"Mereka berdua, dua-duanya bukan pemilik partai politik, tidak bergabung dengan partai politik. Mereka hanyalah orang yang berpengaruh di makomnya masing-masing," singgungnya.
"Moeldoko di lingkar Istana, Nurmantyo di KAMI dan civil society," kata pakar hukum tersebut.
Meskipun sulit karena ada ambang batas pilpres (presidential threshold), Refly mengaku tetap ingin melihat Moeldoko dan Gatot Nurmantyo maju sebagai calon.
"Saya pribadi menginginkan mereka bisa menjadi calon, dua-duanya. Bila perlu calon presiden itu 10 atau 15 sesuai dengan jumlah partai yang ikut dalam pilpres atau ikut dalam pemilu," komentarnya.
Refly menegaskan, hal itu dapat terwujud jika ambang batas pilpres sudah dihapuskan.
Tidak hanya kedua sosok ini, banyak kepala daerah maupun tokoh politik lainnya dapat mengajukan diri sebagai calon presiden.
"Kalau presidential treshold dihapus, seperti yang sering saya singgung selama ini, maka sesungguhnya orang seperti Moeldoko bisa nyalon, Nurmantyo bisa nyalon, Anies bisa nyalon, Ganjar bisa nyalon, Ridwan Kamil bisa nyalon, Prabowo bisa nyalon, bahkan Puan Maharani," ungkapnya.
Lihat videonya mulai menit ke-6.00:
Gatot Nurmantyo Pernah Tolak Jabatan Panglima, sampai Robek Surat dari Jokowi
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku pernah meminta agar surat penunjukan dirinya agar dirobek.
Pakar hukum tata negara Refly Harun lalu membahas hal tersebut.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan di kanal YouTube Refly Harun, diunggah Minggu (27/9/2020).
Refly Harun menanggapi pengakuan Gatot tersebut yang mengaku meminta Ketua DPR Setya Novanto merobek surat tersebut.
"Jadi diangkat sebagai panglima TNI, malah menolak. Ini menarik," komentar Refly Harun.