TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Demam berdarah dengue (DBD) ramai diperbincangkan publik Sulawesi Utara. Sejak lima tahun terakhir, Dinas Kesehatan Sulut telah membukukan 6.130 kasus DBD.
Penyakit yang disebabkan nyamuk Aides aegypti ini telah membunuh 74 orang. Baru hari ke-6 di tahun 2019, DBD telah merengut 3 nyawa anak di Sulut.
Sesuai data Dinkes Sulut, kasus DBD 5 tahun terakhir paling tinggi terjadi tahun 2016, 2.217 kasus. Sempat menurun di tahun 2017 hingga 587 kasus, DBD kembali meningkat kasusnya di 2018, total 1.713 kasus terjadi.
Di 2018 juga mencatatkan jumlah kematian paling tinggi yakni 24 orang. Di awal 2019, DBD sudah menyerang 24 orang, 3 di antaranya meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut, dr Debby Kalalo mengatakan, kondisi saat ini belum ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB), hanya peningkatan jumlah kasus DBD.
"KLB itu ditetapkan kepala daerah tapi harus diverifikasi, ada syarat-syarat tertentu suatu daerah ditetapkan KLB," ujar dia kepada tribunmanado.co.id, Rabu (9/1/2019).
Dinkes Sulut sudah berkoordinasi dengan dinkes kabupaten dan kota untuk melakukan fogging (pengasapan) nyamuk dewasa di daerah ada kasus DBD.
Dokter Debby mengatakan, sebagai langkah pencegahan terus digalakkan program 3 M plus yakni menguras tempat membersihkan dan menutup tempat penampungan air, plus hindari gigitan nyamuk semisal menggunakan anti nyamuk.
Orang tua wajib waspada dengan kasus DBD. Dinkes Sulut merilis data tahun 2018, jumlah kematian akibat DBS itu kebanyakan anak-anak.
Sesuai data kematian akibat DBD terbanyak pada kelompok unur 0-5 tahun dan 6-15 tahun. Usia 0-5 tahun sebanyak 9 anak meninggal dunia, terbanyak di kelompok usia 6-15 tahun sebanyak 13 anak. Untuk usia lebih 16 tahun sebanyak 2 korban meninggal dunia.
Kalalo menyampaikan, total tahun 2018 ada 24 orang meninggal dunia akibat DBD didominasi anak-anak.
"Penularan terjadi di lingkungan rumah dan sekolah, karena anak balifa 0-5 tahun masih berakrifitas lebih banyak dibrumah dan umur 5-15 tahun merupakan anak usia sekolah, " kata dia.
Gambaran ini memberi rekomendasi untuk melakukan intervensi pencegahan DBD dari segi kesehatan publik di lingkungan rumah dan sekolah.
Orangtua juga proaktif mencari informasi pencegahan termasuk penanganan cepat jika anak-anak sudah mengalami gejala DBD, secepatnya berobat ke fasilitas layanan kesehatan.
"Kita upayakan terus penyuluhan, memberi infofmasi tentang cara-cara pencegahan dan penanggulangan DBD yang efektif, " kata dia.
Informasi dimaksud misalnya soal siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan penanganan kasus DBD cepat dan tepat. Pencegahan kasus DBD itu misalnya melalui program 3 M yakni menguras, membersihkan, menutup tampungan air, kemudian meningktkan peran 1 rumah 1 juru pemantau jentik (jumantik) nyamuk.
Pemkot Manado Kaji Status KLB
Wakil Wali Kota Manado, Mor Bastian mengunjungi para penderita DBD yang dirawat di ruang Irina E RSUP Prof Kandou, Rabu (9/1/2019) siang.
Mor menyambangi satu persatu pasien anak-anak, baik yang dirawat di salasar maupun di ruangan. Ia menanyakan keadaan, memberi semangat pada pasien
serta orangtua mereka. "Harus banyak minum ya," kata Mor kepada seorang anak.
Mor juga menyemangati para dokter yang merawat.
Kepada pihak rumah sakit, ia banyak bertanya tentang penyakit DBD serta fasilitas perawatan di rumah sakit tersebut.
Mor menjanjikan dukungan penuh Pemkot Manado terhadap RS Kandou dalam menangani pasien DBD.
"Kita dari Pemkot dukung penuh, " kata dia.
Wakil Wali Kota menyatakan pihaknya masih mengkaji status KLB. "Kita masih kaji, untuk itu saya mintakan kepada Dinkes untuk segera memasukkan laporan mengenai pasien, baik baru maupun lama untuk kita kaji bersama," kata dia.
Dikatakan Mor, pihaknya tetap mengupayakan penanganan penyakit ini tanpa perlu menunggu ditetapkannya status KLB.
Mor meminta aparat kelurahan mengajak masyarakat setempat untuk mengadakan pembersihan massal di kelurahan masing masing.
"Saya minta masyarakat jangan tunggu fogging, bersihkanlah lingkungan masing masing, " katanya.
Menurut Mor, DBD yang terjadi di Manado menurut dokter merupakan siklus 10 tahunan.
Pasien DBD di RS Kandou membludak. Puluhan pasien terpaksa dirawat di salasar. Amatan Tribun Rabu (9/1/2019) siang selasar ruang Irine E penuh sesak dengan tempat tidur pasien.
Siang itu, beberapa pasien baru datang. Dengan terburu buru, perawat menyiapkan sebuah ruang reception.
Meja dan kursi disingkirkan, ganti dua buah tempat tidur.
Beberapa tempat tidur ternyata didatangkan dari IGD.
Dirut RS Kandou Jemmy Pelenewen membeber, kamar sudah penuh hingga terpaksa pihaknya mengambil kebijakan menampung pasien di bangsal.
"Kami tak bisa tolak pasien, setiap pasien harus kami tangani sesuai prosedur, " kata dia.
Ungkap Dirut, pasien DBD yang dirawat di RS tersebut berjumah 54. Itu belum termasuk yang masuk pada Senin siang. Jika pasien semakin banyak, pihaknya bakal menggunakan aula. "Kami juga minta bantuan tempat tidur dari TNI, " kata dia. (art/ryo)