Namun demikian, setelah dilakukan pendalaman terhadap barang bukti, alat bukti, dan klarifikasi kepada pihak-pihak pelapor, terlapor dan saksi-saksi, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) menyimpulkan bahwa kasus tersebut tak memenuhi unsur pidana pemilu Pasal 547 Undang-undang Pemilu sehingga prosesnya dihentikan.
KPU Minta MK Tolak Permohonan Prabowo-Sandi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku Termohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait rekapitulasi perolehan suara. KPU meminta MK menyatakan hasil rekapitulasi perolehan suara yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu sebagai hasil yang benar.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum KPU, Ali Nurdin, selaku Termohon menanggapi dalil-dalil gugatan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga, dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2019 di gedung MK, Jakarta, Selasa (18/6).
"Termohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan benar keputusan KPU RI tentang penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu 2019," ujar Ali dalam persidangan.
Hasil rekapitulasi yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu menunjukkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin memperoleh sebanyak 85.607.362 suara. Sedangkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat 68.650.239 suara. "Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya," ucapnya.
Dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres pada Jumat (14/6), tim kuasa hukum Prabowo-Sandi meminta MK membatalkan keputusan KPU tentang penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Ali juga menilai dalil-dalil pemohon mengenai pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dituduhkan pihak Prabowo-Sandi adalah sangat tidak jelas dan kabur. Hal itu menyulitkan pihaknya untuk memberikan tanggapan atas dalil-dalil pemohon a quo.
"Karena tidak menguraikan kapan kejadian pelanggaran terjadi di mana lokasinya? Siapa pelakunya? Bagaimana kejadiannya? Dan apa pengaruhnya terhadap perolehan suara calon?" paparnya.
Baca: Pemerintah Kabupaten, TNI, Polri hingga Masyarakat Bahu Membahu Angkat Eceng Gondok di Danau Tondano
Dalil permohonan kubu Prabowo soal 17,5 juta pemilih yang tak masuk akal dalam DPT juga dinilai KPU kabur. Sebab, pemohon tidak menjelaskan siapa saja mereka, bagaimana faktanya yang dimaksud DPT tidak masuk akal, dari daerah mana saja mereka, dan apakah mereka menggunakan hak pilih di TPS mana saja, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan, serta kerugian apa yang diderita pemohon.
Soal tudingan pemilih usia kurang dari 17 tahun sebanyak 20.475 orang pun dianggap tak jelas. Sebab, pemohon tidak menyebutkan siapa mereka, apakah mereka menggunakan hak pilih atau tidak, di TPS mana mereka menggunakan hak pilih, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan.
Begitu pun tudingan mengenai pemilih berusia lebih dari 90 tahun, banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), DPT invalid dan DPT ganda, Situng, hingga tudingan penghilangan C7 atau daftar hadir pemilih di TPS, seluruhnya dinilai tidak jelas.
Dalil pemohon mengenai pelanggaran pemilu secara TSM yang terjadi selama penyelenggaraan Pemilu 2019 dimasukkan dalam perbaikan permohonan yang diajukan ke MK, pada 10 Juni 2019.
Ali Nurdin menilai adanya tambahan dalil pemohon itu terlihat semata-mata untuk melengkapi gugatan pemohon menambah unsur adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPU selaku penyelenggara pemilu.
Menurutnya, untuk membuktikan terjadi pelanggaran pemilu yang bersifat TSM, seharusnya memenuhi unsur adanya perencanaan matang, berdampak terhadap perolehan suara paslon capres-cawapres dan melibatkan penyelenggara pemilu secara berjenjang.