Telepati: Persepsi Ekstrasensori atau Stereotip Populasi? Begini Penjelasannya
Para peneliti dari Society for Psychical Research di Inggris mulai tertarik pada persepsi ekstrasensori (ESP), khususnya telepati.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pada akhir abad ke-19, para peneliti dari Society for Psychical Research di Inggris mulai tertarik pada persepsi ekstrasensori (ESP), khususnya telepati — kemampuan yang dihipotesiskan untuk memahami pikiran atau perasaan orang lain.
Mereka mengetahui tentang saudara perempuan Creery, lima saudara kandung dari sebuah kota kecil yang mengaku dapat saling mengirim dan menerima pikiran, dan memutuskan untuk menguji kemampuan mereka dalam kondisi yang terkendali.
Percobaannya mudah: seorang saudari akan fokus pada sebuah objek, angka, atau kata, sementara saudari lainnya, di ruangan terpisah, mencoba untuk "menerima" pikiran itu dan mengidentifikasinya. Para saudari itu menunjukkan tingkat akurasi yang mencengangkan, sering kali membuat identifikasi yang benar.
Keberhasilan mereka yang tampak jelas memicu antusiasme dalam komunitas ilmiah — hingga kasus tersebut berubah secara tak terduga ketika kedua saudari itu kemudian mengakui telah berbuat curang dalam beberapa eksperimen.
Meskipun terjadi penipuan, kasus ini menjadi salah satu studi paling awal dan paling terkenal dalam apa yang kemudian dikenal sebagai bidang psikologi, yang memengaruhi metodologi penelitian di masa mendatang.
Episode ini berfungsi sebagai pengingat pentingnya skeptisisme dalam studi semacam itu dan perlunya desain eksperimental yang ketat dan terkontrol dengan baik.
Persepsi ekstrasensori (ESP) merujuk pada dugaan proses transfer informasi yang tidak dapat dijelaskan oleh mekanisme fisik atau biologis yang diketahui. Telepati, salah satu konsep ESP yang paling dikenal luas, diklasifikasikan sebagai fenomena pseudosains dalam bidang parapsikologi, sebuah disiplin ilmu yang berupaya mempelajari kemungkinan persepsi ekstrasensori menggunakan metode ilmiah.
Namun, tidak ada bukti konklusif yang pernah mendukung keberadaan telepati. Dari sudut pandang neurologis, telepati dianggap mustahil, karena otak berfungsi melalui sinyal listrik dan neurotransmitter kimia dalam jaringan saraf - tidak satu pun dari keduanya meninggalkan tubuh. Menurut pemahaman ilmiah saat ini, tidak ada mekanisme yang diketahui yang memungkinkan pikiran ditransmisikan ke luar tubuh.
Efek Audiens
Para pemain yang mengidentifikasi diri sebagai " mentalis " atau ilusionis pikiran sering kali mencoba menciptakan kesan bahwa mereka memiliki persepsi ekstrasensori (ESP). Dalam pertunjukan yang diadakan di hadapan banyak penonton, mereka mungkin melakukan apa yang disebut eksperimen "telepati", meminta penonton untuk menebak angka yang seharusnya mereka pikirkan — biasanya antara satu dan sepuluh.
Penampil menyajikannya sebagai permainan probabilitas, yang menyatakan bahwa jika 10 persen penonton menebak angka dengan benar, tebakan tersebut diharapkan berdasarkan keberuntungan.
Namun, jika lebih dari 10 persen berhasil, tersirat bahwa pesan tersebut telah terkirim secara telepati. Penonton kemudian diminta untuk mengangkat tangan jika mereka memikirkan angka tujuh—dan di tengah kerumunan besar, lebih dari 30 persen mungkin melakukannya. Apakah ini membuktikan adanya komunikasi telepati? Belum tentu.
Penjelasan psikologis untuk hasil yang mengejutkan ini terletak pada fenomena yang dikenal sebagai stereotip populasi. Ketika diminta untuk memilih angka secara acak, kita cenderung berasumsi bahwa pilihan kita akan didistribusikan secara merata di semua pilihan yang tersedia.
Namun, pada kenyataannya, pola pikir manusia tidak benar-benar acak—angka tertentu dipilih jauh lebih sering daripada yang lain, bahkan ketika pilihan tersebut berasal dari berbagai pilihan.
Pola ini muncul dalam tugas serupa dengan sedikit variasi, seperti upaya untuk "mentransmisikan" bentuk atau warna tertentu secara telepati. Ketika diminta untuk memilih warna acak, orang-orang cenderung memilih biru.
Kecenderungan kuat untuk memilih tujuh sebagai angka dan biru sebagai warna sangat konsisten sehingga dinamakan Fenomena Biru-Tujuh.
Angka Ajaib
Mengapa angka tujuh lebih umum dipilih daripada, katakanlah, satu, lima, atau sepuluh? Meskipun alasan pastinya masih belum jelas, beberapa penjelasan telah diajukan.
Salah satu kemungkinan adalah bahwa angka tujuh menonjol, dianggap unik dan menarik karena merupakan angka prima, tidak seperti pilihan yang lebih "jelas" di titik ekstrem atau tengah rentang, seperti satu, lima, atau sepuluh.
Selain itu, pengaruh budaya mungkin berperan—angka tujuh sering muncul dalam konteks keagamaan dan sejarah, dari tujuh dosa mematikan dalam agama Kristen hingga tujuh hari dalam seminggu dan bahkan tujuh kurcaci dalam kisah Putri Salju. Dalam banyak budaya, angka ini juga dianggap sebagai angka keberuntungan, yang mungkin membuatnya lebih menarik.
Akibatnya, trik "membaca pikiran" mentalis bekerja dengan sangat baik di hadapan khalayak yang besar karena respons cenderung mengelompok dalam cara yang dapat diprediksi.
Banyak orang memiliki asosiasi budaya dan kognitif yang sama dengan angka, kata, atau gambar tertentu, yang membuat beberapa pilihan lebih mudah dipahami secara mental, "muncul di kepala kita" lebih sering daripada yang lain.
Penting untuk dicatat bahwa efek stereotip populasi tidak mengklaim dapat menjelaskan fenomena persepsi anomali seperti telepati, dan tidak serta merta menyangkal persepsi ekstrasensori.
Sebaliknya, efek ini menunjukkan bagaimana pola pikir yang dapat diprediksi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan ilusi membaca pikiran, bahkan ketika tidak ada kemampuan telepati yang nyata.
Prospek Masa Depan
Dikutip YNet, penelitian tentang persepsi ekstrasensori terus berlanjut hingga hari ini, meskipun terdapat skeptisisme dan tantangan metodologis yang meluas.
Salah satu eksperimen yang paling umum di bidang ini adalah eksperimen Ganzfeld, di mana mata dan telinga partisipan ditutup untuk menghalangi masukan sensorik eksternal, sehingga menciptakan kondisi kekurangan sensorik.
Setelah beberapa menit, partisipan sering melaporkan halusinasi visual dan pendengaran. Dalam upaya untuk mempelajari telepati, misalnya, sebuah pesan "dikirimkan" kepada partisipan, dan peneliti menilai apakah halusinasi mereka menyerupai pesan yang dimaksud.
Beberapa peneliti percaya bahwa eksperimen semacam itu memberikan bukti keberadaan persepsi ekstrasensori, sementara yang lain berpendapat bahwa meskipun penelitian tertentu melaporkan beberapa temuan positif, efek ini kecil dan sulit ditiru.
Beberapa berpendapat bahwa penggunaan model ilmu saraf konvensional, yang mungkin tidak cukup menangkap kompleksitas ESP, bertanggung jawab atas bukti yang bertentangan, dengan menyatakan bahwa kerangka kerja teoritis baru diperlukan untuk mempelajarinya secara efektif.
Selain itu, banyak penelitian melibatkan partisipan yang tidak memiliki hubungan emosional satu sama lain, melakukan tugas-tugas yang tidak terlalu berarti secara pribadi.
Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengalaman bersama yang luar biasa, seperti komunikasi telepati yang dirasakan, sering kali sangat pribadi dan bermuatan emosional, dan lebih mungkin terjadi pada individu yang dekat secara emosional.
Orang-orang dengan ikatan emosional yang kuat, seperti saudara kembar identik, lebih mungkin melaporkan pengalaman seperti itu, sehingga muncul pertanyaan tentang peran faktor psikologis dan emosional dalam persepsi fenomena ESP.
Meskipun terdapat skeptisisme seputar ESP, penelitian yang berpikiran terbuka tetap berharga—terutama dengan penggunaan metodologi inovatif dan kondisi eksperimen yang dikontrol secara ketat. (Tribun)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.