Drakula Takut Masuk Minahasa, Catatan Ikut Perjalanan dengan Gubernur Olly Dondokambey

Editor: Sigit Sugiharto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dari kiri ke kanan, Bendum PDI Perjuangan Olly Dondokambey, saya (J Osdar), Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri serta para kader PDI Perjuangan lainnya dalam Kongres PDI Perjuangan di Bali , 27 Mei 2017

Oleh J.Osdar - Wartawan Senior 

Awal Juni 2015, saya jumpa dengan Olly Dondokambey, di rumah pribadi Presiden RI ke-5/ Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Olly waktu itu memegang jabatan Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, Ketua DPD PDI Perjuangan Sulawesi Utara dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR. 

Ketika itu, saya baru selesai makan siang dan berbincang bincang dengan Megawati dan Eriko Sotarduga, Wakil Sekjen PDI Perjuangan dan Anggauta DPR.

“Meijo torang makang siang dulu,” ajak Olly pada saya di pintu bagian tengah rumah Megawati. “Odoh kita so makang, baru saja,” jawab saya yang siap siap meninggalkan rumah itu. Sebelum saya pergi, saya dan Olly saling menukar nomor telepon genggam.

Beberapa hari kemudian, Kamis 11 Juni 2015 kebetulan saya berdiri di depan Olly dan istrinya, Nyonya Ir Rita Tamuntuan dalam antrean untuk menyalami mempelai Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda di Solo, Jawa Tengah. Ketika itu, Presiden Joko Widodo sedang menikahkan putera sulungnya, Gibran.

Sambil menunggu mendapat giliran bersalaman dengan mempelai dan keluarga, saya dan Olly banyak berbincang-bincang tentang Sulawesi Utara. Dalam perbincangan ini, Olly menawarkan untuk mengadakan perjalanan ke Sulawesi Utara. Saya sampaikan tawaran Olly kepada Rikard Bagun, pemimpin redaksi Harian Kompas waktu itu. Rikard setuju dan menyampaikannya kepad Jakob Oetama (JO), Pemimpin Umum dan Pendiri Harian Kompas.JO juga setuju.

Selang beberapa hari kemudian, saya dan Rikard Bagun bertemu lagi dengan Megawati di kediaman di Jalan Teuku Umar. Ketua Umum PDI Perjuangan hanya mengatakan, “silakan” ketika saya sampaikan rencana untuk ke Manado dengan Olly. “Mau jalan dengan Don ? Silakan,” kata politsi paling senior di Indonesia atau mungkin di dunia yang masih memegang tampuk pimpinan partai terbesar di Indonesia itu

Mulailah perjalanan saya keliling Sulawesi Utara dari ujung ke ujung yang berlangsung selama lima tahun, sampai kini yang saat ini terhenti sementara karena ada serangan virus Corona, Covid 19. Kini, di saat saya harus tinggal di rumah, tidak keluar-keluar karena Pandemi Covid-19, saya membayangkan perjalanan keliling Sulut bagaikan jiarah relegius ke sejuta kampung di negeri itu. Mengapa begitu. Ikuti perjalan saya lewat angan-angan.

Sabtu, 8 Agustus 2015, subuh, saya terbang ke Manado bersama Olly. Saya tidak tinggal di Manado, Sulut. Saya bolak- balik Manado - Jakarta. Saya banyak bernostalgia di provinsi ini. Serasa sedang menjelajahi sejuta kampung yang penuh devosi relegiusitas dan keceriaan.

Perjalanan saya dengan Olly Dondokambey Jakarta - Manado, Sabtu subuh, 8 Agustus 2015 (J Osdar)

Setelah perjalanan berlangsung, timbul keinginan saya untuk berjalan ke masa lalu, masuk ke sejarah masa lalu juga. Bukankah Presiden Soekarno atau Bung Karno sering mengatakan, Jasmerah, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Perlu dicatat, Bung Karno adalah tokoh panutan Olly Dondokambey.

Olly telah mendirikan patung monumen Bung Karno di jalan raya yang dia beri nama Jalan Soekarno di Desa Kolongan, Minahasa Utara, Manado.  Patung itu diresmikan Presiden RI ke-5/Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Sabtu 28 November 2015. Di depan patung itu, Olly melantik para perjabat pemerintah Provinsi Sulut, Selasa 3 Januari 2017. Di jalan itulah Olly dan keluarga tinggal, Jalan Soekarno nomor satu.

Perjalanan Ibadah Kebaktian

Sabtu pagi jam 00.06 waktu Indonesia timut (Wita), 8 Agustus 2015, saya tiba di rumah Olly di Kolongan, Maumbi, Kecamatan Kalawat, Minahasa Utara. Rumah Olly yang kini sering diberi nama sandi Cempaka (karena banyak pohon cempaka), punya panorama indah, karena berlatarbelakang gunung penuh mitos, Kalabat.

Di rumah Cempaka ini saya jumpa para asisten, ajudan, jurumasak dan tukang kebun, seperti Toni Purukan, Clay Dondokambey (sekarang Kepala Biro Umum Pemprov Sulut), Lexi Mantiri, Aiptu Romel Eduar Ering, Brigadir Oktavian Yohanes Aror, Briptu Holland Marpaung, Victor Rarung, Anne Sumilat, Ferris Paulus (juru foto), Janeman Amang Botto, Max Dondokambey (Om Uca), Novi Mantiri (protokol), Chandra Pateh, Eka Prisytia Wagiu, Angela Rumeeng, Lenny Mantiri dan lain-lainnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD ketika menjabat anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sempat datang ke Manado, bulan September 2019. Sebelum meninggalkan Manado ia menyempatkan diri singgah ke rumah Olly di Kolongan, tapi kebetulan Gubernur Sulut ini sedang tidak di rumah. Ketika saya kontak lewat telepon Mahfud mengatakan, “Saya cuma mau mampir dan melihat keindahan panorama alam di rumah Pak Olly.”

Di rumah itu telah menunggu Andre Angau, bendahara DPD PDI Perjuangan Sulut, yang kini telah menjadi Ketua DPR Provinsi. Pelantikannya di tahun 2016 cukup unik, karena mengunakan ritual Kong Hucu. Ada aroma dupa. Saat itu mungkin baru saat itu terjadi di Indonesia.

Setelah sarapan, Saya, Olly dan Andre diantar oleh pengemudi berbadan besar yang kini sudah almarhum, Tammy Mantik. Dia adalah teman Olly sejak di SMP di Manado. Olly biasa memanggilnya, Temo (nama bumbu kacang hitam di dalam bakpao atau biapong). Kami sampai di pantai Marina, pantai Manado. Di sini, kita mengikuti ibadah/kebaktian para pendeta Minahasa yang dipimpin Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Pendeta Dr Henny William Booth Sumakul PhD (kini sudah diganti oleh Pendeta Hein Arina).

Usai acara ini, saya mengikuti rombongan Olly dengan iring-iringan ke sebuah kampung di pantai Belang, Minahasa Tenggara (Mitra). Perjalanan sejauh 110 kilometer dari Manado. Di kampung itu, Olly langsung mengikuti acara ibadah/kebaktian yang dipimpin seorang pendeta. Sebelum pulang ke Manado pada tengah malam kami singgah di beberapa kampung lain, yang semuanya ditandai dengan acara ibadah kebaktian. Jadi perjalanan hari ini saya hayati sebagai perjalanan ibadah/kebaktian. Kami sampai kembali di Manado Minggu subuh, 9 Agustus 2015. Saya menginap di Grand Puri Hotel. Di situlah saya menginap setiap kali datang ke Manado, selama lima tahun terakhir ini. 

Dengan Gubernur Sulut Olly Dondokambey dan Wagub Steven Kandou di Kantor Gubernur Sulut, 19 Maret 2016 (J Osdar)

Minggu pagi jam 09.00 Wita, saya diajak Olly ikut kebaktian di sebuah gereja GMIM di Manado Utara. Hari ini dari pagi hingga sore, saya mengikuti Olly ke lima tempat, semua ditandai dengan acara kebaktian/ibadah.
Setelah saya lihat kembali perjalanan selama lima tahun ini, sebagian besar ditandai dengan acara kebaktian. Maka saya menamai perjalanan ini adalah perjalanan ziarah suci, kebaktian/ibadah. Dari perjalanan dengan Olly inilah membuat saya rajin membuka Kitab Suci/Al Kitab dan menempelkan beberapa firman dalam hati.
Drakula takut masuk Minahasa.

Suatu hari, Sabtu, 5 September 2015, saya mengajak teman dari Jakarta, menghadiri acara kebaktian/ibadah perayaan ulang tahun ke-81 Opa Jhon Samuel Tamuntuan, ayah mertua Gubernur Olly Dondokambey atau ayah Nyonya Ir Rita Tamuntuan. “Panorama alam dari perjalanan ini indah, tapi yang paling berkesan bagi saya sepanjang jalan ini hampir tiap beberapa meter ada gereja. Jumlah gereja nampaknya lebih banyak dari pohon pohon cengkeh dan pohon kelapa,” kata teman saya.

Saya juga ingat, sutradara film dan budayawan Indonesia, Garin Nugroho pernah mengatakan Minahasa ini tanah relegius. Ia mengatakan ini setelah mengikuti Olly beribadah di sebuah gereja di Tikala, Manado. Dalam perjalanan dari Manado ke Minahasa Utara, Garin melihat banyak salib yang dipasang di pohon-pohon di tepi jalan. “Waduh pasti Drakula takut masuk ke Minahasa. Drakula akan meradang dan hancur melawati jalan-jalan ini,” ujarnya. Ketika saya ceritakan ucapan Garin itu kepada Ibu Gubernur, Nyonya Ir Rita Tamuntuan langsung tertawa.

Dalam suatu acara dongeng yang melibatkan Olly Dondokambey, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (Selasa, 20 Oktober 2015) dan Gubernur Banten (waktu itu) Rano Karno di Bentara Budaya Kompas Jakarta, Garin juga mengatakan masuknya Olly dalam kancah politik di Indonesia akan membuat matahari benar-benar terbit dari timur. “Pemimpin akan muncul dari ufuk timur,” ujarnya yang kemudian disusul alunan suara Connie Maria Mamahit (sekarang sudah almarhumah) yang melantunkan lagu “Balada Pelaut”.

Garin adalah pencipta iklan Pemilihan Umum tahun 1997 yang cukup legendaris. Seorang ibu dari Tongkaina dimunculkan dengan mengatakan “Inga, Inga” sambil memincingkan sudut matanya dengan gaya yang kaku.
Minggu pagi, 13 September 2015, dari Manado menyeberang ke Pulau Bunaken, dan mengikuti kebaktian/ibadah di gerjea GMIM Patmos. Kotbah dibawakan oleh Bendahara Umum GMIM (waktu itu) Recky Montong. Di Bunaken, Olly menyapa rakyat, di antaranya seorang ibu bernama Maria yang menggendong anaknya yang lumpuh, Fernanda. Ibu Maria minta kepada Olly kursi roda. Olly berjanji untuk memberi (beberapa hari kemudian dipenuhi). “Terima kasih Tuhan,” kata Maria ketika itu.

Duka Olly

Sekembali dari Manado siang itu, Olly mengikuti kebaktian/ibadah di Manado Utara. Dari situ Olly menempuh perjalanan sekitar satu jam ke wilayah Lembean Kombi untuk mengikuti ibadah syukur hari ulang tahun ke-181 Jemaat GMIM Imanuel Ranowangko II.

Dalam kesempatan menyampaikan sambutannya, Olly bercerita tentang kegagalannya mengikuti pemilihan anggota DPR tahun 1999. Ia juga mengisahkan mengikuti sidang pengadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum berkisah Olly mengutip Nas Al Kitab spserti ini:”Tetapi aku, tentu akan mencari Allah, dan kepada Allah aku akan mengadukan perkaraku.” (Ayub 5 : 8).

Olly berkisah, tahun 1999, ia bersama jemaat gereja di Bekasi, Jawa Barat membangun sebuah gedung gereja. Belum juga selesai pembangunan itu, Olly pulang ke Manado untuk mengikuti Pileg (pemilihan anggota legislatif). Ia yakin menang, tapi ternyata kalah. Padahal, saat itu PDI Perjuangan menang telak, di atas 30 persen. “Saya sedih. Kiapa kita sampai gagal ? Saya berdoa banyak. Saya ambil keputusan kembali ke Bekasi dan menyelesaikan pembangunan gereja. Lima tahun kemudian saya ikut lagi Pileg dan berhasil,” ujarnya.

Setelah jadi anggota DPR, Olly mendapat tuduhan korupsi dan diadili. Ia mengungkapkan kesedihan dirinya dan tentu keluarganya. “Meja saya di rumah di Kolongan disita dan menjadi berita besar di media massa. Tapi, ketika saya diputus tidak bersalah dan meja saya dikembalikan, tidak ada berita dari media massa. Tapi saya bersyukur dan berdoa,” kisah Olly yang mengharukan itu.

Kisah ini sering diceritakan pada saya di setiap kesempatan di dalam mobil atau pesawat dalam perjalanan. Selain kisah sedih Olly juga bercerita bagaimana mulainya ia bisa sampai menjadi perhatian Megawati. “Saat pertama, banyak melihat saya sebagai anak sepanggal.

Sering juga saya sampaikan kepada Olly, antara tahun 2004 - 2014, beberapa pejabat dalam istana kepresidenan memberi informasi kepada, “suatu yang cukup ajaib orang bernama Olly Dondokambey bisa mencapai posisi dekat Megawati”. Ketika suatu hari hal ini saya sampaikan kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Redaksi Kompas tahun 2014, beliau hanya tersenyum.

Dalam acara peringatan Natal di kantor PDI Perjuangan di Kolongan, Minahasa Utara, Januari 2020, Megawati antara lain mengatakan dirinya bersahabat dengan Olly semenjak PDI Perjuangan masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketika berkampanye untuk Olly di Tahuna, Sangihe, Sabtu 28 November 2015, Megawati mengatakan ia menugaskan Olly untuk jadi Gubernur Sulut selain agar wilayah ini maju sampai ke desa-desa. “Selain itu supaya kalau datang ke Sulut bisa makan ikan yang enak,” canda Mega.

Garin Nugroho, Edo Kondologit, Zulkifli Hasan, Olly Dondokambey, dan Rano Karno bersama menyanyikan lagu Pancasila Rumah Kita dalam acara dialog Dongeng Laut dan Indonesia , di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (20/10/201 (Tribunnews.com/Ruth Vania Christine)

Dalam acara penyambutan Megawati di bandar udara Tahuna, Sangihe, saya minta kelompok musik bambu setempat untuk mambawakan lagu “Cucak Rowo”. Saya menduga mereka akan mengatakan tidak bisa. Tetapi, ketika melintasi kelompo musik itu terdengar lagu “Cucak Rowo”. Ketika di acara peresmian Patung Bung Karno di Kolongan Ketua Dewan Perwakilan Kabupaten Minahasa Utara Berty Kapojos bertanya pada saya, lagu yang bisa mengesankan Ibu Mega? Saya bilang, “Cucak Rowo”. “Kelompok musik kita belum mempelajari lagu itu,” jawab Berty.

Saya mencatat, setelah merosotnya suara PDI Perjuangan dalam Pileg 2004 dan kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden secara langsung 2004 dan 2009, justru karier Olly bersinar.

Dalam pembukaan masa kampanye pemilihan gubernur Sulut di pantai Mega Mas, Manado, Kamis 27 Agustus 2015, Olly didampingi wakilnya yang cukup brilian, Steven Kandou, antara lain menyerukan dengan mengutip ucapan Bung Karno : “Saat ini kita belum hidup di bawah naungan terang sinar bulan”.

“Kita masih hidup di zaman pancaroba pancaroba bersama OD-SK (Olly Dondokambey - Steven Kandou),” kata Olly.

Masih mengutip Bung Karno Olly menyerukan pula, “Tuhan bersemayam di gubug orang miskin, tidak mungkin kita mencintai sesama tanpa mencintai Tuhan.” Dalam pilkada serentak 9 Desember 2015, Olly dan Steven menang telak. OD-SK dilantik bersama para calon gubernur dari provinsi lainnya oleh Presiden Joko Widodo, Jumat 12 Frebuari 2016. Istana Negara saat itu seperti pesta Kawanua. Para gubernur lain membawa saudara atau rekannya paling banyak 3 sampai empat orang. OD-SK diiringi lebih dari 50 orang. “Saya sering mendengar ucapan meijo-meijo atau mari jo-mari jo (ayolah) selama acara pelantikan ini,” ucap seorang protokol istana pada saya.

Bulan Oktober 2015, Olly meluncurkan buku berjudul “Politik sebagai Sarana Keselamatan”. “Saya ingin hidup saya sebagai alat atau hamba Tuhan untuk mewartakan kristianitas dalam kehidupan berpolitik.”

“Saya akan selalu haus untuk tetap setia berada bersama dengan orang - orang kecil dan terpinggirkan, di mana pun , lebih khusus di Sulawesi Utara,” kata Olly pada bagian lain (halaman 143).

Lebih mengharukan dan mengesankan lagi kutipan tulisan Olly di halaman 150. “Seorang politikus adalah seorang yang adil dan abdi negara. Sebagai abdi negara dia harus melepaskan seluruh kepentingan diri, keluarga, agama, suku, golongan untuk mengabdi semua warga negara.”

Sabtu, 26 Mei 2018, saya satu mobil dengan Gubernur Olly Dondokambey dan Ibu Gubernur, Ny Ir Rita M Tamuntuan untuk mengikuti ibadah syukur ulang tahun ke-54, Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM Pendeta Dr Hein Arina di Desa Temboan Langowan. Dalam doa bersama keluarga Pendeta Arina - Suoth antara lain didaraskan kalimat doa :”Hidup adalah suatu perjalanan, tempuhlah itu bersama Tuhan”. Kata-kata ini menjadi inspirasi bagi tulisan perjalanan saya di Sulawesi Utara mengikuti Gubernur Olly Dondokambe.

Menutup tulisan tentang perjalanan di Sulut bagian pertama ini saya ucapan terimakasih kepada Mas Sigit Sugiharto, Pemimpin Redaksi Tribun Manado, yang ikut membaca naskah ini. (J.Osdar)

Berita Terkini