Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pelanggaran Pemilu di Bitung

Ini Kata Pengamat Hukum Terkait Kasus yang Menjerat Wali Kota Bitung Maurits Mantiri

Praktisi dan ilmuwan hukum Michael Remizaldy Jacobus angkat bicara soal kasus hukum, yang menjerat Wali Kota Bitung Maurits Mantiri

|
IST
Pengamat Hukum Michael Jacobus 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Praktisi dan ilmuwan hukum Michael Remizaldy Jacobus angkat bicara soal kasus hukum, yang menjerat Wali Kota Bitung yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Bitung Maurits Mantiri .

Menurut Jacobus, apa yang ia sampaikan ini lebih kepada bagaimana menjadi bermanfaat dan bukan semata-mata dimanfaatkan.

"Kami hanya luruskan jalannya penegakkan hukum, karena kalau seorang Maurits Mantiri yang juga Walikota boleh di kriminilisasi, apalagi rakyat kecil," kata Michael Jacobus, Sabtu (23/11/2024).

Ia tak segan mewarning, silahkan bermain politik, tapi kalau sudah bicara penegakan hukum, jangan di campur-campur.

Lanjut ketua Ikatan Gorela Unsrat Bitung, apa yang ia sampaikan bukan demi Maurits Mantiri tapi demi hukum yang adil.

"Karena sekali lagi, kalau walikota bisa dikriminalisasi, apalagi kalau rakyat miskin yang tidak ada uang," tambahnya.

Jacobus bilang pendapat ini murni dari sudut pandang hukum, dan untuk meluruskan jalannya penegakan hukum yang adil dan konstitusional.

Sebelumnya, pasca Maurits Mantiri Ketua DPC PDI Perjuangan Bitung Sulut ditetapkan tersangka Jacobus menilai itu memenuhi unsur pelanggaran etika, tapi bukan tindak Pidana.

Diketahui Maurits Mantiri disangkakan melakukan tindak pidana Pasal 69 huruf c dan d undang-undang Pilkada, yang pada pokoknya terkait larangan kampanye dengan menghasut dan melakukan ancaman kekerasan akibat orasi politiknya dalam kampanye di Kecamatan Girian beberapa pekan lalu.

Jacobus secara tegas mengkritik Mantiri karena orasinya yang tidak etis disampaikan sebagai seorang yang menjabat Walikota Bitung. 

“Menyampaikan kata-kata seruduk, bakar, ratakan dihadapan massa atau publik bagi saya adalah hal yang tidak sepatutnya disampaikan seorang Walikota. Itu pelanggaran etika”, tutur Jacobus saat dimintai tanggapan sejumlah wartawan.

Namun yang menarik, menurut Advokat yang telah berkiprah selama hampir 20 tahun sebagai praktisi hukum ini, tidak sependapat dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Sentra Gakkumdu  Bitung. 

Hal ini didasari argumentasi bahwa tidak semua pelanggaran etika itu adalah tindak pidana. 

Salah satu tindakan yang dilarang berdasarkan Pasal 69 huruf c UU Pilkada “menghasut”, sedangkan Pasal 69 huruf d adalah kata “ancaman kekerasan” yang mungkin saja disimpulkan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan Mantiri. 

Menurut Pasal 246 KUHP terbaru definisi menghasut itu mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. 

Sedangkan ancaman kekerasan adalah “penyampaian tindakan kekerasan yang akan dilakukan terhadap sesuatu atau seseorang”. 

Akan tetapi menurut saya kata-kata “berbuat sesuatu” atau “penyampaian tentang tindakan kekerasan” harusnya merupakan hal yang sangat clear atau terang benderang sebagai perbuatan yang negatif dan tidak multitafsir. 

"Artinya, jika yang disampaikan sebatas kata-kata: “seruduk, ratakan, bakar” namun tidak jelas dengan sasaran berupa objek atau subyeknya, maka menurut Saya itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan yang melanggar etika," papar Jacobus.

Jika seseorang mengatakan didepan umum seruduk, ratakan, dan bakar namun tidak menyebutkan siapa subyek yang akan diseruduk dan dibakar, dan tidak jelas apa yang akan diseruduk, dibakar, dan diratakan, maka orang-orang yang mendengar tidak akan menjadi terhasut tetapi justeru akan menjadi bingung dan bertanya-tanya siapa dan apa yang akan diseruduk, dibakar dan diratakan?

Pemaknaan kata-kata seruduk, ratakan dan bakar akan menjadi negatif atau akan menjadi perbuatan yang dilarang jika sasarannya jelas. 

“Karena kata-kata seruduk, ratakan dan bakar baru akan memiliki makna negatif atau positif tidak bisa hanya dilihat dalam bentuk gestur tubuh dan nada suara saat mengucapkan tetapi harus dengan sasaran yang clearly (jelas) dan tidak implisit (terselubung) atau abstrak serta tidak multitafsir. 

Sebab jika seseorang menyebutkan secara eksplisi “seruduk pohon”, “ratakan tanah” dan “bakar rumput” sekalipun dengan gestur dan nada suara yang emosional, maka itu bukan tindak pidana. 

"Tapi jika menyebutkan seruduk si A, bakar Gedung B, dan ratakan rumah si C, maka jelas-jelas merupakan tindak pidana," ungkap Jacobus kepada sejumlah awak media.

Advokat yang sementara mempersiapkan ujian promosi doktor hukum di Fakultas Hukum Universitas Trisaksi ini menegaskan ada perbedaan yang jelas antara etika dan pidana, karena etika itu berputar pada persoalan prilaku yang patut dan tidak yang biasanya dampaknya abstrak, sedangkan pidana adalah kejahatan yang harus sesuatu yang dampaknya terang-benderang dan memenuhi syarat asas legalitas. 

Artinya, sesuatu akan dikualifisir sebagai perbuatan pidana ketika memenuhi prinsip hukum yakni harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa). 

Dikaitkan dengan hasutan atau ancaman kekerasan, undang-undang sudah jelas, akan tetapi perbuatan materiilnya secara kasuistis harus diperjelas juga apakah memenuhi unsur sebagai kejahatan artinya ada kerusakan-kerusakan atau ada akibat-akibat negatif yang disasar atau tidak. 

“Kalau tidak jelas sasaran perbuatannya baik objek maupun subyek, maka itu sekali lagi pelanggaran etika, dan terlalu ceroboh Gakkumdu jika menetapkan sosok Walikota sebagai tersangka atas dasar pelanggaran etika”, kata dia.

Jacobus juga seseorang ditetapkan sebagai tersangka itu karena adanya “keadaan” atau “perbuatan” pidana yang dijustifikasi atau dibenarkan oleh minimal 2 alat bukti. 

Jika perbuatannya hanya menyebutkan kata-kata seruduk, ratakan, bakar tanpa ada objek dan subyek jelas, maka alat bukti apa yang membuktikan kalau itu perbuatan pidana? 

Ia malah penasaran, ahli bahasa atau ahli pidana siapa yang keterangannya bisa dijadikan alat bukti dalam penetapan tersangka Pak Maurits yang memastikan kalau kata-kata seruduk, bakar dan ratakan tanpa ada objek dan subyek yang disasar kemudian disimpulkan sebagai perbuatan pidana?.

Selanjutnya diakhir wawancara, Jacobus menyampaikan jika alat bukti diperoleh secara tidak sah atau misalnya rekaman video diperoleh dari akun palsu, maka bagaimana itu dapat disebut sebagai alat bukti yang sah. 

Syarat alat bukti untuk menetapkan tersangka itu ada 3 (tiga) B, yakni: Bewijs minimum apakah ada minimal 2 (dua) alat bukti, Bewijsvoering, apakah alat bukti diperoleh secara sah, tidak boleh alat bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah (unlawfull legal evidence).

Bukan alat bukti yang diperoleh secara ilegal atau bukti yang ternodai (tainted evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum (exclusionary rules).

Bewijskracht, ialah memiliki nilai kuat atau relevannya alat bukti karena berhubungan erat dengan perbuatan pidana yang disangkakan. 

"Dalam perkara ini Bewiejsvoering-nya tidak dimiliki Penyidik, kalau sumber data dari akun palsu. Bagaimana bisa sudah ditetapkan tersangka," tandasnya.

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved