Pengangguran di Indonesia
Akhirnya Terungkap Penyebab 842.378 Lulusan Perguruan Tinggi Masih Nganggur, Dibeber Akademisi Unnes
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 842.378 lulusan perguruan tinggi masih menganggur.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Banyak kabar yang beredar bahwa tak ada guna sekolah tinggi-tinggi.
Toh ijazah sekolah tinggi tak menjamin mendapatkan pekerjaan.
Seperti hal tersebut akan menjadi kenyataan saat ini.
Baca juga: Lantik BEM FISIP Unsrat Manado, Ferry Liando: Tugas Perguruan Tinggi Tidak Menciptakan Pengangguran
Sebab saat ini ada puluhan ribu lulusan perguruan tinggi yang tak memiliki pekerjaan.
Bahkan banyak orang memilih untuk merantau menjadi pekerja di luar negeri.
Gunawan Tjokro, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Negeri Semarang (UNNES) membeber alasannya.
Ribuan sarjana di Indonesia kini menghadapi kenyataan pahit, karena ijazah tak lagi menjamin pekerjaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 842.378 lulusan perguruan tinggi masih menganggur.
Angka itu seolah menjadi potret buram dari hubungan tak harmonis antara dunia kampus dan dunia industri.
Gunawan menyebut relasi antara perguruan tinggi dan industri masih belum menyatu, meskipun konsep link and match serta Merdeka Belajar telah lama digaungkan.
"Sekalipun konsep link and match dan merdeka belajar telah diterapkan, dampak sosial belum cukup signifikan. Hingga hari ini industri dan perguruan tinggi tampak seperti dua pulau terpisah tanpa jalan penghubung yang memadai,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).
Gunawan yang juga Komisaris Utama PT Dynaplast menyoroti empat aspek utama yang membuat sinergi antara kampus dan industri tak berjalan: perbedaan orientasi, sumber otoritas, tujuan, dan hasil akhir.
Menurutnya, kampus lebih menekankan pengembangan ilmu, sementara industri berpikir praktis dan mengarah pada keuntungan pasar.
"Orientasi perguruan tinggi adalah kepada pengembangan pengetahuan baru melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat. Adapun industri cenderung lebih pragmatis karena berorientasi pada penerapan pengetahuan dan keterampilan untuk melayani pasar," jelasnya.
Ketimpangan ini berdampak langsung pada ketidaksesuaian antara lulusan dan kebutuhan pasar kerja.
Alhasil, banyak sarjana yang lulus dengan nilai akademis memadai, namun tak cukup relevan untuk langsung diserap industri.
Lebih jauh, Gunawan mengkritisi sumber otoritas yang berbeda antara kedua belah pihak. Kampus mengacu pada jurnal ilmiah dan indeks akademik, sementara industri mengacu pada tuntutan pasar.
"Keberhasilan industri diukur melalui kemampuannya menyelesaikan masalah konkret di masyarakat secara komersial. Perguruan tinggi cenderung memperluas pengetahuan dan memberikan kontribusi pada literatur ilmiah," paparnya.
Solusi: Bangun Jembatan, Jangan Sekadar Pelabuhan
Gunawan mengusulkan tiga strategi besar untuk mengakhiri keterputusan ini: harmonisasi kebijakan, platform kolaborasi digital, dan penyelesaian ego sektoral.
“Harmonisasi kebijakan menjadi strategi pertama karena Indonesia adalah negara hukum. Di sisi lain, kita menyadari bahwa banyak peraturan di Indonesia yang tumpang tindih dan bahkan kontraproduktif," katanya.
Ia menekankan pentingnya penyelarasan UU Pendidikan Tinggi dengan UU Perindustrian, termasuk memberi insentif pajak untuk perusahaan yang mengembangkan program Praktisi Mengajar.
"Dalam konteks ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi harus diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian."
"Perlu mendorong agar praktik 'Praktisi Mengajar' dijadikan sebagai mandat bagi semua industri sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR),” jelasnya lagi.
Gunawan menilai kebijakan super deduction tax yang diberikan kepada perusahaan untuk kegiatan R&D juga perlu diperluas ke program Praktisi Mengajar.
"Program yang bagus tersebut tidak jalan dengan baik. Karena, masalah R and D bukan sekadar alat atau bangunan yang megah namun ini sangat berhubungan dengan inovasi, creativity dan hal-hal yang sangat ilmiah dan berhubungan dengan kemampuan SDM."
Kampus Tambang Permata, Tapi Tak Digali
Indonesia memiliki lebih dari 3.500 perguruan tinggi, menjadikannya negara kedua terbanyak di dunia. Namun tanpa sinergi dengan industri, potensi tersebut bisa jadi sia-sia.
"Perguruan tinggi di Indonesia ibarat tambang permata yang tidak akan pernah habis dieksplorasi. Namun eksplorasi hanya mungkin dilakukan secara optimal jika ada kemitraan dengan industri,” ungkapnya.
Pengalaman Gunawan sebagai direktur dan komisaris di beberapa perusahaan memperlihatkan bahwa banyak perusahaan besar memiliki program Management Trainee (MT) untuk menjembatani kesenjangan itu.
Namun karena minimnya kerja sama struktural dengan kampus, biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mencetak SDM siap kerja tetap tinggi.
"Ini adalah kesenjangan yang menjadi persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini menyebabkan jumlah pengangguran terdidik menjadi semakin besar,” tegasnya.
Visi Bersama dan Kepemimpinan
Selain harmonisasi kebijakan dan platform digital, Gunawan menyebut bahwa ego sektoral juga menjadi batu sandungan besar. Menurutnya, ketiadaan visi bersama dan adanya kompetisi sempit antarinstansi menjadi hambatan laten.
"Ketidaaan visi bersama dapat diatasi oleh kepemimpinan yang kuat. Adapun kompetisi sempit yang membuat kementerian dan lembaga seolah-olah bersaing satu sama lain perlu diatasi dengan pendekatan Whole of Government (WoG),” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa perubahan tak bisa instan. Namun jika langkah-langkah strategis itu dijalankan, hasilnya bisa sangat besar, baik bagi dunia pendidikan maupun perekonomian nasional.
"Agar pertukaran manfaat antara keduanya berjalan optimal, kita perlu siapkan jembatan tol yang membuat aliran pengetahuan bisa berjalan terus-menerus tanpa mengenal waktu,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.