Semalam bisa dapat Rp 200 ribu. Indi mulai mencari tamu pukul 19.00 hingga tengah malam. Tak tentu sampai pukul berapa.
"Kalau sudah ada, saya langsung berkumpul dengan teman-teman. Kalau tidak, tunggu sampai tengah malam," ucap Indi polos.
Tak setiap malam Indi mendapat tamu, kadang meski telah dandan, tak ada sepeserpun rupiah yang masuk ke kantong.
Bayarannya kadang Rp 100 ribu, kadang pula Rp 200 ribu.
Indi terpaksa jadi PSK untuk makan, demikian pengakuannnya.
Bukan ia yang memegang uang, tapi pacarnya. Buat ongkos hidup ia dan pacarnya di Manado.
Indi tak ingat jelas kapan keluar dari rumah. Ia berasal dari Tondano, Minahasa.
Sebulan sekali pulang untuk menjenguk ibu dan enam saudaranya. Indi tujuh bersaudara
Indi adalah anggota kelompok anak gelandangan yang menamakan diri Amitater.
Atau singkatan dari anak miskin tapi terdidik.
Entah kenapa kelompok yang beranggotakan 20 orang ini menamakan diri Amitater, padahal rata-rata dari mereka putus sekolah.
Sehari-harinya, anak-anak ini hanya tidur di emperan toko di kawasan Pasar 45.
Mereka pergi ke Jarod jika ingin buang air dan mandi.
Jika waktu telah siang, mereka mulai berkumpul di Tugu Lilin hingga tengah malam. Setiap hari dengan rutinitas yang sama.
Akhir Februari 2018, tribunmanado.co.id, bertemu dengan Titin, seorang anggota kelompok ini di Tugu Lilin.