Emas Coklat Tak Sekinclong Dulu: Petani Tareran Ini Masih Raup Rp 7 M

Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petani cengkih di Boltim

TRIBUNMANADO.CO.ID, TONDANO – ‘Si emas coklat’ tak lagi sekinclong dulu! Harga cengkih kering per kilogram di pasaran terjun bebas dari Rp 120 ribu menjadi Rp 70 ribu. Situasi ini cukup memukul petani yang sedang masuk musim panen raya cengkih di Sulawesi Utara.

Harga murah, nilai ekonomis rendah, membuat petani cengkih dilematis. Mereka urung menjual langsung hasil panen. Sebagian lagi terpaksa melepas komoditas ini lantaran takut harga semakin turun.

Ance Watulangkow (65), warga Jaga IV, Desa Tombuluan, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa ini mengatakan, menjual cengkih yang telah dipanennya karena takut harga terus turun. "Kalau sekarang sih rata-rata harganya kisaran Rp 70 ribu.

Baca: KPK Pecat Pengawal Tahanan Idrus: Begini Alasannya

Tergantung kualitas cengkih. Kalau mau disimpan terus tiba-tiba harga tambah turun bisa rugi karena sudah terlanjur membayar pemetik dengan harga mahal, belum lagi biaya lain-lain seperti terpal dan alat panen," katanya kepada tribunmanado.co.id, Senin (15/7/2019).

"Kalau bisa dibilang ini kayak bertaruh harga, kalau nanti harga turun ya harus segera dijual, namun kalau harga naik ya simpan dulu. Tapi kami kan tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan," tambahnya. Menurutnya, jika musim cengkih tiba, perekonomian masyarakat desa dapat terbantu dengan pendapatan tambahan dari penjualan cengkih.

Bahkan, warga yang tak memiliki kebun cengkih saja bisa meraup untung dari hasil bekerja sebagai pemetik. Ance mengungkapkan, saat mulai musim panen, ia mempekerjakan empat orang dari desanya untuk jadi pemetik dengan upah Rp 4.000 per liter.

"Kalau harga cengkih murah, para petani dipastikan mengalami penurunan pendapatan. Saat ini kemampuan pengumpul hanya berani membeli dengan harga Rp 70 ribuan," sebutnya.

Dia menyebut, tahun ini, hampir semua pohon cengkih berbuah lebat. Ada sebanyak 160 pohon cengkeh yang ditanam di dataran tinggi daerah Tombulu. "Ya, syukur pada panen raya kali ini semua pohon dengan total 160 pohon bisa berbuah semua, untuk satu pohon dapat menghasilkan 5 kg cengkih," katanya.

Baca: Begini Ekspresi Pebulutangkis Tercantik di Dunia usai Menderita Kekalahan

Dia menambahkan, panen raya tahun ini terbilang cukup lama dari tahun sebelumnya. Biasanya panen tiap dua atau tiga tahun sekali namun kali ini mencapai empat tahun. Tapi untungnya tahun ini merupakan panen yang lumayan besar, bahkan ia harus memanen cengkih sejak bulan Mei. Ayah dua orang anak ini mengatakan, ia sudah memiliki pembeli, sehingga tidak repot lagi harus mencari orang untuk membeli cengkih. "Saya menjual cengkih ini di Kota Manado kepada pengumpul yang sudah menjadi langganan," katanya.

Diketahui, dari hasil penjualan cengkih ia sudah bisa menyekolahkan anak dan cucunya hingga memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia berharap pemerintah dapat segera menstabilkan harga komoditas produksi. Bukan hanya cengkih yang berdampak akan penurunan harga, adapula kopra dan pala yang harganya kian merosot. "Harapan saya ke pemerintah, ya semoga harga cengkih bisa diperhatikan agar harga bisa meningkat," tutupnya.

Di tahun 1980-an, petani cengkih Sulut adalah juragan kaya. Punya rumah besar, mobil hingga beberapa buah, gemar berpesta hingga bir ‘dipakai cuci tangan’. Belum lagi pelesir ke luar negeri. ‘Sarapan’ di Singapura. Hingga nonton aksi Maradona di Piala Dunia 1986 Meksiko. Tapi itu cerita lama. Kini petani cengkih dicengkram kemiskinan. Hidup mereka melarat.
Amos, petani cengkih asal Poigar, Kabupaten Bolmong mengaku hidup pas-pasan.

"Saya sebenarnya ingin anak saya yang tua kuliah, tapi bagaimana mau kuliah, untuk membiayai kehidupan sehari hari saja susah," beber dia.
Kehidupannya penuh dengan utang. Motornya sudah ditarik, karena tak mampu bayar cicilan kredit. "Sudah lama kami tidak punya hiburan televisi di rumah. Rumah pun hanya tinggal pada orangtua," kata dia. Ia pernah punya niat untuk menebang saja pohon cengkihnya. Namun, selain alasan warisan orangtua, ia masih punya harapan harga cengkih membaik. "Itu doa saya setiap hari," kata dia.

Amatan tribunmanado.co.id, harga cengkih di Bolmong belum beranjak dari 72 ribu per kilo. Para petani mengeluh sulit untung dengan harga tersebut. "Kalau harga seperti ini sama artinya tekor (rugi)," kata kata Royke Wuwung, petani cengkih dari Modayag yang menjemur cengkihnya di Lolak Bolmong.

Dengan harga 72 ribu per kg, ia mencontohkan, untuk 100 kg cengkih, petani bisa beroleh Rp 7 juta. Potong biaya pemetik sebesar Rp 3 jutaan dan biaya pembersihan Rp 1 juta, ia hanya beroleh 3 juta.

Baca: KPK Harap Pemindahan Napi Korupsi ke Nusakambangan Segera Terlaksana

"Nah itu belum terhitung dengan biaya pemeliharaan, musti diadakan pembersihan (kebun), belum lagi pencegahan hama. Hitung-hitung totalnya Rp 4 jutaan jadi kita tekor Rp 1 juta, panen besar berlangsung empat tahun sekali," kata dia. Menurut dia, untung baru bisa terasa jika harga cengkih berada pada kisaran Rp 100 ribu per kg.

"Kami minta pemerintah segera naikkan harga cengkih ke Rp 100 ribu, sudah terlalu lama kami menderita, hidup rasanya sulit sekali, ngutang sana sini," kata dia. Cengkih pernah jadi primadona di Sulut. "Kalau dulu kami smokol (sarapan) di Jakarta, makan siang di Singapura," kata Om Arie, warga Kombi Minahasa akhir pekan lalu. Sebut Arie (45), kala itu ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayahnya adalah petani cengkih.

"Memang itu kisah betul, bahkan dulu kami cuci tangan pakai bir," kata dia. Dikatakan Arie, cengkih dulunya punya harga tinggi. Sekilo kala itu Rp 15 ribu. "Perbandingannya harga beras Rp 75 per liter," kata dia. Cerita Om Arie, banyak warga yang saking banyaknya uang, hidup berfoya-foya. Beli mobil Jeep hingga tiga (unit), hingga beli kulkas. "Padahal tak ada listrik, jadi kulkasnya diisikan baju, mirip lemari saja," kata dia.

Aku Om Arie, petani kala itu memang tidak menabung. Akibatnya saat harga cengkih jatuh, kehidupan berubah. "Semua harta dijual, ada mobil yang kini tinggal rangka," kata dia. Bart Onibala punya cerita lain.

Dikatakannya, banyak warga Tondano ‘Pante’ -sebutan untuk daerah penghasil cengkih di Minahasa- yang keluar negeri. Piala Dunia 1986 di Meksiko menyita perhatian dunia lewat aksi bintang asal Argentina Diego Armando Maradona. Banyak warga Tondano Pante yang menonton aksi Maradona di PD paling fenomenal itu.

"Banyak yang pergi ke sana," kata dia.
Uang banyak membuat orang dilanda kegilaan. Cerita Bart, beberapa petani cengkih sempat berniat membeli gajah sirkus dari India yang mentas di lapangan Tikala. "Berapa saja mereka tawar, tapi sang pemilik gajah enggan menjual," kata dia.

Harga cengkih di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur bervariasi. Menurut Ulu Paputungan, warga Tutuyan II, yang ditemui tribunmanado.co.id, Selasa (16/7/2019), memang harga cengkih kering bervariatif, karena banyak pengusaha yang datang membeli. "Harganya ada Rp 73 ribu sampai Rp 75 ribu," ujar Ulu.

Kata dia, pembeli ada dari Tutuyan dan juga dari luar Boltim. Bukan hanya cengkih kering dibeli, namun cengkih belum dijemur (mentah). Rata-rata warga Boltim, memiliki cengkih jenis sansibar.

Kendala yang dihadapi petani, saat ini, cuaca. "Kami harus keluarkan biaya, namun cuaca hujan. Sehingga cengkih tidak kering," ujar dia lagi. Musmar Mokodompit mengatakan, harga cengkih tak menentu, tergantung pengusaha yang ambil. Minggu lalu, harganya Rp 72 ribu. "Kami masih simpan sebagian. Menunggu ada kenaikan seperti tahun sebelumnya Rp 85 ribu ," ujar Musmar.

Kepala Bidang Perkebunan Kusno Mamonto mengatakan, lahan cengkih di Boltim berdasarkan data 2017 di Dinas Pertanian Boltim, mencapai 4.949,11 hektare dengan rincian belum menghasilkan 2.514,64 hektare sedangkan menghasilkan 2.122, 25 hektare. Walaupun, ada beberapa hektare lahan yang gagal panen, namun tahun ini bisa dipastikan produksi mengalami kenaikan.

Data Produksi tahun 2017 di Boltim mencapai 879 ton. Kemungkinan mengalami kenaikan di 2019. Mengingat 2018 hanya beberapa lahan cengkih berbuah. "Saya pastikan, tahun ini ada kenaikan signifikan. Karena cengkih berbuah banyak," ujar Kusno Mamonto.

Lanjut dia, tahun ini, ada bantuan bibit dari Provinsi Sulut sebanyak 21 ribu. Mudah-mudahan bisa meningkatkan produksi cengkih. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Boltim Soetiono mengatakan, ada tiga wilayah yang paling terbesar lahan ditanam cengkih, Modayag 1.381,97 hektare, Nuangan 1.298,69 hektare dan Tutuyan 1.105,87 hektare.

"Kami akan terus kembangkan tanaman ini. Sebab komoditi unggulan di Boltim yakni cengkih dan kelapa," ujar Soetiono. Program pemerintah akan terus diperdayakan guna menjaga komoditas unggulan di Boltim.

Deivi Karamoy, pemilik kebun cengkih di Desa Talaitad dan Desa Lansot, Kecamatan Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan merasa bersyukur harga cengkih sudah berangsur naik.

Menurut karyawan swasta ini, jika harga cengkih hanya berkisar Rp 60 ribu, petani tidak akan mendapat untung. "Harganya tembus Rp 65 ribu saja itu sudah ada untung walaupun tipis," kata Karamoy, Selasa (16/7/2019).

Dia mengakui karena masuk dalam panen raya, maka tidak ada pekerja di kebunnya yang berasal dari Minsel. Pemetik cengkih di dua kebunnya diambil dari daerah seperti Sangihe sekitarnya.

Mereka dibayar Rp 5 ribu per liter. Dibayar setiap minggu. Satu orang pekerja bisa memetik sampai 90 liter dalam sehari. "Dulu satu liter, untuk satu pemetik diberi honor Rp 3.500. Tapi karena ada panen raya, honornya jadi Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu," ucap dia.

Honor setiap pekerja ini sudah diluar makan siang. Bahkan para pemetik cengkih diberi sarapan pagi dan juga makan malam. "Di kebun kami ada 19 pemetik cengkih dari Sangihe. Yah kalau dipotong semua ongkos kerja mereka, kami tetap dapat keuntungan jika mengacu harga cengkih sekarang," ujarnya.

Deivi bersyukur bisa memanen sebanyak hampir 100 ton cengkih (Rp 7 miliar jika harga Rp 70 ribu per kg). Seluruh hasilnya dijual kepada para pengepul di Minsel. Jiv Langi, pemilik kebun cengkih di Desa Lowian, Kecamatan Tompasobaru mengatakan, para pekerjanya ada dari Minsel dan dari luar daerah. Harga per liter Rp 4.500.

"Harga itu sudah jadi harga pasaran para pemetik. Memang saat ini panen raya jadi harga pemetiknya juga ikut naik," kata dia.

Pantauan tribunmanado.co.oid, di sejumlah kebun di Kecamatan Tenga, semua pohon cengkih sudah dipetik. Menurut masyarakat di kecamatan ini tak ada kebun yang dibiarkan begitu saja.

Produksi Cengkih Tembus 15.000 Ton

Sulut sedang panen raya cengkih setelah dua tahun belakangan tak banyak produksi. Kepala Dinas Perkebunan Sulut, Refly Ngantung mengatakan, dari pantauan di lapangan saat ini panen sudah mencapai 14.000-15.000 ton.

"Kalau saya lebih senang sebut panen besar, kalau panen raya harusnya lebih banyak lagi panennya," kata dia, Selasa (16/7/2019). Data panen masih akan diperbaharui hingga 31 Desember 2019.

Memang panen kali ini melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar di angka 3.000-an ton. Cengkih panen besar, tapi harga belum cukup memuaskan. Harga cengkih dengan kualitas terbaik Rp 85.000 per kg.

“Tapi itu harus mencapai kadar air 13 persen, dan kotor 3 persen, " katanya.
Harga di kisaran Rp 72.000 sampai 76.000 jika kadar air 16-17 persen.
Ia mengakui, memang sulit mencapai kadar air 13 persen. Bisa disiasati dengan alat pengering.

Bantuan alat memang ada tapi, tak bisa terbagi untuk semua petani. Ini harus keroyokan, pemerintah semua kabuapten/kota dan juga bantuan swadaya.
Daya saing cengkih juga bisa ditingkatkan dengan peningkatan produksi, triknya pemeliharaan tanaman dan pupuk.

Kebutuhan cengkih nasional pertahun sekitar 120.000 ton, artinya sekitar 10 persen lebih dipasok Sulut. Sementara produksi cengkih saat ini sudah tersebar di beberapa daerah di Indonesia.

Ada Indikasi Kartel

Menurut Dr Robert Winerungan, ekonom dari Universitas Negeri Manado, harga cengkih di tingkat petani saat ini, diakui cukup rendah bila dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Komoditas cengkih sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri oleh pabrik rokok.

Di Indonesia, kata Sekretaris ISEI Cabang Manado-Sulut, pabrik rokok tidak banyak lagi. Bisa dihitung mungkin tidak lebih dari sepuluh perusahaan. Konsumen cengkih terbesar, yakni pabrik rokok yang jumlahnya tak banyak ini dalam istilah ekonomi disebut oligopsoni.

Oligopsoni bisa dengan mudah membuat kartel untuk berkolusi dan membuat kesepakatan harga beli. Permintaan cengkih ini seakan makin lama makin sedikit sehingga harga beli makin terpuruk, ditambah lagi keran impor cengkih makin bebas dilakukan.

Komoditas cengkih ini tidak banya untuk diekspor dan harga dunia menurut informasi tidak baik.

“Apa boleh dikata bahwa memang harga cengkih sangat sulit untuk bisa naik. Dan tak hanya itu, harga cengkihpun cenderung menurun dalam negeri,” kata dia. Menurunnya produksi rokok dalam beberapa tahun terakhir merupakan hasil kampanye secara besar-besaran terhadap antirokok. Ke depan komoditas cengkih ini seharusnya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan rokok tapi masih ada kegunaan untuk obat dan kosmetik sehingga pasar komoditas ini makin terbuka.

“Banyak kegunaan cengkih ini untuk kesehatan dan kosmetik sehingga investor dapat tertarik untuk berinovasi dengan tekonologi untuk mendirikan pabrik obat dengan bahan dasar cengkih dan pemerintah turut campur tangan dalam regulasi pembuatan pabrik untuk pengolahan komoditas cengkih,” kata Robert. (ndo/ven/art/eas/dru/ryo)

 

Berita Terkini