Menurut ukuran Plato, ciri manusia yang mumpuni dapat dilihat dalam kerangka susunan: Epithumia, tumos dan logistikon.
‘Epithumia’ adalah sumber dari segala nafsu-nafsu akan makan, minum, seks, dan kekayaan. Dengan epithumia ini, keberlangsungan hidup manusia dijamin, berkat hasrat makan dan minum, dan secara spesies, manusia terus berlangsung berkat regenerasi (berketurunan).
Makanan minuman dan seks (atau gampangnya uang), yang dicari terus menerus tanpa henti, selalu menaik tanpa batas dan tak mengenal titik puas, pada tingkat tertentu akan membuat individu manusia sendiri hancur sendiri.
‘Thumos’ adalah bagian jiwa irrasional, tempat bercokolnya hasrat akan rasa hormat, harga diri, dst. Unsur thumos ini merujuk pada segala bentuk afektivitas, rasa, semangat, dan agresivitas.
Thumos adalah tempat keberanian muncul, dan merangsang jiwa manusia saat melihat sesuatu yang mengecewakan, sehingga muncullah sikap memberontak/melawan sesuatu yang mengecewakan itu.
Pada saat yang sama, seseorang pada akhirnya tidak menyerah begitu saja terhadap keadaan yang mengecewakan atau keadaan yang menyerang dirinya.
‘Logistikon’ adalah bagian jiwa rasional sumber kebijaksanaan, bagian afektivitas. Bagian ini, bagi Plato, merupakan bagian ‘terbaik’ dalam jiwa manusia, karena dia mengendalikan dua bagian jiwa (epithumia dan thumos).
Dengan uraian ketiga susunan ini, pada dasarnya manusia berada dalam ‘konflik’ antara ketiga bagian ini.
Dari ketiga uraian susunan ini, dapatlah disimpulkan secara sederhana bahwa ephitumia adalah hasrat manusia yang dikontrol oleh nafsu dan keinginan daging.
Thumos adalah hasrat yang terarah pada pencapaian akan harga diri dan rasa hormat, juga lebih cenderung mengikuti pertimbangan ‘logistikon’, namun tetaplah hal itu adalah hasrat yang terarah hanya untuk sebuah harga diri-rasa hormat.
Sedangkan logistikon adalah hasrat yang mengendalikan kedua hasrat sebelumnya. Maka yang ideal menurut Plato adalah manusia yang jiwanya tertata baik, terkoordinasi untuk melayani rasio/akal budi.
Dengan demikian, pemurnian pikiran merupakan syarat agar orang bisa mengarahkan dirinya kepada kebaikan. (ibid).
Terkait hal itu, apa implikasi positifnya? Sekurang-kurangnya dapat disebutkan implikasinya seperti demikian: Dalam diri manusia memang terdapa banyak hasrat. Bakan hasrat yang terindikasi negatif pun tak terhindarkan atau sudah dihindari.
Hal itu memang ada dalam setiap individu. Dengan fakta ini pula, hemat penulis, yang terpenting adalah “mendidik diri” untuk mampu mengendalikan ketiga hasrat yang ada, tanpa mengabaikan satu sama lain.
Seorang manusia harus unggul bukan hanya intelektualnya (logistikon/rasio), melainkan manusia yang mampu menempatkan dan mengendalikan ephitumia dan thumos, pada tempat yang tepat dan pada saat yang tepat.