Sejarah
Menengok Manado Abad 16: Lahirnya Borgo hingga Kisah Raja Posumah dan Damopolii Dibaptis Magelhaes
Di balik bentangan teluk dan jalur laut Manado yang membiru, tersimpan cerita pertemuan dua dunia: Eropa dan Nusantara.
Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID - Di balik bentangan teluk dan jalur laut Manado yang membiru, tersimpan cerita pertemuan dua dunia: Eropa dan Nusantara.
Sejarah mencatat, Kota Manado yang kini adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara bukan sekadar pelabuhan persinggahan, namun juga panggung bagi lahirnya satu komunitas etnokultural yang khas, yang saat ini disebut Borgo.
Akar etnis Borgo tertanam dalam interaksi antara orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda serta orang-orang Eropa lainnya dengan penduduk lokal juga dengan para Mestizo (keturunan Portugis dan Spanyol) dari Maluku.
Kehadiran mereka di wilayah utara Sulawesi bermula dari ekspedisi rempah abad ke-16.
Setelah berhasil menjangkau Maluku pada tahun 1512, pelaut Portugis dan Spanyol mulai menjadikan Manado sebagai titik transit penting sejak 1523, dalam jalur pelayaran menuju Malaka.
Banyak dari mereka yang datang sebagai perwira muda atau serdadu tanpa keluarga.
Dalam proses menetap itulah terjadi hubungan pernikahan antara orang-orang Eropa Selatan ini dan perempuan lokal baik di Maluku maupun di Manado.
Anak-anak yang lahir dari hubungan itu dikenal sebagai Mestizo atau Mistico, istilah yang mengacu pada keturunan campuran antara pria Eropa dan wanita pribumi.
Beberapa komunitas Mestizo dari Maluku kemudian turut dibawa ke Manado oleh serdadu Portugis, dan di sinilah mereka kembali berbaur dengan masyarakat lokal.
Dalam dinamika pergaulan yang intens dan berlangsung bertahun-tahun, lahirlah komunitas Borgo, yakni kelompok masyarakat baru yang membawa warisan darah Eropa dan lokal secara bersamaan.
Kehadiran bangsa Portugis di Manado juga membawa misi politik dan keagamaan.
Mereka aktif menjalin komunikasi dengan penguasa lokal dan menjadikan Manado sebagai basis pelabuhan pendukung ekspansi wilayah sekaligus pusat penyebaran ajaran Katolik.
Jejak pertemuan sejarah ini masih hidup hingga kini, dalam wajah, budaya, dan silsilah keluarga masyarakat keturunan Borgo di Sulawesi Utara.
Posumah dan Damopolii Dibaptis
Sejarawan Sem Narande dalam buku berjudul Vadu La Paskah mengungkap, pada tahun 1563 utusan Portugis Peter Diego De Magelhaes datang dari Ternate ke Manado.
Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma bersama 1500 orang rakyat.
“Raja Posuma sendiri adalah putra dari Raja Lokongbanua (keturunan bangsawan Bowentehu) yaitu raja pertama di kerajaan Siau. Kedua Raja serta 1500 orang itu meminta Peter Diego De Magelhaes dari gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!” tulis Sem Narande (Valdu La Paskah, 1980, 333).
Sementara Kinalang Damopolii, adalah Datuk atau Raja dari Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Manado.
Kedatangan Belanda
Sekitar tahun 1600-an Perusahaan Dagang milik Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie atau disingkat VOC datang ke Manado dan menyingkirkan pengaruh Portugis-Spanyol.
Kedatangan Belanda membuat perubahan di Kota Manado.
Pengaturan Hukum Eropa Modern mulai berlaku. Meski begitu, awal kedatangan Belanda tidak secara langsung mengubah aturan masyarakat adat yang sudah ada di Sulawesi Utara.
Walhasil status warga keturunan Eropa yang disebut Mestizo kian tidak jelas.
Saat Belanda datang, orang-orang Mestizo ini sudah menjadi warga Kota Manado. Mereka tidak mungkin ke Eropa, karena itu bukan kampung mereka
Di Manado juga mereka tidak diakui sebagai Pribumi, jadi tidak bisa ikut aturan hukum adat Pribumi.
Belanda kemudian menerbitkan aturan bagi orang-orang Mestizo ini. Karena darah campuran mereka, maka penguasa Belanda kala itu menerbitkan aturan yang membuat mereka punyai posisi istimewa yakni Vrijburger, yang berarti warga negara bebas.
Alasan lain, karena banyak juga orang-orang Belanda yang kawin dengan penduduk setempat.
Dari Vrijburger berkembang menjadi istilah Burger, lalu Borgor dan akhirnya lewat lidah warga lokal terciptalah istilah Orang Borgo.
Meski bangsa Eropa dan Mestizo dari Maluku yang datang ke Manado umumnya beragama Kristen, namun tidak semua orang Borgo beragama Kristen.
Banyaknya kawin campur antara orang Eropa dengan pribumi Manado membuat istilah Borgo berubah menjadi satu etnik baru di Sulawesi Utara.
Sebagaimana umumnya orang Sulawesi Utara yang identik dengan marga atau fam di bagian akhir namanya, orang Borgo juga punya marga. Orang Borgo biasanya memiliki marga khas Eropa.
Beberapa marga tersebut seperti Andries, Aruperes, Boham, Boulegraa, Canon, Caroles, Corneles, De Joung, Eman, Frederick, Gosal, Golose, Heydemans, Jocom, Kloers, Lefrand, Meyer, Mekel, Oehlers, Parera, Richter, Schraam, Tamara, Voges, Van Essen, Weydemuller, Wowor. Keiler dan Zeekeon, Onsent, Areros, dan Pieterz. (tribunmanado.co.id/Rizali Posumah)
Kisah Supriyadi, Menhan & Panglima Tentara RI Pertama yang Tak Pernah Muncul, Pejuang PETA di Blitar |
![]() |
---|
Sejarah Hari Lahir TNI 5 Oktober 1945: Berawal dari Badan Keamanan Rakyat yang Dibentuk PPKI |
![]() |
---|
Kisah Samurai Legendaris Inspirasi Karakter Rurouni Kenshin, Disingkirkan Pemerintah yang Ia Bela |
![]() |
---|
Perdebatan Jumlah Korban Jiwa Tragedi Kemanusiaan Pasca-G30S 1965 |
![]() |
---|
Soe Hok Gie tentang Tahanan Politik Setelah G30S: Kita Tak Lebih Baik dari Pemerintah Hindia Belanda |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.