 1948 itu membawa banyak korban, "dengan segala luka dan memori kolektif traumatik yang ditinggalkannya."

Amir Sjarifuddin yang mati secara tragis memang sudah menjadi masa lalu. "Sejarah," tulis Syafii Maarif dalam kalimat berikutnya," memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan".

"Untuk siapa?" Lanjutnya. "Untuk mereka yang masih hidup, bukan untuk mereka yang sudah mati." Syafii barangkali benar, tapi seperti yang dia tulis di awal, 'Madiun Affair', masih menyisakan residu-residu trauma kolektif - hingga sekarang.

Walaupun kuburan Amir dan 10 orang lainnya digali kembali, diidentifikasi, dan jasadnya diserahterimakan kepada keluarganya, serta dimakamkan kembali, sesuai perintah Presiden Sukarno, pada November 1950, pusara itu dihancurkan sekelompok massa usai G30S 1965.

"Sampai reformasi 1998, masih berupa gundukan tanah dan ditumbuhi rumput liar," ungkap Yunantyo Adi, aktivis kemanusiaan dan pemerhati sejarah, kepada BBC News Indonesia, Rabu (29/07) lalu.

Halaman
1234

Berita Terkini