Hubungan ini sejatinya tidak hanya dinilai dari pemberian saat Imlek semata. Samiyem mengingat bagaimana salah satu
keluarga Tionghoa memberi uang untuk Atmo membeli kambing pada perayaan Hari Qurban.
Belum lagi, ada kala di mana keluarga ahli waris membiayai penyaluran air PDAM ke rumahnya di masa lalu, ada juga keluarga
Tionghoa mengirim undangan untuk hadir di hajatan pernikahan. Mereka mengirim undangan itu sekaligus ongkos pulang pergi. Ia merasa bersyukur tidak dilupakan.
Tidak cuma itu, keluarga ahli waris mempercayakan seutuhnya kondisi bong yang dirawat sampai sekarang.
Misal, suatu waktu ada yang meminta dinding bong yang terbuat dari batu itu dibersihkan dengan cara yang rumit.
Hasil yang didapat juga lumayan besar.
“Misal membersihkan lantai dan dinding batu makam dengan bahan kimia.
Mereka telepon dulu. Mereka beri Rp 1.000.000 untuk bersihkan satu dinding makam ini, disikat pakai.
Tidak mungkin mengerjakan sendiri, saya pasti minta tolong orang lain. Jadi dikerjakan bersama dan uang dibagi,” kata Samiyem.
Pekerjaan dilakoni meski upah kecil memang bukan penghasilan rutin.
Selebihnya, Samiyem mengisi waktu dengan jualan sosis bakar dan minuman es.
Sementara suaminya bekerja sebagai buruh bangunan. “Saya di sini sambil momong cucu,” kata Samiyem.
• Ternyata Ini Sosok Kawan Karib Iriana Jokowi, Pernah Dipeluk Dari Belakang
Bong Cina dibangun masa kolonial Belanda
Bong Cina Giripeni gambar eksistensi etnis Tionghoa pada masa silam di Kulon Progo.