Kata dia, nantinya film ini akan menjadi media edukasi ketika turun menemui masyarakat di kampung-kampung.
“Kita akan terus menggelorakan perjuangan bersama sehingga sejengkal pun tanah kita tidak direbut oleh perusahan tambang yang merugikan masyarakat kita sendiri,” imbuhnya.
Ketua AMSI Sulut, Agust Hari, selaku tuan rumah launching dan noreng film berharap media memberikan porsi pemberitaan untuk kasus-kasus tambang, termasuk di Sangihe.
“Saya kira launching dan noreng film di Sekretariat AMSI Sulut memberi semangat bahwa media ikut bersama memberitakan kasus tambang di Sangihe."
"Sekretariat ini tak hanya tempat berkumpul media dan jurnalis saja untuk pelatihan dan diskusi, tapi memberi ruang bagi masyarakat yang tertindas untuk berekspresi,” kata Agust didampingi Sekretaris AMSI Sulut, Supardi Bado.
42 Ribu Hektar Akan Ditambang
Sekadar diketahui, Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di ujung utara Indonesia berbatasan dengan Filipina.
Atau sekitar 8 jam menggunakan kapal dari Manado, Ibukota Sulawesi Utara.
Daerah ini menyimpan potensi kekayaan alam yang melimpah, salah satunya perikanan.
Lalu burung endemik dan berbagai hasil pertanian seperti pala dan cengkih.
Sejak kasus ini bergulir, masyarakat kemudian menggugat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke PTUN Jakarta.
Pasalnya Kementerian ESDM mengeluarkan izin seluas 42.000 hektar lahan warga yang akan ditambang di tujuh kecamatan dan 80 desa.
Padahal area lahan itu merupakan ruang hidup masyarakat dengan budaya dan adat istiadat, kekerabatan, kebiasaan, nilai sejarah, asal usul, makam leluhur dan makam keluarga.
Juga nilai agama, rumah ibadah, sekolah dan ruang mata pencaharian.
Warga mengajukan gugatan hukum atas keputusan Menteri ESDM yang keluar pada 29 Januari 2021 tentang persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya PT Tambang Mas Sangihe.