Intip Aktivitas di Benteng Moraya: Burung Hantu pun Perhatikan Uang Pengunjung

Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Cantik dan Bunga, burung hantu jenis Sulawesi Masked Owl atau nama latinnya Tyto rosenbergii.

TRIBUNMANADO.CO.ID, TONDANO - Saat memasuki pintu Benteng Moraya, pengunjung akan melewati beberapa orang yang membawa burung hantu di antara pilar depan menara. Burung itu dibiarkan bertengger di ring besi. Ada juga yang berdiri di atas pundak sang pawang. Ada bulu putih bersih, putih berbintik, ada pula coklat.

Kaki burung dipasang tali sepanjang 1,5 meter. Di dekatnya, kamera digital yang digantung di leher dan sebuah printer foto eksternal dalam sebuah tas selempang. Setiap pawang merupakan tukang foto keliling.

Tak terlalu jauh dari situ, ada sebuah pilar dengan gambar burung yang bernama latin Tyto Rosenbergii yang merupakan simbol dari Suku Minahasa.
Jumat (15/3/2019) siang, ada tiga pawang bersama peliharaannya itu menunggui pengunjung untuk dimintai foto. Ada pula yang mengajak para pengunjung untuk berfoto dengan burung hantu mereka.

Ada saja orang yang tertarik foto aksi bersama burung. Kadang mereka minta untuk meletakkan burung itu di pundak atau di lengan.
Seorang pengunjung minta salah satu pawang burung meletakkan burung hantu berukuran cukup besar di pundak kanan. Permintaan itupun dilayani.

Pawang tampak cekatan meletakkan burung di kedua pundak pengunjung. Setelah memberikan ponsel, si pawang mengambil beberapa foto, tak lupa juga foto diambil menggunakan kamera digital untuk dicetak dan diberikan ke pengunjung.

Usai foto-foto, pengunjung mengeluarkan dompet. Satu lembar rupiah warna hijau berpindah tangan sambil diperhatikan oleh si burung hantu. Ya, dengan harga Rp 20 ribu foto sudah langsung jadi.

Jika burungnya sudah mulai mengantuk, si pawang mulai menyemprotkan air ke wajah burung tersebut agar kondisinya tetap terjaga.
Bukan hanya satu lokasi wisata saja, sejumlah tempat wisata populer di Sulut kini mulai di garap para pawang untuk berdagang foto.
Vania (21), pengunjung Bukit Kasih Kanonang mengakui dirinya pernah menggunakan jasa foto bersama burung hantu saat dia bersama keluarga.

"Cantik memang waktu pertama kali melihat foto dicetak karena dapat berfoto dengan hewan eksotis seperti burung hantu, tapi setelah dipikir kembali merasa bersalah juga karena telah menjadi bagian dari eksploitasi satwa," katanya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara telah mengidentifikasi setidaknya ada dua jenis burung hantu yang sering dipakai untuk peragaan selama ini yakni Tyto rosenbergii dan Tyto inexspectata.

"Tyto rosenbergii belum dilindungi sementara Tyto inexspectata masuk satwa dilindungi," ujar Kepala Seksi Wilayah 1, BKSDA Sulut, Yakub Ambagau, Jumat (15/3/2019). Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999, Tyto rosenbergii memang belum masuk satwa dilindungi.

Dalam waktu dekat ini BKSDA Sulut akan melakukan pendataan dan sosialisasi ke lokasi-lokasi obyek wisata yang menggunakan burung hantu untuk peragaan.

"Karena burung dilindungi tidak bisa digunakan untuk peragaan. Untuk yang tidak dilindungi, kami akan coba arahkan mereka untuk membentuk kelompok atau lembaga supaya bisa urus izin," jelasnya.

Burung Manguni atau bahasa latin Otus manadensis dalam kebudayaan Minahasa menempati tempat terhormat.
Budayawan Sulut, Greenhill Weol mengutip Prof DR WA Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi menuliskan, Burung Manguni telah hidup lama bergaul dengan alam. Oleh sebab itu lebih berhikmat dan lebih berpengalaman dalam interaksinya dengan alam ciptaan Tuhan.

Manguni lebih peka bergaul dengan alam sekitar dan oleh sebab itu lebih terampil mengenal dan memahami alam. Dia lebih peka terhadap terganggunya perubahan iklim, gejala alam, lebih khusus bencana, seperti yang banyak terjadi saat ini.

"Para leluhur hidup bergaul erat dengan alam bersama segala yang hidup di dalamnya, termasuk Burung Manguni. Mereka belajar bergaul dan berupaya memahami bentuk-bentuk ungkapannya demi kelangsungan dan ketenteraman. Demi kerukunan hidup semua dan bersama," ujar budayawan sekaligus dosen di Universitas Kristen Indonesia Tomohon.

Halaman
12

Berita Terkini