Profesor Arturo menjelaskan bahwa patogen (bakteri, virus, dan jamur yang menimbulkan penyakit) bisa bertahan, berkembang biak, dan beradaptasi lebih baik pada suhu yang menghangat, termasuk di suhu tubuh manusia.
Tahun ini, suhu di Antartika memecahkan rekor tertinggi di angka 18 derajat celcius, yang terjadi pada 6 Februari 2020. Kenaikan suhu di Antartika dan melelehnya lapisan es di kutub utara tersebut adalah tanda nyata dari krisis iklim yang bisa dilihat dengan kasat mata.
Bagaimana mencairnya es di dari kutub utara menuju ke penyebaran virus atau penyakit menular? Benang merahnya adalah si pembawa sumber penyakit.
Dr. Tracey Goldsten dalam laporan bertajuk "The Ocean and Cryosphere in a Changing Climate", pada September 2019 lalu menyatakan bahwa hilangnya lapisan es di Kutub Utara mendorong satwa laut liar di dalamnya untuk bermigrasi.
Lantas, dalam proses migrasinya mencari tempat makan dan tempat tinggal baru, mereka akan berinteraksi dengan satwa yang sebelumnya tidak sehabitat.
“Interaksi beda habitat ini membuka peluang dalam perkenalan dan transmisi penyakit menular baru, yang sayangnya berpotensi mematikan,” ujar Tracey yang juga peneliti dari Universitas California, Davis.
• Ibu dan Anak di Indonesia Positif Virus Corona, Terjangkit Setelah Berhubungan dengan WN Jepang
Sejarah sudah mencatat, bahwa hewan adalah pembawa patogen ke manusia. Mulai dari awal 1980, bagaimana AIDS/HIV yang banyak terindikasi menyebar dari monyet, lalu flu burung di pertengahan tahun 2000-an, diikuti flu babi di akhir 2000-an.
Teranyar, mengutip tulisan Profesor Tim Benton yang dimuat situs berita BBC pada 31 Januari 2020, kelelawar menjadi induk penyebaran corona virus dan turunannya (SARS, MERS dan Covid-19) dan sebelumnya diketahui bahwa kelelawar juga memberi manusia pandemik Ebola di Afrika.
Namun, krisis iklim yang semakin parah, mempercepat prosesnya. Apalagi globalisasi membuka ruang manusia untuk berpindah tempat dalam waktu cepat.
Nah, sayangnya, pada kasus penyebaran penyakit hewan ke manusia, Profesor Tim menguraikan korban paling rentannya adalah penduduk di wilayah padat dan miskin.
Mereka yang hidup dalam tempat dengan sanitasi buruk, udara yang terpolusi, dan nutrisi kurang, akan menyebabkan imun tubuh melemah, sehingga membuka ruang untuk masuknya patogen. Padatnya populasi kota, juga mempercepat penyakit menular ini.
Pendapat dari Profesor Tim tersebut dikuatkan sejawatnya dari Global Change Center, Virginia Tech, yaitu Dr. Luis Escobar.
• Apel Kerja ASN dan THL Awal Bulan Maret, Ini Pesan Asisten II Philips Benyamin Sondakh
Dalam wawancara dengan radio WVTF (radio nasional di kawasan Virginia, Amerika Serikat) pada 6 Februari lalu, Luis menyatakan bahwa krisis iklim membuka benteng manusia terhadap patogen.
Secara spesifik, ahli penyakit ekologi ini, menjelaskan bahwa deforestasi dan pembukaan tutupan hutan akan mendekatkan manusia dengan virus yang seharusnya hidup di habitat liarnya.
Doktor Luis mengatakan, sedari ribuan tahun lalu virus-virus ini sudah hidup berdampingan dengan manusia dan hewan. Virus ini berinang ke hewan-hewan liar tersebut. Namun kenaikan suhu bumi dan perilaku manusia yang merusak alam, mengubah ekosistem dan perilaku para satwa ini. Satwa pun bermigrasi atau bahkan berinteraksi dengan manusia.