Walau demikian, penilaian kritis tersebut masih menyisakan pertanyaan. Misalnya, sejauh mana keaslian kisah yang sudah dianggap lebih awal tersebut? Kapan kisah-kisah lisan itu didokumentasikan tertulis dan siapa yang menulis dan menentukan itu sahih?
Dari uraian di atas, seolah dinyatakan bahwa ada 90-an kisah yang masih murni, dan lainnya sudah bercampur. Tapi angka 90-an itu bukan suatu jumlah sedikit untuk sebuah kisah, bukan? Kalau masih diperas lagi, kira-kira berapa yang masih asli, atau mungkin bisa dibuatkan benang merahnya saja? Adakah yang sekilas sama? Adakah yang lain sama sekali? Dst.
Penelusuran sumber penulisan ini mungkin bisa dibandingkan dengan masalah synoptik dalam Injil terkait sumber yang dipakai. Hanya ada empat yang dianggap resmi dan diterima, dari sekian banyak yang pernah ada dan terdokumentasikan, dan tiga (Matius, Markus, Lukas) di antaranya disebut synoptik karena terlihat sama dalam menggunakan sumber penulisan, dan hanya ada satu (Yohanes) dari keempat Injil itu yang dianggap punya sumber tersendiri, dan tetap diterima sebagai kisah tentang Yesus.
Untuk itu mau tidak mau kita mesti kembali menelusuri dari mana kisah (asli) itu bersumber. Dosen UKIT ini menjawab bahwa kisah-kisah tentang leluhur Minahasa diperoleh dari ritual-ritual yang dibawakan oleh para tonaas Walian dalam upacara adat dalam pelbagai kesempatan, misalnya dalam peristiwa kematian.
Dalam upacara ritual adat, Walian antara lain mengisahkan dengan menyanyi kisah-kisah tentang leluhur Minahasa. Misalnya Walian Maeres membawakan ritual adat dalam suatu acara kedukaan, dan dia akan menyanyikan kisah-kisah leluhur dari si yang meninggal sampai pada Lumimuut dan Toar itu.
Merujuk pada sebuah penelitian oleh Makaliwe tentang penelusuran geneologi leluhur Minahasa, Denni menegaskan bahwa muskil dan tak masuk akal lagi untuk menentukan siapa leluhur Minahasa itu hanya dari rentetan genealogis sekarang sampai manusia pertama, Lumimuut Toar itu.
Sangat mungkin ada yang sudah hilang dan tak tersingkap lagi oleh si Walian dalam upacara Mahorai atau Ramaragesh, apalagi hanya mengandalkan kekuatan ingatan atau bahkan dalam keadaan ‘trans’ di mana ada kekuatan roh supranatural yang hadir dalam diri si Walian. Atau adakah yang pernah merekam kisah yang dibawakan Walian ini secara tertulis dan atau secara audio? Misalnya seperti yang dibuat dalam buku berbahasa Belanda yang dibuat oleh van Kohl, bertahun 1903. Adakah rujukan tertulis yang lebih tua, atau rujukan terbaru yang bisa dijadikan pegangan bagi para peneliti?
Penelitian oleh Makaliwe, misalnya, makin menegaskan bahwa pada hakikatnya kisah leluhur pertama itu memang mitos saja, dan tak bisa dilihat sebagai kisah sejarah geneologis leluhur Minahasa secara lengkap. Tapi justru mitologi atau cara menjelaskan asal usul kisah mitos itu sendiri mempunyai nilainya tersendiri, yakni menyingkap dan menegaskan orientasi kehidupan manusia. Dalam kisah cukup jelas arah vertikalnya, yakni hubungan dengan dunia roh leluhur dan sang pencipta, dan arah horisontal dalam hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.
Denni menyebut tokoh pertama adalah Lumimuut. Dikisahkan bahwa dialah manusia satu-satunya yang selamat dalam peristiwa air bah yang melenyapkan semua penduduk bumi. Dengan susah payah sampai berkeringat, Lumimuut bisa selamat.
Tokoh kedua adalah Karema. Siapakah sosok ini? Dalam kisah, Karema direpresentasikan sebagai yang sakral di bumi, sebagai pendeta atau imam yang mengantarai dunia langit dan dunia manusia berpijak. Dikisahkan bahwa Opo Karema menyuruh Lumimuut menghadap empat penjuru angin supaya bisa mendapat keturunan, dan setelah menghadap tiga mata angin, nanti saat hadap angin barat maka dia hamil dan melahirkan Toar, yang kemudian berpisah dan bertemu kembali, lalu keduanya menjadi isteri dan suami. Lagi-lagi Opo Karemalah sebagai representasi yang Ilahi hadir merestui dan memberkati mereka berdua, maka dari dua pasangan inilah awal mula leluhur Minahasa berkembang hingga kini.
Bagaimana menjelaskan perkawinan ibu dan anak sendiri yang kemudian melahirkan anak-anak keturunan yang menjadi leluhur Minahasa?
Dalam kacamata etik moral apapun, fakta ini disebut perkawinan inses (incest) dan terlarang di banyak peradaban, walau ada juga yang membolehkannya walau tidak banyak, apalagi di masa manusia makin beradab dengan pengaruh nilai-nilai keagamaan dan ilmu pengetahuan. Tapi benarkah demikian adanya dan bagaimana penafsiran yang logis dan faktual? Bagaimana menjelaskannya?
Pertama, perlu dikritisi dengan jelas bahwa penilaian kritis moral itu sejak kapan? Sangat mungkin sejak agama Kristen dan pendidikan ala Barat mulai diterima dan menjadi ukuran standar norma yang berlaku bagi masyarakat.
Kedua, apakah pembuat kisah dan kisah itu sendiri menunjukkan tiadanya norma yang sama dipegang dengan manusia sekarang atau sejak penilaian moral itu dijatuhkan? Harus dijawab pertama bahwa tak bisa dibuat penilaian berdasarkan pembandingan seperti itu. Mitos ini tidak bisa dipakai untuk menentukan norma yang berlaku dalam hal hubungan suami isteri dalam perkawinan menurut norma agama yang melarang inses.
Tapi kisah itu mungkin harus dilihat sebagai sebuah cara bagaimana leluhur Minahasa berusaha dijelaskan awal mula kehidupan manusia yang sangat dekat secara horisontal bahkan secara vertikal. Lagipula memang ada kisah serupa di beberapa komunitas budaya di Nusantara. Malah ada yang lebih ekstrem, misalnya leluhurnya berasal dari hewan. Akan lebih menarik dan kiranya akan lebih banyak pemaknaan yang bisa diangkat ketika menganalisis 90-an versi kisah yang dianggap lebih awal itu, juga kisah-kisah yang ditambahkan kemudian sebagai pembanding.