Ghufron menuturkan, masalah overkapasitas yang dijadikan alasan oleh Yasonna merupakan masalah yang sudah lama terjadi.
Menurut KPK, Kemenkumham belum memperbaiki tata kelola di Lapas Sukamiskin,
terkait rencana aksi yang telah disusun sebelumnya, seusai operasi tangkap tangan di Lapas Sukamiskin.
"Sehingga kapasitas sel menjadi tidak imbang. Selama masih seperti ini adanya,
tidak beralasan untuk melakukan pembebasan terhadap Napi karena malah akan menimbulkan ketidakaadilan baru," kata Ghufron.
KPK pun berharap Kemenkumham segera membenahi pengelolaan lapas secara serius untuk memastikan tujuan pembinaan di lapas dapat tercapai.
"Termasuk dalam hal terdapat pandemi corona ini. Sehingga overkapasitas dapat diminimalisasi dan pemetaan napi yang patut dibebaskan dan juga lebih terukur," ujar Ghufron.
Ia menambahkan, KPK pernah menemukan ada ribuan napi dan tahanan di rutan dan lapas yang berstatus overstay,
yakni mereka yang seharusnya sudah bisa keluar namun tersandung masalah administrasi.
Belum lagi banyaknya narapidana kasus narkotika yang seharusnya bisa mendapatkan rehabilitasi.
"Intinya, kami harap Kementerian Hukum dan HAM memiliki data yang akurat sebelum mengambil kebijakan di tengah Pandemi Covid-19 ini sehingga masyarakat bisa memahami kebijakan tersebut memang atas dasar kemanusiaan, dan dilaksankan secara adil," kata Ghufron lagi.
Diberitakan sebelumnya, Yasonna Laoly berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hal itu dikarenakan napi koruptor dan narkotika, yang tata laksana pembebasannya diatur lewat PP itu,
tidak bisa ikut dibebaskan bersama 30.000 napi lain dalam rangka pencegahan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas).