Padahal, menurut Luis, satwa liar dan virus itu sudah berevolusi bersama sampai ke tingkat tidak membahayakan bagi alam. Virus membutuhkan inang, untuk tetap hidup dari generasi ke generasi dan bisa hidup tanpa membuat hewan yang ditempatinya sakit.
Namun, ketika iklim dan bentang alam habitat induknya berubah, virus pun mengalami adaptasi. Virus flu, Luis mencontohkan, lebih mudah bertahan di udara yang lembap, ketimbang udara kering. Fakta ini menunjukkan bahwa iklim akan mempengaruhi kecepatan penyebaran virus.
Korelasi antara kenaikan suhu bumi dengan kecepatan penyebaran penyakit berbasis virus dari induk kelelawar, memang belum ada data ilmiah yang disepakati bersama. Namun, pada kasus arboviral (infeksi virus dari serangga dan artopoda), sudah ada kajiannya tentang korelasi perubahan iklim.
Dalam laporan WHO di atas, disebutkan bahwa kenaikan suhu 2-3 derajat celcius, akan meningkatkan terjadinya demam berdarah dan malaria 3-5 persen.
Peneliti dari Universitas Florida, menguatkan estimasi WHO tersebut. Laporan di jurnal PNAS berjudul "Amazon deforestation drives malaria transmission, and malaria burden reduces forest clearing" yang terbit Oktober 2019 menunjukkan bahwa korelasi kuat antara pembukaan tutupan hutan tropis dan penyebaran penyakit.
Tim peneliti dari Universitas Florida menyimpulkan bahwa kenaikan laju deforestasi di Hutan Amazon, Brasil sebesar 10 persen, akan mendorong peningkatan kasus malaria sebesar 3.4 persen.
Jadi, apakah kita masih mau menjadi penonton atau terjun langsung dalam ikhtiar mencegah darurat iklim? Corona dan darurat iklim menanti aksi nyata kita.
Niel Makinuddin dan Dianing Sari
Pegiat lingkungan di Yayasan Konservasi Alam Nusantara/YKAN)
Catatan penulis: opini ini tidak mewakili pandangan YKAN
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dua WNI yang Positif Virus Corona Tinggal di Depok"