Berita Terkini

Dilantik jadi Anggota DPR, Yasonna Tetap Usul Presiden Tolak Revisi UU KPK: Sebaiknya Jangan

Editor: Rhendi Umar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Yasonna Laoly

TRIBUNMANADO.CO.ID - Yasonna H Laoly telah resmi dilantik sebagai anggota Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Yasonna sendiri diketahui sebelumnya menjabat sebagai Menteri Hukum dan Ham selama 4 tahun.

Yasonna sendiri gencar menyuarakan menolak usulan dari sejumlah pihak yang meminta revisi RKUHP dibatalkan dan disusun ulang.

Bahkan Yasonna mendukung  agar Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) direvisi.

Suara kegigihan Yasonna tetap dia pegang, saat dirinya jadi Anggota DPR.

Yasonna tetap meminta Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perppu untuk mencabut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.

"Sebaiknya jangan (terbitkan perppu)," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Yasonna yang baru saja mundur dari posisi menteri hukum dan HAM ini menilai revisi UU KPK sudah tepat.

Baca: Mantan Menkum HAM Yasonna Laoly Dilantik Jadi Anggota DPR RI, Kembali di Komisi III?

Baca: Hindari Rangkap Jabatan Yasonna Laoly Pilih Mundur dari Menteri, Dipastikan Dilantik Anggota DPR

Baca: Tolak Revisi UU KPK, Yasonna Laoly Ternyata Pernah Diperiksa Kasus E-KTP hingga Disebut Pembohong

Ia mengklaim revisi yang dilakukan DPR dan pemerintah itu bertujuan untuk memperbaiki KPK.

"Ini kan kita maksudkan untuk perbaikan governance-nya KPK," kata Yasonna.

Oleh karena itu, Yasonna meminta masyarakat untuk melihat terlebih dahulu bagaimana kinerja KPK setelah UU hasil revisi ini diketok.

Yasonna meminta masyarakat tidak langsung berpikiran buruk bahwa revisi bisa melemahkan KPK.

Ia juga meminta masyarakat berhenti menekan Presiden untuk menerbitkan perppu.

"Jangan membudayakan menekan-nekan. Sudahlah. Kita atur secara konstitusional saja," kata Yasonna.

"Jalankan dululah, lihat kalau nanti (kinerja KPK) tidak sempurna buat legislative review. Belum dijalankan kok sudah suuzon," kata dia.

Yasonna menambahkan, kewenangan menerbitkan perppu memang ada di Jokowi.

Namun, perppu juga perlu dibahas bersama-sama oleh DPR.

Presiden Jokowi sebelumnya mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK setelah aksi unjuk rasa menolak UU KPK dilakukan mahasiswa di sejumlah daerah.

BERITA TERPOPULER: Cerita Sulemi, Anggota Cakrabirawa Penjemput AH Nasution saat G30S PKI: Saya Katakan Sesuai Lihat

BERITA TERPOPULER: Terkait Siswa SMP Meninggal saat Diganjar Hukuman Berlari, Polsek Mapanget Akan Periksa Oknum Guru

BERITA TERPOPULER: Vanessa Angel Mandi Bareng 5 Pria, 4 Orang Tak Pakai Baju, Ada yang Sebut Vicky Prasetyo

Hal itu disampaikan Jokowi seusai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Jokowi mengaku mendapat masukan dari para tokoh untuk menerbitkan Perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa.

"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu."

"Tentu saja ini kita hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kita putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," kata Jokowi didampingi para tokoh yang hadir.

Namun, hingga Rabu (2/10/2019) pagi ini, Presiden Jokowi belum juga mengambil keputusan apakah akan menerbitkan perppu atau tidak.

Jokowi Disebut Tak Hormati DPR jika Terbitkan Perppu

Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (27/9/2019). ((KOMPAS.com/Ihsanuddin))

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini tengah mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menilai apabila Presiden Jokowi menerbitkan Perppu, maka itu sama saja, Presiden tidak menghargai DPR.

“Kalau begitu bagaimana? Ya mohon maaf, Presiden enggak menghormati kami dong? Enggak menghormati kita bersama yang sudah membahas, Presiden dengan DPR,” ujarnya.

Terkait hal tersebut, Kompas.com pada Sabtu (28/9/2019) menghubungi Mada Sukmajati, Pengamat Politik dari UGM.

Menurutnya, secara arsitektur kelembagaan hal tersebut (penerbitan Perppu) dimungkinkan.

“Perppu itu semacam veto bagi presiden, kemudian diberikan lembaga legislatif. Ini soal tata negara kita bukan soal hormat tidak hormat” ujarnya.

Ia juga menyebut justru ketika ini dilakukan justru menunjukkan kebijaksanaan presiden.

“Dalam konteks itu, menunjukkan presiden di posisi rakyat saat ada perbedaan antara kebijakan publik dan kehendak publik,” ujarnya.

Menurutnya, apabila dilakukan hal tersebut juga memperlihatkan check and balancing antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Sehingga menurut Mada, apabila disebut tidak menghormati, maka perlu diingat bahwa kedudukan presiden juga sebagai policy maker, atau pembuat peraturan.

“Presiden juga policy maker, bukan hanya DPR, dan Perppu adalah kelonggaran kewenangan presiden. Negara mengakomodir Perppu apabila terjadi misalnya keadaan genting, memaksa dan sebagainya,” katanya.

Ia juga mengkritisi posisi Bambang yang notabene berasal dari PDIP.

“Ini seperti tak ada koordinasi antara PDI di Parlemen dengan presiden. Ini bisa menjadi adanya indikator politik terbelah. Karena seyogyanya partai yang mendukung pencalonan presiden dahulu seharusnya mengikuti irama presiden,” ucapnya lagi.

Adapun, terkait pengeluaran Perppu KPK, ia mengamati, untuk sekarang, hal tersebut adalah pilihan terbaik.

“Mungkin tak akan memuaskan banyak pihak, namun jika dilakukan, ada indikasi kuat presiden mengakomodir kehendak publik,” kata dia.

Sementara itu, Kuskridho Ambari, pengajar di Fispol UGM juga menanggapi, menurutnya, dikeluarkannya perppu KPK berkaitan dengan aspirasi publik dimana presiden harus meresponsnya.

“Saya kira urusannya menguatnya aspirasi publik berkaitan UU KPK revisi. Bukan tentang penghargaan ke DPR yang tak terlalu penting di tengah situasi yang panas,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan DPR merupakan wakil rakyat jadi sudah seharusnya menekankan terhadap aspirasi rakyat dan bukan aspirasi mereka sendiri.

Terkait pendapat Bambang yang menyebutkan seharusnya dilakukan judical review ke MK, Kuskridho Ambari yang kerap disebut Doni mengatakan sekarang ini mengeluarkan perppu memiliki alasan yang kuat.

“Alasannya cukup kuat melihat situasi terakhir. Jalur judicial review perlu waktu panjang, kurang cocok menghadapi perubahan cepat,” kata dia.

Ia juga mengingatkan bahwa yang perlu direspons adalah situasi terkini yang mana eskalasi kekerasan pada mahasiswa dan publik meningkat.

“Wakil dari PDIP itu lebih mementingkan isu elitis ketimbang isu publik. Dan mestinya, ia melihat opsi-opsi yang bisa dipilih presiden ketimbang mengeraskan dan memojokkan presiden,” paparnya.

Sebelumnya, Bambang mengatakan, pembatalan RUU yang sudah disahkan DPR harus melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"Saya bilang, constitusional law. Kita menyatakan kalau Anda enggak sepakat undang-undang, masuknya itu ke dalam MK, judicial review di sana, bukan dengan perppu. Clear," kata Bambang saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019).

Seperti diketahui sejak Selasa (24/9/2019) sejumlah massa dari kalangan mahasiswa maupun elemen masyarakat lain melakukan sejumlah aksi turun ke jalan.

Dalam aksi tersebut sejumlah tuntutan disampaikan.

Di antaranya adalah masalah RKUHP dan UU KPK.

Massa yang terus bergerak sempat diwarnai aksi ricuh di sejumlah daerah hingga timbulnya korban tewas.

Meski sempat mengatakan tegas menolak mengeluarkan Perppu KPK, pada akhirnya Presiden menyampaikan untuk mempertimbangkan mengeluarkan Perppu terkait UU KPK. (Kompas.com/Ihsanudin/Nur Rohmi Aida)

SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO TV:

Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Sarankan Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK, Yasonna Laoly Minta Rakyat Berhenti Menekan Presiden

Berita Terkini