TRIBUNMANADO.CO.ID - Terkait kabar pajak sembako yang akan diterapkan oleh pemerintah.
Diketahui hal tersebut tengah menjadi sorotan masyarakat khususnya para pedagang.
Salah satu yang sembako yang terkena pajak yakni beras, Menkeu Sri Mulyani menjelasakan beras jenis apa yang dikenai pajak.
Baca juga: Ramalan Shio Selasa 15 Juni 2021, 7 Shio Alami Keberuntungan, Siapa Saja yang Beruntung Hari ini?
Baca juga: HASIL Euro 2020 Spanyol vs Swedia: Striker Juventus Disorot, Alvaro Morata Lewatkan 4 Peluang Emas
Baca juga: Keutamaan Salawat Kepada Nabi Muhammad, Allah dan Para Malaikat Juga Bersalawat
Foto : Menteri Keuangan Sri Mulyani mengunjungi Pasar Santa, Jakarta Selatan, Senin (14/6/2021). (HANDOUT)
Kementerian Keuangan menyatakan, tidak akan memungut PPN sembako untuk masyarakat kelas bawah di dalam RUU KUP.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komoditas sembako yang akan kena pajak di antaranya beras jenis shirataki.
"Namun, kalau kita ngomongin sembako tuh katakanlah beras, ada beras yang Rp 10.000 per kg nya, yang produksi petani kita, Rojolele, Pandan Wangi, Cianjur gitu versus beras yang sekarang ini shirataki.
Jadi, kalau dilihat harganya Rp 10 ribu per kg sampai Rp 50 ribu per kg sampai Rp 200 ribu per kg bisa sama-sama klaim ini sembako," ujarnya di rapat Komisi XI DPR, Senin (14/6/2021).
Sri Mulyani menjelaskan, fenomena munculnya produk-produk kelas atas, tapi namanya tetap sembako dan sama-sama beras harus disikapi pemerintah dari sisi perpajakan.
Selain itu, juga ada beberapa jenis daging premium dengan harga mahal akan kena pajak, bukan justru yang ada di pasar tradisional.
"Sama-sama daging sapi namanya, tapi ada daging sapi wagyu yang kobe, per kg bisa Rp 3 juta atau Rp 5 juta. Ada daging biasa yang dikonsumsi masyarakat per kg Rp 90 ribu, ini bumi dan langit," katanya.
Karena itu, eks direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, instrumen perpajakan dalam RUU KUP mencoba dorong kesetaraan.
"Pajak itu mencoba dorong isu keadilan.
Sekarang, diversifikasi masyarakat kita sangat beragam," pungkas Sri Mulyani.
Pedagang Keberatan
Wacana pemerintah ingin memberlakukan PPN terhadap sembako dan pendidikan menjadi 12% melalui revisi kelima Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menuai banyak protes dari masyarakat, legislatif dan partai politik.
Kenaikan ini meskipun masih dalam pembahasan dipastikan akan membebani ekonomi masyarakat dan pelaku usaha yang selama ini sudah sangat tertekan selama menghadapi pandemi covid 19.
Lebih dari itu, wacana tersebut dapat memporakporandakan upaya pemulihan ekonomi nasional yang dilakukan pemerintah.
Forum Komunikasi Pengusaha dan Pedagang Pangan (FKP3) menyatakan menolak rencana pemerintah menaikkan besaran pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk sembilan bahan pokok (sembako).
Ketua FKP3 Aminullah dalam keterangan persnya, Senin (14/6/2021) mengungkapkan dengan PPN yang lama saja dengan besaran 10 persen, para pedagang sudah sulit menjual barang-barangnya.
"Karena pasar makin sepi akibat Covid 19. Kalau PPN mau dinaikkan jadi 12 persen bakal banyak pedagang gulung tikar karena masyarakat akan mengerem konsumsi," ujarnya.
Aminullah mengingatkan, masyarakat dan pedagang kecil sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibebankan pajak tinggi. Saat ini masih bisa dagang saja sudah bersyukur.
"Apa tidak ada sumber pendanaan lain yang bisa digali pemerintah untuk menutupi krisis anggaran negara," ujarnya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan,
pengenaan PPN terhadap sembako akan mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah.
Apalagi, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal.
"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi, apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” tegas Felippa.
Produk pangan menurutnya berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.
"Pengenaan PPN pada sembako tentu saja akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut, terlebih lagi karena PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen," ungkapnya.
Terkait dugaan permainan rente ekonomi seperti kuota impor yang bisa menjadi pemasukan negara hingga triliunan rupiah ketimbang mengenakan PPN, Felippa menilai fenomena tersebut terjadi karena banyak diskresi dalam prosesnya dan tidak transparan. Penetapan kuota impor sangat tergantung pada diskresi pihak-pihak yg menerbitkan izin.
Foto : Ilustrasi. (Kontan.co.id)
"Maka dari itu kami menyarankan beralih ke sistem impor yg lebih otomatis dan transparan. CIPS merekomendasikan penggunaan sistem lisensi impor otomatis dimana permintaan dan penerbitan izin impor dilakukan secara otomatis," katanya.
Selanjutnya, salah satu usulan untuk menambah anggaran negara adalah penetapan tarif impor pangan, menurut Felippa, sistem tarif memiliki dampak positif
"Sistem tarif untuk menggantikan sistem rekomendasi dan kuota impor memiliki dampak positif, karena lebih dapat diprediksi dan dihitung bagi pelaku usaha. Sistem tarif juga mengurangi celah rente," kata dia.
Mulyadi dari Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih Nusantara (PPBN) mengusulkan, daripada pemerintah menaikkan PPN terhadap sembako, lebih baik pemerintah memberantas praktik rente ekonomi di permainan dugaan jual beli kuota impor pangan.
Mulyadi menilai, banyak produk pangan impor seperti gula, bawang putih, dan buah-buahan luar negeri yang dikenakan wajib rekomendasi impor dan persetujuan impor dari kebijakan rekomendasi impor yang berpotensi menjadi rente ekonomi yang nilainya bisa triliunan rupiah setiap tahun.
"Kalau pemerintah mempunyai niat dan keberanian untuk mengganti regulasi rekomendasi impor dengan kebijakan relaksasi dan tarifisasi, maka dana triliunan rupiah yang selama ini dinikmatin oleh segelintir orang atau kelompok dari jual beli kuota impor bisa diselamatkan untuk menambah kas negara," ujarnya.
"Jangan rakyat dan pedagang kecil yang dibebanin pajak yang tinggi, harusnya praktek jual beli kuota yang bersumber dari rekomendasi impor tersebut yang harus dihapus pemerintah, dan digantikan dengan sitim tarif agar negara bisa mendapatkan dana tambahan untuk mengatasi krisis keuangan negara," imbuh Mulyadi.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com, https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/06/14/sri-mulyani-jelaskan-beras-jenis-ini-yang-akan-kena-pajak