Petrik Matanasi dalam “Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua” menyatakan, Belanda ingin menjadikan Papua Barat sebagai negara boneka.
Sebab, Belanda mulai membentuk parlemen pada Februari 1961.
Kemudian, Komite Nasional Papua dibentuk pada 19 Oktober 1961.
Selain itu, juga membangun kekuatan militer Papua.
Dalam buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang dirilis Departemen Penerangan RI, terdapat bukti kalau Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960.
Atas pergerakan yang dilakukan pihak Belanda tersebut, Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia mulai menyusun strategi.
Tepat pada 6 Maret 1961, Korps Tentara Kora-1 pun dibentuk dan yang menjadi panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Korps Tentara Kora-1 pun berubah-ubah nama seiring berjalannya waktu, mulai dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) sampai Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Selain itu, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan) pada 11 Desember 1961
Buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1979), mencatat, tiga hari setelah itu, Presiden Sukarno memimpin sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI).
Baru pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno menyatakan maksud Trikora lewat pidatonya di Yogyakarta.
Salah satu aksi Trikora yang paling dikenal adalah penggunaan kapal penjelajah KRI Irian 201 yang didapat Indonesia dari Rusia. Kapal KRI Irian 201, menurut Achmad Taufiqoerahman dalam Kepemimpinan Maritim (2019:258), dilengkapi fasilitas tempur, seperti rudal, torpedo, hingga bom jarak jauh.
Namun, Amerika Serikat memberikan saran kepada Indonesia agar mengedepankan jalan diplomasi guna mengambil-alih Papua Barat dari Belanda.
Amerika Serikat bersedia menjadi "penengah" dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut.