Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Echo Chamber dan Ancamannya Terhadap Kebebasan Berpikir Manusia

Echo Chamber dan Ancamannya Terhadap Kebebasan Berpikir Manusia dalam Perspektif John Stuart Mill: On Liberty

Kolase/HO
OPINI - Ditulis oleh Yohanis Elia Sugianto, Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Echo Chamber dan Ancamannya Terhadap Kebebasan Berpikir Manusia dalam Perspektif John Stuart Mill: On Liberty 

Oleh: 
Yohanis Elia Sugianto
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

DALAM dunia media sosial, terdapat sebuah fenomena polarisasi di media sosial yang disebut sebagai echo chamber. 

Fakta sosial tersebut didukung dengan terciptanya algoritma yang hanya merekomendasikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. 

Muncul dari padanya sebuah keprihatinan mendalam, yaitu merosotnya kemampuan manusia dalam berdiskursus, sehingga keyakinan tak lagi berdasar pada pengenalan atas kebenaran. 

Manusia secara tahu dan mau menempatkan diri dalam penjara “kebenaran parsial” yang berasal dari perspektif pribadi pun kelompoknya, kendati tanpa pengujian atasnya. 

Ruang bagi perbaikan perspektif pribadi pun kelompoknya, tertutup mati karenanya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menampilkan fenomena echo chamber sebagai hal yang membahayakan kebebasan berpikir manusia. 

Dengan menggunakan kerangka teoritis John Stuart Mill tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan konfrontasi yang beragam untuk kemajuan moral dan intelektual, akan dieksplorasi perihal bagaimana lingkungan informasi yang terisolasi mengancam perkembangan kebenaran dan dinamika sosial. 

Sorotan akan ditujukan pada relevansi gagasan kebebasan berpendapat menurut John Stuart Mill dalam konteks perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, di mana algoritma media sosial dan bias konfirmasi memperdalam fragmentasi sosial. 

Fenomena Echo Chamber 

Secara etimologi, istilah echo chamber dikenali dan dipakai pertama kali dalam dunia akustik. Istilah ini menggambarkan sebuah ruang fisik di mana suara memantul dan bergema, sehingga menciptakan pengulangan suara yang sama. 

Dalam konteks era digital, secara metaforis, istilah echo chamber merujuk pada suatu fenomena di mana individu atau kelompok peduli hanya pada informasi, opini atau pandangan yang sesuai dengan keyakinan dan pemahaman pribadi, duna memperkuat keyakinan diri sendiri. 

Informasi terus-menerus diulang dalam sebuah lingkungan tertutup, dengan tujuan utama dan satu-satunya yaitu menutup segala kemungkinan munculnya sebuah perspektif baru. 

Konsekuensinya adalah segala informasi, opini atau pandangan yang tidak sesuai dengan keyakinan dan pemahaman pribadi, diabaikan atau dikecualikan. 

Istilah echo chamber dalam definisi demikian baru digunakan dan menjadi populer dalam dunia media dan politik pada tahun 2011, ditandai dengan munculnya buku karya Eli Pariser yang berjudul The Filter Bubble. 

Melalui buku ini Eli memberi Gambaran perihal atas cara apa algoritma personalisasi yang digunakan pada platform digital menempatkan pengguna pada gelembung informasi dengan maksud mengelompokkan sekaligus lewatnya membatasi pengguna dengan paparan terus-menerus atas apa yang diinginkan. 

Konsekuensi tak terhindarkan dari fenomena echo chamber karenanya, adalah homogenitas informasi, kurangnya disonansi kognitif, konfirmasi bias bahkan polarisasi opini

Kebebasan Berpikir Manusia Menurut John Stuart Mill

Perihal pentingnya kebebasan berpikir, pernah disoroti oleh seorang Filsuf Inggris, John Stuart Mill melalui bukunya On Liberty pada tahun 1859. 

Buku ini ditulis sebagai pembelaan atas kebebasan individu dalam berhadapan dengan tirani mayoritas. 

Dalam pandangan Mill, adalah sungguh sebuah kesalahan bilamana keseragaman dipaksakan dalam hidup sosial. 

Keberagaman justru adalah syarat penting bagi kemajuan peradaban. Karenanya beberapa point penting berikut kiranya digarisbawahi: 

1) Kebebasan berpikir dan perannya bagi kemajuan hidup manusia: Sebagai hak fundamental, kebebasan berpikir adalah hak yang harusnya bebas dari segala bentuk pengekangan entah secara langsung atau tak langsung, sengaja atau tanpa sengaja. 

Kendati demikian, agar dapat sungguh memberi daya kemajuan bagi individu pun lingkungan sosial, dogmatisme haruslah dihindari. Jaminan atas kebebasan berpikir sejatinya senantiasa terwujud dalam keterbukaan atas pengujian terhadap ide pun opini

Dua alasan yang mendasari pemikiran Mill atas cara demikian, adalah: Pertama, suatu kebenaran tak dapat diterima bila atasnya tak ada kritik atau pengujian. 

Menurut Mill, semua keyakinan yang diterima tanpa tantangan akan berakhir menjadi dogma yang tak bermakna. 

Itu sebabnya, kebebasan untuk mengekspresikan pandangan yang bertentangan, bahkan kendati dipandng keliru oleh mayoritas, harus dijamin demi memastikan bahwa kebenaran yang diyakini sungguh dipahami, sehingga tak diterima secara pasif begitu saja. 

Benturan gagasan adalah jalan menuju pengujian dan pemahaman kebenaran secara baik. Kedua, kekeliruan ide atau opini hendaknya dibawa dalam sebuah diskusi terbuka, dengan maksud agar lewatnya individu semakin dimampukan untuk memahami aspek-aspek yang benar. Bagi Mill, tak ada seorang pun manusia yang infalibil dalam menilai kebenaran. 

2) Kebebasan berpikir dan otonomi manusia: Kebebasan berpikir, menurut Mill memiliki kaitan yang sangat erat dengan konsep otonomi individu. 

Perkembangan manusia dapat berjalan secara optimal bila diberikan kebebasan dalam mengeksplorasi ide-ide dan membuat pilihan hidup sendiri tanpa tekanan sedikitpun. 

Mill menyatakan bahwa potensi manusia sebagai agen rasional yang mampu berpikir secara mandiri hanya bisa teraktualisasi secara penuh, bilamana kebebasan berpikir dan berekspresi diberikan secara penuh. 

Ketersediaan ruang uji dalam kapasitas luas, atas ide dan opini yang diyakini manusia harus diberikan kepada setiap individu seluas-luasnya, selama tak mendatangkan kerugian atas individu lain, dengan maksud agar manusia dapat menegaskan individualitas dirinya lewat keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektuif. 

Dengan kata lain, pemaknaan atas kebenaran membutuhkan senantiasa ruang-ruang diskusi dan perdebatan yang terbuka lebar.

Ancaman Eco Chamber atas Kebebasan Berpikir Manusia

Fenomena echo chamber dalam konteks kebebasan berpikir manusia berpotensi akibatkan ancaman sebagai berikut: 

1) Polarisasi dan Stagnasi Moral: Pada tahun 2015, pada jurnal Pshycological Science, volume 26, edisi 10 diterbitkan sebuah hasil penelitian yang dibuat oleh Pablo Barberá, dkk, berjudul “Tweeting From Left to Right: Is Online Political Communication More Than an Echo Chamber”.

Melalui penelitian yang dibuat, mereka menemukan bahwa kecenderungan pengguna media sosial dalam membentuk komunitas homogen guna memperkuat pandangan politik, mengurangi sungguh jalannya lalu lintas ideologi. 

Individu karenanya secara tahu dan mau menutup semua ruang yang lewatnya kesempatan untuk menguji keyakinan dapat diusahakan. 

Stagnasi moral lantas tak terhindarkan dan terwujud dalam kekakuan persepsi hingga penolakan atas segala bentuk refleksi kritis yang berpotensi mempengaruhi keyakinan dan mengubah pandangan pribadi. 

Dogmatisasi kemudian membuka lebar ruang fragmentasi social, sehingga muncul rasa saling tidak percaya antar kelompok. 

Jika fenomena ini dipandang dalam sudut pandang kebebasan berpendapat John Stuart Mill, polarisasi opini dan ide dalam echo chamber memberi ancaman serius pada kebebasan berpikir dan berpendapat manusia, karena menghambat proses pengujian kebenaran, khususnya lewat debat. 

Tanpa berhadapan dengan opini dan ide yang berlawanan, kebenaran tak pernah dapat ditemukan dan diperkuat, bahkan lebih dari itu kebijakan moral seperti empati dan toleransi yang esensial untuk keharmonisan masyarakat pun gagal dikembangkan. 

2) Matinya Inovasi Sosial: Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, atas salah satu cara memberikan kepada individu dan komunitas sosial dimana diri berada, ruang-ruang inovasi sosial dengan maksud menghantar manusia pada cara-cara baru dalam memahami kebenaran secara objektif. 

Tentang ini John Stuart Mill memperingatkan bahwa penemuan atas kebenaran harus senantiasa digarisbawahi sebagai hasil dari perpaduan antara pandangan-pandangan yang berbeda. Sayangnya proses ini terhambat bahkan berpotensi mati karena pengaruh echo chamber karena tertutupnya individu pada akses terhadap opini juga ide alternatif yang berbeda dengan opini dan ide pribadi. 

Kebebasan berpikir dalam konteks ini tak hanya dibatasi oleh John Stuart Mill sebagai kebebasan berpendapat saja, melainkan juga perihal kebebasan untuk mendengarkan dan mempertimbangkan setiap opini dan ide yang berbeda dari keyakinan individu. 

Eksistensi echo chamber yang menyebabkan polarisasi ide juga fragmentasi kelompok, menempatkan individu dalam konformitas intelektual semu yang membutakan mata sehingga otonomi sebagai pribadi hilang; entah disadari atau tidak disadari. 

Inilah “tirani mayoritas sesungguhnya” menurut John Stuart Mill, dimana manusia terpenjara dalam sempitnya ruang-ruang kebenaran subjektif yang membuaikan, sehingga lebih memilih untuk diselimuti gelembung informasi yang tak terlihat supaya keteguhan ide dan opini tetap dipandang sebagai representasi objektif dari realitas, walau semu.

On Liberty Mill dan Solusi yang Ditawarkan Lewatnya

Berpegang pada konsep kebebasan berpikir John Stuart Mill, kiranya beberapa pendekatan berikut kiranya dapat diusahakan agar kebebasan berpikir dapat terus digaungkan, dialog terbuka didorong dan otonomi individu tetap dijamin dalam pencarian atas kebenaran: 

1) Pendidikan Kritis dan Literasi Media: Berangkat dari kenyataan dimana echo chamber menutup ruang bagi ketersediaan tempat untuk ide ataupun opini yang tak sesuai dengan keyakinan individu, maka hal utama yang hendaknya diusahakan, adalah pengenalan atas indikasi kandungan ketidakbenaran dalam ide ataupun opini yang disajikan oleh algoritma media sosial. 

Mengenai hal ini, Mill menekankan pentingnya pendidikan diusahakan sebagai hal yang lewatnya kapasitas berpikir kritis dan otonomi dikembangkan. Lingkup dari pendidikan kritis yang dimaksud, sedapatnya mencakup literasi media yang mengajarkan individu perihal mengenali bias informasi yang beragam, memahami cara kerja algoritma media sosial dan berpartisipasi aktif dalam mencari sumber informasi yang beragam. 

Dalam artian ini, diusulkan agar kurikulum pendidikan hendaknya dirancang sedemikian rupa supaya lewatnya sikap kritis siswa dikembangkan dengan cara mengevaluasi secara objektif semua informasi yang diterima, mempertanyakan narasi dominan serta terbuka pada konfrontasi ide. 

Harapannya siswa dapat bertumbuh dalam sikap kritis sehingga paparan algoritma personalisasi media sosial bukanlah penentu keputusan dalam meyakini ide atau konsep tertentu. 

2) Desain ulang Algoritma Media Sosial: Penyebab utama promosi keragaman informasi terhambat, adalah algoritma personalisasi yang dibuat oleh berbagai platform media sosial. 

Guna mencegah echo chamber terus eksis, suka-tidak suka algoritma demikian perlu diubah lewat intervensi teknologi yang disengaja. 

Mengenai hal ini, platform media sosial diharapkan untuk tak hanya memperkenalkan ide pun opini yang sesuai dengan keyakinan pengguna tapi juga yang berlawanan dengannya, sehingga perbedaan sudut pandang dapat dikenali oleh individu dan mendorong pemikiran kritis juga konfrontasi atasnya. 

Sebuah tindakan yang sukar memang, karena berpotensi menghilangkan minat pengguna terhadap media sosial. 

Terhadap kekhawatiran tersebut, sebuah win-win solution, pantaslah dipikirkan, semisal memungkinkan pengguna media sosial kontrol terbuka atas konten yang diterima, dalam cara memberikan kepada pengguna fitur-fitur untuk menyesuaikan linimasa: mengikuti atau menyembunyikan konten dari sumber tertentu dan berdasarkan urutan waktu yang sesuai, sehingga tak sekedar algoritma. 

Dengan demikian, faktor ketertarikan mendasar pada media sosial: ketersediaan informasi dalam jumlah yang banyak, tidak berubah, bahkan semakin menambah minat pengguna terhadap penggunaan media sosial lewat posibilitas analisa ide dan opini secara up to date. 

3) Penciptaan Ruang Publik Terbuka: Selain lewat media pendidikan, guna mendorong aktualisasi sikap kritis individu, echo chamber kiranya dapat dilakukan dalam cara membuka sebanyak mungkin ruang-ruang dialog yang bersikap netral, sehingga setiap individu dari latar belakang berbeda mungkin untuk berkumpul dan mendiskusikan berbagai ide dan opini yang dimiliki. 

Guna menjamin hal baik ini terealisasi, hal penting yang kiranya harus digarisbawahi, yaitu penekanan terus-menerus perihal penghormatan terhadap pandangan yang berbeda. 

Apapun keyakinan, ide pun opini orang lain, harus dikonfrontasi dalam junjungan tinggi pada nilai-nilai kebenaran objektif yang ditawarkan. 

Diharapkan lewat cara tersebut, lahirlah ide-ide konstruktif berdasar keluasan wawasan dan analisa, bukan justifikasi yang mendiskreditkan, sehingga menyuburkan benih polarisasi.

Akhirnya satu kesimpulan berikut kiranya dapat diambil: Echo chamber mengancam sungguh kebebasan berpikir manusia.

Polarisasi dan stagnasi moral, matinya inovasi sosial, pembatasan otonomi individu dalam berpikir, adalah bentuk-bentuk ancaman serius yang menuntut sebuah tindakan serius dari semua pihak, khususnya pengguna dan pemilik platform media sosial. 

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, hendaknya disikapi sebagai sarana bagi manusia dalam memungkinkan pencarian kebenaran diusahakan dalam keluasan wawasan, bukan untuk menciptakan fragmentasi sosial yang menghambat kemajuan moral serta intelektual manusia. 

Apapun perkembangan yang terjadi, kebebasan berpikir haruslah tetap menjadi pilar kemajuan manusia, sehingga tetaplah terjaga marwah manusiawi pribadi, sebagaimana yang ditulis oleh Anton Pavlovich Chekhov: “Man is what he believes.” (*)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved