Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Sejarah Pendudukan Israel di Dataran Tinggi Golan, Berawal dari Perang 6 Hari dengan Suriah

Peristiwa yang terjadi pada Sabtu 27 Juli 2024 di Dataran Tinggi Golan dilaporkan menewaskan sedikitnya 12 anak.

Editor: Rizali Posumah
Tangkapan layar YouTube Kompas.com
Militer Israel berjaga di Dataran Tinggi Golan yang direbut dari Suriah. 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebuah roket menghantam lapangan sepak bola di Kota Majdal Shams wilayah Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel

Peristiwa yang terjadi pada Sabtu 27 Juli 2024 ini dilaporkan menewaskan sedikitnya 12 anak. 

Pasca terjadinya serangan ini, level ketegangan antara Israel dan kelompk Hizbullah yang berbasis di Lebanon pun meningkat. 

Pasalnya, Israel menuding Hizbullah adalah kelompok yang pantas dipersalahkan dalam peristiwa tersebut. 

Hizbullah sendiri telah membantah keras tuduhan Israel tersebut. 

Sejarah Israel menguasai Dataran Tinggi Golan

Wilayah yang disebut Dataran Tinggi Golan pada dulunya adalah wilayah Suriah. 

Israel merebut wilayah ini dari Suriah dalam Perang Enam Hari tahun 1967.

Negara zionis tersebut kemudian secara resmi mencaplok wilayah itu tahun 1981.

Dataran tinggi berbukit tersebut, yang membentang sekitar 804 km persegi, berbatasan dengan Yordania dan Lebanon.

Ibu Kota Suriah, Damaskus, bisa terlihat dari puncak Golan yang berbatu-batu itu.

Sebuah zona penyangga yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB ) memisahkan bagian wilayah Golan yang diduduki Israel dengan Suriah.

Berdasarkan hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB, Dataran Tinggi Golan dianggap sebagai wilayah pendudukan, dan Suriah terus menuntut agar wilayah itu dikembalikan ke pengakuannya.

Kawasan tersebut sering menjadi titik konflik.

Konflik terakhir terjadi tahun 2019 ketika mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengatakan, AS akan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.

Israel memandang Dataran Tinggi Golan sangat penting untuk kepentingan keamanan nasionalnya.

Israel menegaskan, pihaknya perlu mengendalikan wilayah tersebut demi menangkis ancaman dari Suriah dan kelompok proksi Iran di sana.

Serangan pada Sabtu lalu bukanlah yang pertama di Dataran Tinggi Golan sejak perang Israel dengan Hamas pecah di Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Pada awal Juli ini, sebuah serangan roket Hezbollah menewaskan dua orang di wilayah tersebut.

Hal itu mendorong ketua Dewan Regional Golan Israel menyerukan pembalasan “dengan kekerasan” terhadap kelompok Hezbollah yang berbasi di Lebanon itu.

Hezbollah sebelumnya mengatakan, mereka menembakkan puluhan roket Katyusha ke Dataran Tinggi Golan “sebagai respons” terhadap dugaan serangan Israel di Suriah yang menarget anggota penting Hezbollah.

Tempat tinggalnya kaum minoritas penganut Druze

Druze merupakan sebuah sekte agama kecil di Timur Tengah yang dikenal dengan sistem doktrin yang eklektik atau beragam dan kohesi serta kesetiaan di antara para anggotanya yang memungkinkan mereka mempertahankan identitas dan keyakinan khasnya selama berabad-abad.

Pada abad ke-21, jumlah penganut Druze mencapai lebih dari satu juta orang dan sebagian besar tinggal di Lebanon, Suriah, dan Israel.

Druze merupakan agama monoteistik dan diimani secara diam-diam yang mengintegrasikan unsur-unsur Islam, Hindu, dan filsafat Yunani.

Robert Brenton Betts, dalam bukunya, The Druze in the Middle East: Their Faith, Leadership, Identity, and Status, menjelaskan bahwa Druze tidak memperbolehkan orang berpindah agama – baik dari atau ke agama itu - dan tidak boleh melakukan perkawinan campur.

Mereka juga tidak melakukan dakwah dan melestarikan praktik keagamaannya dalam komunitas.

Lebih dari 20.000 umat Druze tinggal di Dataran Tinggi Golan.

Kebanyakan dari mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Suriah dan menolak tawaran kewarganegaraan Israel ketika Israel merebut wilayah itu tahun 1967.

Mereka yang menolak jadi warga negara Israel tetapi tetap tinggal di wilayah itu diberikan kartu izin tinggal oleh Israel.

Menurut keterangan Dewan Regional Majdal Shams kepada CNN, tak satu pun dari warga Druze yang tewas dalam serangan di lapangan sepak bola pada Sabtu lalu memiliki kewarganegaraan Israel.

Kelompok Druze di Dataran Tinggi Golan berbagi wilayah dengan sekitar 25.000 warga Yahudi Israel, yang tersebar di lebih dari 30 permukiman.

Tahun lalu, Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyuarakan kekhawatiran atas rencana Israel untuk melipatgandakan populasi permukim di Golan pada tahun 2027.

Menurut Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB, kelompok Druze Suriah di Golan telah menderita akibat kebijakan yang diskriminatif, terutama yang berkaitan dengan alokasi lahan dan air.

“Selama bertahun-tahun, perluasan permukiman Israel dan aktivitas mereka telah mengurangi akses petani Suriah terhadap air, karena kebijakan diskriminatif terkait harga dan upah,” kata komite PBB.

Kelompok Druze di Dataran Tinggi Golan secara historis menentang hukum Israel yang mereka nilai sebagai upaya “Israelisasi”.

Tahun 2018, ribuan pengunjuk rasa yang dipimpin kelompok Druze menentang Undang-Undang Dasar Negara-Bangsa Yahudi yang diajukan parlemen Israel, karena khawatir hal itu akan memperdalam diskriminasi.

Undang-undang tersebut menetapkan Israel sebagai tanah-air historis bagi orang-orang Yahudi dengan Yerusalem “bersatu” sebagai ibu kotanya dan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi “memiliki hak eksklusif untuk menentukan nasib sendiri secara nasional” di Israel.

Para pemimpin Druze saat itu mengatakan, undang-undang kontroversial itu membuat mereka merasa seperti warga negara kelas dua karena aturan itu tidak menyebutkan kesetaraan atau hak kelompok minoritas.

Data terbaru yang dilaporkan di media Israel menunjukkan adanya peningkatan jumlah warga Druze dari Golan yang ingin mendapatkan kewarganegaraan Israel. Namun jumlahnya masih sangat kecil: 75 pada tahun 2017 menjadi 239 tahun 2021.

Di luar Golan, sekitar 130.000 warga Druze Israel tinggal di Carmel dan Galilea di Israel utara.

Berbeda dengan komunitas minoritas lain di Israel, banyak di antara orang-orang Druze sangat patriotik. Para kaum pria Druze yang berusia di atas 18 tahun telah ikut wajib militer di angkatan bersenjata Israel (Israel Defense Forces/IDF) sejak tahun 1957 dan sering kali menduduki jabatan tinggi.

Banyak juga dari mereka yang berkarier di kepolisian dan pasukan keamanan.

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Bergabung dengan WA Tribun Manado di sini >>>

Simak Berita di Google News Tribun Manado di sini >>>

Baca Berita Update TribunManado.co.id di sini >>> 

SUMBER KOMPAS.COM 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved