Opini
Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP, Berpotensi Terjadi Turbulensi ?
Menurut tafsir penulis, apabila kewenangan tersebut disetujui oleh DPR-RI akan menimbulkan tumpang tindih dalam penegakan kepastian hukum
Penulis: Efraim Lengkong (Pemerhati Sosial Masyarakat)
KEWENANGAN jaksa di Indonesia sebagai penuntut umum dalam melaksanakan tugasnya, dikenal sebagai dominus litis. "Dominus" dalam bahasa Latin berarti "pemilik". Pelanggaran tidak dapat diserahkan kepada hakim oleh hakim. Akibatnya, hakim hanya menunggu tuntutan jaksa penuntut umum.
Penerapan asas dominus litis (pengendali perkara) yang terkandung dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2024, memberikan kewenangan penuh pada jaksa boleh tidaknya suatu perkara untuk dapat naik ke pengadilan.
Asas tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan, dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pasalnya dalam draf revisi Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP terkandung asas yang menempatkan jaksa sebagai pihak penentu, apakah suatu perkara layak dilanjutkan atau dihentikan dalam proses peradilan.
Menurut tafsir penulis, apabila kewenangan tersebut disetujui oleh DPR-RI akan menimbulkan tumpang tindih dalam penegakan kepastian hukum. Fungsi kepolisian otomatis berubah jika dominus litis diterapkan.
Polisi Ibarat mengirim surat cinta apabila tidak dibalas maka akan terjadi bertepuk sebelah tangan. Dimana sang Arjuna tidak dapat meng-komplain secara hukum (mempraperadilankan) terhambat dengan adanya tirai "dominus litis".
Menurut hemat saya, peran jaksa sudah jelas dalam tuntutan pidana. Kewenangan jaksa dalam sistem hukum Indonesia seharusnya sudah terbatas pada utangan pidana "Actus Reus dan Men's rea.
Sementara kepolisian memiliki peran dalam investigasi dan penyidikan tindak pidana.
Kewenangan jaksa dalam menghentikan perkara jika revisi KUHAP disahkan, berpotensi terciptanya standar ganda dalam penegakan hukum. dinilai berpotensi membingungkan masyarakat dalam mencari kepastian hukum.
Apabila DPR-RI menyetujui RKUHAP akan menimbulkan "Turbulensi" pada masyarakat, akibat ketidakjelasan, kedua-duanya (Jaksa dan Polisi) berhak dan keduanya akan saling mempertontonkan "ego tafsir" mereka masing-masing dalam menentukan salah tidaknya suatu perkara pidana.
Revisi RUU KUHAP akan lebih tepat apalagi dalam revisi tersebut apabila diprioritaskan pada revisi tentang kepastian hukum yang cepat, sederhana, dengan biaya ringan.
Hal ini apabila dituangkan dalam revisi KUHP dapat membalut luka dan menghapus airmata masyarkat pencari keadilan.
Bukan revisi yang multitafsir dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih.
Pengertian Sistem Hukum, menurut pendapat Subekti hukum merupakan suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan dimana terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan.
Pendapat Sudikno Mertukusumo hukum adalah Suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
Dari apa yang dikatakan di atas oleh kedua ahli hukum dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang saling berinteraksi yang merupakan satu kesatuan dan bekerjasama kearah tujuan tertentu.
Pertanyaannya apa tanggapan masyarakat Indonesia terhadap sistem hukum Indonesia ? Kebanyakan menanggapi dengan kurang baik.
Apabila ditanya mengapa bisa begitu ? Jawaban ringan mereka bahwa sistemnya sudah baik, namun pelaksanaannya tidak sesuai yang diharapkan.
"Peraturannya hukum sebenarnya sudah baik, namun tidak ditegakkan". "Buat apa ada peraturan kalau tidak ditegakkan" ? Kata mereka.
Nurani keadilan sering dikalahkan oleh uang dan politik begitulah sebagian besar tanggapan masyarkat tentang penerapan hukum di Indonesia.
SEKEDAR untuk disimak, perjalanan penulis dalam mencari keadilan.
LP No STTLP 484.a/Vll/2019,15 Juli 2019 SPKT Polda Sulawesi Utara
Terlapor dalam gelar perkara di tetapkan sebagai TSK. Hasil berita acara pemeriksaaan laboratorium kriminalistik forensik Polri No KAB; 4655/DTF/XI/2019 Terdapat tanda tangan yang tidak selaras atau Non Identik (palsu).
Putusan Praperadilan No: 03/Pid.Pra/2020/PN.Mnd di. Hakim menolak permohonan praperadilan TSK. Di saat itu TSK ditahan di Rutan Polda Sulut selama 58 hari. Lamanya kepastian hukum membuat TSK mendapatkan Rekomendasi dari Rowassidik Mabes Polri berakhir dengan dikeluarkannya SP3 dari Direskrimum Polda Sulut.
Merasa dizolimi penulis mempraperadilankan Polda Sulut penulis mengajukan praperadilan dan Hakim mengabulkan seluruh permohonan pemohon dan hakim memerintahkan penyidik untuk melanjutkan sampai disidang.
Penyidik Polri dan JPU pun berganti-ganti. Entah salah siapa di antara mereka (polisi dan jaksa). Setahun lamanya berkas P-P, memberi peluang TSK melakukan permohonan gugatan praperadilan kembali.
Anehnya di ruang sidang seluruh BAP penulis berada di tangga PH TSK. Dalam Praperadilan yang ke-3 kalinya ini, Hakim kembali menolak permohonan gugatan TSK.
Disayangkan entah siapa yang salah sampai TSK meninggal dunia tidak pernah dilakukan atau terjadi Sidang Pidana.
Viralnya pemberitaan tertangkap "ini dan itu" terkait kasus suap, memberi signal kepada wakil rakyat di Senayan untuk merevisi hati mereka bahwa dalam mengambil keputusan, kepentingan rakyat harus di atas segala-galanya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.