Perang Dagang AS-China: Dari Dampak Buruk hingga Saatnya Beli Saham

Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping

TRIBUNMANADO.CO.ID,  JAKARTA - Pemerintah tampak tidak terlalu cemas dengan adanya potensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, meski ada, dampak yang dirasakan Indonesia tidak secara langsung dan tidak selalu negatif.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, dalam hal ini, tidak mengherankan apabila AS memberlakukan proteksi tinggi terhadap produk besi-baja mereka dari China yang produksi besi-baja-nya hyper competitive.

Sebab, untuk AS, industri baja dianggap sebagai industri sensitif.

Menurutnya, pemerintah juga tak perlu terburu-buru mengambil sikap. Namun, pemerintah bisa mempersiapkan langkah yang harus diambil.

Pabrik Baja (afp)

Menurut Shinta, dalam hal ini, Indonesia perlu memetakan kepentingan. Di satu sisi, industri hilir baja memerlukan impor untuk kelangsungan produksi. Namun, di sisi lain, peluang pasar untuk industri baja yang baru diinvestasikan juga perlu dijaga.

“Untuk itu, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah meningkatkan efisiensi produksi besi-baja nasional dengan menekan harga energi untuk industri,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Minggu (25/3).

Kedua, menurut Shinta, pemerintah perlu melakukan kontrol atau audit terhadap impor besi-baja, khususnya dari China dan AS. Apakah jenis dan jumlahnya memang sesuai kebutuhan atau tidak.

“Jangan sampai ada permainan kartel impor. Perlu juga diwaspadai apakah kedua negara tersebut melakukan dumping terhadap Indonesia karena ini dapat mengganggu persaingan harga besi-baja produksi nasional dan merugikan investasi hulu besi-baja yang sedang kita kembangkan,” jelasnya.

Ada beberapa alasan menurut dia, Indonesia tak bisa ikut-ikutan melakukan proteksi seperti yang dilakukan AS dan China. 

Alasan pertama, Indonesia masih belum bisa memproduksi berbagai jenis baja dan alumunium untuk menyuplai seluruh kebutuhan industri menengah dan lanjutan dari besi dan alumunium, khususnya industri otomotif, bahan baku infrastruktur, dan lain-lain.

Kekeringan pasokan ini masih sangat besar, yakni sekitar 20-40% kebutuhan konsumsi besi-baja-alumunium nasional.

Pergerakan saham (tribun)

“Inilah alasannya pemerintah membuka peluang investasi besar untuk industri hulu besi-baja-alumunium yang saat ini investasinya sedang dilaksanakan antara Krakatau Steel dengan Jepang dan Korea,” ujar dia

Kedua, industri besi-baja-alumunium Indonesia juga masih belum bisa memproduksi barang dengan harga yang kompetitif karena harga energi yang tinggi.

Akibatnya, produksi besi-baja-alumunium Indonesia masih lebih mahal 15%-20% di atas harga internasional.

Ini menyebabkan seluruh rantai produksi nasional yang merupakan turunan dari industri besi-baja-alumunium atau industri yang menggunakan besi-baja-alumunium, seperti industri otomotif menjadi ikut tidak kompetitif.

Ketiga, Industri besi-baja-alumunium Indonesia masih belum bisa memproduksi beberapa jenis besi-baja spesifik seperti besi-baja ringan dan tipis dengan ketahanan tinggi yang diperlukan oleh industri otomotif.

Kalaupun diproduksi oleh Krakatau Steel, menurut Shinta, jumlah produksinya terbatas dan lebih mahal dari harga psar internasional.

“Ketiga faktor ini menyebabkan Indonesia tidak bisa secara irasional meningkatkan proteksi atau batasan impor besi-baja-alumunium karena ini secara tidak langsung akan membunuh industri turunan besi-baja-alumunium,” tandasnya.

Bursa saham juga terkena dampak! Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa hari terakhir membuat investor khawatir untuk masuk ke pasar saham.

Meski demikian, analis menilai ada beberapa saham defensif yang masih bisa dipertimbangkan.

Andri Zakaria Siregar, Head of Technical Analyst PT BNI Sekuritas mengatakan, terdapat beberapa saham yang tak terlalu terdampak dengan penurunan indeks, yakni saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).

Indeks saham (kontan)

Perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Djarum ini mencatatkan penurunan yang tak signifikan meski diterpa tren bearish pasar saham.

"Bagi BBCA penurunan indeks sepertinya tak berefek," kata Andri, Jumat (23/3). Menurutnya, saham BBCA masih ada di level Rp 23.000-an per saham dalam beberapa waktu terakhir ini.

Selain itu, secara tradisi, saham konsumer menurut Andri juga memiliki tren yang lebih defensif dibandingkan dengan saham-saham sektor lainnya. PT Unilever Tbk (UNVE) misalnya yang bertahan di krisis-krisis moneter dari tahun ke tahun. Menurutnya, saham UNVR juga sudah mencatatkan kenaikan yang cukup drastis.

Lanjut Andri, beberapa saham big caps sebenarnya sudah bisa dilirik seperti saham BBCA dan JSMR yang sudah mencatatkan penurunan sangat tajam.

Sudah turun tajam, saham-saham ini menarik dikoleksi

IHSG terus mencatatkan penurunan dalam beberapa hari terakhir. Beberapa saham juga sudah turun cukup tajam. Namun demikian, beberapa sektor saham dinilai masih bisa menjadi pilihan.

Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas Indonesia mengatakan, beberapa sektor masih menarik, terutama saham-saham di sektor keuangan dan konsumer.

"Sedangkan untuk long term kami melihat properti juga menarik terutama BSDE," katanya, Minggu (25/3).

Menurut Frederik, sektor finansial masih baik cukup baik dengan berkaca pada data akhir tahun lalu di mana pertumbuhan kredit dari bank besar mulai meningkat terutama dari segmen korporasi. Rasio kredit macet alias NPL juga mulai menurun. Hal ini merupakan indikasi dari ekspansi bisnis.

Menurutnya, ekspansi ini tentunya akan menyerap tenaga kerja lebih banyak dan adanya peningkatan konsumsi dari korporasi tersebut.

Sementara dari sektor konsumsi, ada indikasi perbaikan, terlihat dari neraca dagang di mana impor meningkat pada Januari. Ini artinya konsumsi terutama dari korporasi juga meningkat

Frederik masih menyarankan membeli saham-saham terutama saham big caps yang sudah mencatatkan penurunan cukup tajam. Ia menyarankan saham BBNI dengan target harga FY18 adalah Rp 10.900.

Selain itu, saham lain yang cukup menarik untuk dilirik adalah ASII, BBRI, BMRI, BBCA, ICBP dan INDF.

IHSG punya kans berbalik arah

IHSG akhir pekan lalu melemah 0,69% ke level 6.210,70. Analis memprediksi, pelemahan itu akan terhenti pada perdagangan awal pekan ini, Senin (26/3).

Aditya Perdana Putra, analis Semesta Indovest bilang, investor sejatinya masih mengkhawatirkan ancaman perang dagang atau trade war antara Amerika Serikat (AS) dan China.

"Namun, terlihat adanya atensi kuat untuk menahan IHSG turun mendekati MA200 dengan pembelian di sektor perbankan dan pertambangan," ujar Aditya.

Dia memprediksi, indeks akan menguat dengan rentang pergerakan 6.150 sebagai support, sedangkan resistance di level 6.250.

Aditya menyarankan untuk mencermati saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Di luar sektor perbankan, saham PT Sido Muncul Tbk (SIDO), PT Charoen Pokphan Tbk (CPIN), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), dan PT Jasa Armada Indonesia Tbk (IPCM) juga menarik untuk diperhatikan.

Namun, Aditya berpesan, waspadai level 6.100. "Jika indeks ditransaksikan di bawah level 6.100, maka peluang penguatan menjadi sangat terbatas di pekan terakhir bulan ini," imbuhnya. *

Tags:

Berita Terkini