Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Dosen Unika De La Salle Manado
Pegiat Filsafat
MASIH hangat dalam ingatan semua orang tentang viralnya salah satu sosok penting di lembaga perwakilan rakyat, terkait masalah pribadi yang menurut ukuran tertentu merupakan sebuah kesalahan fatal.
Semua itu menjadi ranah publik ketika hal itu viral di seantero Indonesia, dalam berbagai pemberitaan media online, maupun media cetak.
Kita memang tidak harus memosisikan diri sebagai eksekutor atas masalah itu, tapi kita perlu mengedepankan berbagai hal yang seharusnya mendasari setiap perbuatan yang dilakukan oleh wakil rakyat, tokoh masyarakat atau pun pemimpin.
Setiap pribadi tentu memiliki kekhasannya. Setiap pribadi juga memiliki kekurangan dan kelebihan.
Kendati begitu, berbagai pemberitaan tidak lalu dikonsumsi mentah-mentah selain menjadi pembelajaran, seraya mencari fondasi yang kuat sehingga kejadian sejenisnya tidak terjadi terus menerus.
Mengapa demikian, karena bagi penulis, landasan yang kokoh sering menjadi satu-satunya kunci yang kokoh untuk hidup sebagai orang panutan.
Bagi penulis, hal lain yang mendasar, di samping ugahari sebagaiman telah penulis publikasikan sebelumnya bertajuk: Ugahari dan Karakter Pemimpin (Tribun Manado, Selasa, 9 Februari 2021), adalah pemikiran filsuf Yunani kuno, Plato.
Dalam karya ‘Arete: Hidup Sukses Menurut Plato’, Setyo Wibowo mengetengahkan bahwa pengendalian diri harus dimengerti berpijak dari cara bagaimana seseorang belajar hidup sukses. Untuk hidup sukses individu harus memahami apa itu filsafat.
Menurut Plato, filsafat adalah ilmu yang menimbulkan hasrat untuk terus menerus mencari tahu. Jadi, sejauh kita semua selalu ingin tahu secara kodrati, kita sebenarnya berjiwa seorang filsuf. Pendek kata, filsafat bertitik tolak dari rasa ingin tahu. (Wibowo 2010: 21).
Selanjutnya, hasrat untuk mencari tahu itu harus didasari oleh pengetahuan akan diri sendiri, karena bagaimana mungkin kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana jika kita tidak mengenali diri kita sendiri.
Maka yang menjadi penting adalah diri sejati manusia adalah jiwanya. Di dalam jiwa ini, terdapat tiga dorongan: Inti pikiran, afektivitas dan nafsu-nafsu.
Berpijak dari sini, dalam dunia praktis yang terpentas, ada sebuah gejala yang sering tidak disadari dan kurang mampu dikendalikan.
Seringkali muncul tindakan-tindakan yang kebablasan, sikap yang merasa tahu segala-galanya padahal tidak menguasai dengan sebenar-benarnya, termasuk kurang mampu membedakan apa dan bagaimana cara membawa diri di hadapan umum.
Maka dalam kondisi demikian, manusia dipandang perlu untuk belajar dan menyadari bahwa pengendalian diri adalah penting.
Menurut ukuran Plato, ciri manusia yang mumpuni dapat dilihat dalam kerangka susunan: Epithumia, tumos dan logistikon.
‘Epithumia’ adalah sumber dari segala nafsu-nafsu akan makan, minum, seks, dan kekayaan. Dengan epithumia ini, keberlangsungan hidup manusia dijamin, berkat hasrat makan dan minum, dan secara spesies, manusia terus berlangsung berkat regenerasi (berketurunan).
Makanan minuman dan seks (atau gampangnya uang), yang dicari terus menerus tanpa henti, selalu menaik tanpa batas dan tak mengenal titik puas, pada tingkat tertentu akan membuat individu manusia sendiri hancur sendiri.
‘Thumos’ adalah bagian jiwa irrasional, tempat bercokolnya hasrat akan rasa hormat, harga diri, dst. Unsur thumos ini merujuk pada segala bentuk afektivitas, rasa, semangat, dan agresivitas.
Thumos adalah tempat keberanian muncul, dan merangsang jiwa manusia saat melihat sesuatu yang mengecewakan, sehingga muncullah sikap memberontak/melawan sesuatu yang mengecewakan itu.
Pada saat yang sama, seseorang pada akhirnya tidak menyerah begitu saja terhadap keadaan yang mengecewakan atau keadaan yang menyerang dirinya.
‘Logistikon’ adalah bagian jiwa rasional sumber kebijaksanaan, bagian afektivitas. Bagian ini, bagi Plato, merupakan bagian ‘terbaik’ dalam jiwa manusia, karena dia mengendalikan dua bagian jiwa (epithumia dan thumos).
Dengan uraian ketiga susunan ini, pada dasarnya manusia berada dalam ‘konflik’ antara ketiga bagian ini.
Dari ketiga uraian susunan ini, dapatlah disimpulkan secara sederhana bahwa ephitumia adalah hasrat manusia yang dikontrol oleh nafsu dan keinginan daging.
Thumos adalah hasrat yang terarah pada pencapaian akan harga diri dan rasa hormat, juga lebih cenderung mengikuti pertimbangan ‘logistikon’, namun tetaplah hal itu adalah hasrat yang terarah hanya untuk sebuah harga diri-rasa hormat.
Sedangkan logistikon adalah hasrat yang mengendalikan kedua hasrat sebelumnya. Maka yang ideal menurut Plato adalah manusia yang jiwanya tertata baik, terkoordinasi untuk melayani rasio/akal budi.
Dengan demikian, pemurnian pikiran merupakan syarat agar orang bisa mengarahkan dirinya kepada kebaikan. (ibid).
Terkait hal itu, apa implikasi positifnya? Sekurang-kurangnya dapat disebutkan implikasinya seperti demikian: Dalam diri manusia memang terdapa banyak hasrat. Bakan hasrat yang terindikasi negatif pun tak terhindarkan atau sudah dihindari.
Hal itu memang ada dalam setiap individu. Dengan fakta ini pula, hemat penulis, yang terpenting adalah “mendidik diri” untuk mampu mengendalikan ketiga hasrat yang ada, tanpa mengabaikan satu sama lain.
Seorang manusia harus unggul bukan hanya intelektualnya (logistikon/rasio), melainkan manusia yang mampu menempatkan dan mengendalikan ephitumia dan thumos, pada tempat yang tepat dan pada saat yang tepat.
Praktisnya, pengendalian diri sangat penting, bukan hanya di saat ada ‘waktu khusus’ untuk menjalankannya, tetapi sepanjang kehidupan manusia.
Selain itu, setiap individu harus mampu “menyadari diri” dan menyadari potensi-potensi yang ada dalam diri, dalam rangka mengenal diri sebagaimana adanya.
Sebagai pemimpin, tokoh politik, sosok yang ditokohkan dan menjadi panutan dalam masyarakat, sudah seharusnya ‘berpijak dari sini dan bertolak lebih ke dalam’, ke dalam nilai-nilai dan gagasan filosofis susunan jiwa manusia menurut Plato ini.
Setiap tokoh masyarakat memang harus mampu mengendalikan diri, menyadari diri dan potensi-potensinya, serta mengatur segala pola pikir, rasa dan tindaknya, agar mampu menjalankan setiap tugasnya, dengan baik.
Duc in altum! (*)
Baca juga: Fenomena Hujan Es di Touliang, Bentuknya Seperti Kelereng, Yanni Kira Orang lempar Batu di Atap
Baca juga: Alasan Jokowi Bangun Bendungan di Pacitan, Kampung SBY Terungkap
Baca juga: Rocky Gerung Ungkap Buzzer Din Syamsuddin, Dituding Penganut Paham Radikal: Itu Pasti Disogok