Profil Tokoh Dunia
Profil Che Guevara, Sosok Revolusioner yang Jadi Simbol Perlawanan Rakyat Palestina
Che Guevara dikenang hingga hari ini oleh seluruh orang-orang yang melawan penindasan termasuk di Palestina.
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Seorang pria nampak terbaring lemah di dalam sebuah ruang yang berlokasi di desa La Higuera, Negara Bolivia, pada tanggal 9 Oktober 1967.
Tak berselang lama, seorang tentara berjalan mendekati pria tersebut.
Tentara itu menodongkan senjatanya.
Bukannya takluk dan memohon belas kasihan, si pria yang dincam dengan senapan itu malah menatap tajam kepada si tentara.
Dengan lantang pria itu berkata, "Saya tahu kamu datang untuk membunuh saya. Tembak, pengecut, kamu hanya akan membunuh seorang pria."
Si tentara sempat gentar. Tapi kemudian ia memutuskan untuk mengarahkan pistol karbin M2 miliknya dan menembak pria itu, dor dor dor.
Total sembilan peluru bersarang di tubuh pria itu.
Pria itu gugur di tanah terakhir petualangan revolusionernya.
Pria itu adalah Ernesto Che Guevara, seorang pembebas dari Argentina.
Pejuang revolusi, dokter, penulis, pemimpin gerilyawan, diplomat, dan pakar teori militer yang berhaluan Marxis.
Che, dikenang hingga hari ini oleh seluruh orang-orang yang melawan penindasan.
Poster wajahnya kerap memenuhi tembok di sepanjang jalan kota-kota yang merindukan kemerdekaan.
Di Jalur Gaza hingga di Tepi Barat Palestina, gambar Che Guevara kerap terpampang sebagai simbol perlawanan.
Masa Kecil
Guevara lahir pada 14 Juni 1928 di Rosario, Argentina, dan merupakan anak dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna y Llosa.
Sejak kecil, Ernestito atau Ernesto Kecil, dibesarkan dengan perspektif akan politik sayap kiri dari keluarganya.
Ernesto Senior diketahui merupakan pendukung kaum Republikan saat masa Perang Saudara Spanyol, dan sering mengundang veteran ke rumah.
Guevara menunjukkan ketertarikan akan kesusastraan. Antara lain puisi dari Pablo Neruda, Antonio Machado, maupun Walt Whitman.
Karena rumah Keluarga Guevara memiliki lebih dari 3.000 buah buku, maka dia menjadi pembaca yang antusias sekaligus menyerap ide-ide baru.
Guevara terutama sangat tertarik dengan buku Karl Marx, Albert Camus, Jawaharlal Nehru, Vladimir Lenin, hingga Friedrich Engels.
Beranjak dewasa, Guevara tertarik pada penulis Amerika Latin seperti Horacio Quiroga, Ciro Alegria, Jorge Icaza, maupun Miguel Asturias.
Semua ide, konsep, filosofi, maupun definisi dari para penulis yang dianggapnya menarik bakal dicatat dalam buku diarinya
Menjadi Mahasiswa Kedokteran dan Pengembara
Di 1948, Guevara masuk Universitas Buenos Aires untuk belajar kedokteran. Namun, keinginannya mengarungi dunia membuatnya cuti kuliah.
Perjalanan pertamanya dimulai pada 1950. Guevara mengarungi 4.500 kilometer menyusuri utara Argentina berbekal sepeda kayuh yang dipasangi motor kecil.
Guevara kemudian melakukan perjalanan kedua di Desember 1951. Kali ini, dia bersama seorang teman bernama Alberto Granado mengendarai motor.
Mereka berdua berkendara selama sembilan bulan sejauh 8.000 kilometer menyusuri seluruh jalan di kawasan Amerika Selatan.
Dari Argentina, Guevara dan Granado menyusuri Chile, Peru, Kolombia, Venezuela, sebelum berpisah untuk menuju Miami, Amerika Serikat (AS).
Dari Miami, dia kembali ke Argentina menumpang pesawat. Seluruh perjalanan tersebut dia abadikan di jurnal yang kelak bernama The Motorcycle Diaries: Notes on a Latin American Journey.
Di akhir perjalanannya, Guevara meyakini bahwa Amerika Latin bukanlah negara berbeda-beda, melainkan satu entitas yang membutuhkan strategis pembebasan skala besar.
Selama petualangannya, dia melihat sendiri kemiskinan, kelaparan, ditambah ketidakmampuan merawat anak karena tak ada biaya.
Semua pengalaman tersebut menggerakan hati Guevara untuk "menolong orang-orang tersebut".
Dia lalu menamatkan pendidikan dokternya pada Juni 1953.
Namun, dia memilih untuk tidak menolong orang melalui dunia kedokteran.
Melainkan masuk ke dalam arena konflik bersenjata.
Usai lulus kedokteran, tahun 1953, Guevara pergi ke Guatemala di mana Jacobo Arbenz sedang menggelorakan kampanye melakukan revolusi sosial di sana.
Guevara, yang saat itu memilih nama pendek Che, menyaksikan AS melalui Badan Intelijen Pusat (CIA) menggulingkan Arbenz melalui kudeta.
Dari situ, Guevara menyimpulkan bahwa AS bakal selalu melibas pemerintahan sayap kiri progresif. Dia berencana membawa sosialisme, dan menjadi Marxist.
Bertemu Castro dan Revolusi Kuba
Dari Guatemala Guevara pindah ke Meksiko pada 21 September 1954.
Di sana, dia sempat bekerja sebagai dokter maupun jurnalis bagi Latina News Agency.
Di ibu kota Mexico City, dia bertemu dengan Fidel dan Raul Castro yang tengah menyiapkan Pergerakan 26 Juli untuk menggulingkan diktator Kuba Fulgencio Batista.
Guevara bergabung, dan mereka berusaha menyusup dengan menggunakan kapal penjelajah tua, Granma, dan mendarat di Oriente pada 2 Desember 1956.
Namun, kedatangan mereka telah tercium oleh pasukan Batista. Dari 82 orang yang menyusup, hanya 22 orang yang berhasil selamat termasuk Guevara.
Saat diserang, Guevara memilih menanggalkan perlengkapan medisnya, dan mengambil kotak amunisi yang kelak mengubah hidupnya.
Dalam keadaan terluka, rombongan yang selamat itu berhasil meraih Sierra Maestra di mana mereka memutuskan menjadi gerilyawan pertama.
Pelan-pelan, operasi gerilya yang dilancarkan Castro bersaudara mulai mendapatkan simpati dari rakyat. Mereka berhasil merekrut anggota baru, mendapat bahan makanan, hingga amunisi.
Pada awalnya, Guevara merupakan dokter pasukan. Namun, dia juga mulai mengasah kemahiran menggunakan senjata, dan kemudian menjadi salah satu sekutu utama Castro.
Dia mendapat tugas tidak hanya menyembuhkan. Namun juga eksekutor, atau memberi perintah eksekusi, orang-orang yang dianggap berkhianat.
Ketika akhirnya Castro meraih kemenangan dan memasuki Havana 8 Januari 1959, Guevara didapuk menjadi komandan Penjara La Cabana.
Selama lima bulan, dia mendapat tugas untuk mengawasi pelaksanaan "keadilan revolusioner" terhadap sisa-sisa pasukan Batista, maupun para pengkhianat.
Dilaporkan, ketika menjadi komandan di La Cabana, Guevara mengeksekusi mati antara 55 hingga 105 simpatisan Batista.
Setelah itu, Guevara menjadi presiden bank nasional dan menteri industri yang membantu Kuba menjadi negara komunis.
Di awal 1960-an, Guevara bertindak sebagai Duta Besar Kuba. Berkeliling dunia untuk mencoba berhubungan dengan negara lain, termasuk Uni Soviet.
Dia menjadi sosok kunci ketika terjadi Insiden Teluk Babi antara 17-19 April 1961, dan Krisis Rudal Kuba antara 16-28 Oktober 1962.
Pada 1964, dia mendapat kesempatan berpidato di forum PBB di mana dia mengecam kebijakan luar negeri AS dan politik apartheid Afrika Selatan.
Kongo dan Awal Kejatuhan
Pada 1965, Guevara mengundurkan diri dari jabatannya, dan pergi ke Afrika untuk menawarkan pengetahuan dan pengalamannya sebagai gerilyawan di Kongo yang tengah menghadapi Pemberontakan Simba.
Presiden Aljazair Ahmed Ben Bella saat itu berkata, Guevara berpikir Afrika adalah mata rantai terlemah imperialisme, dan punya potensi revolusi yang bagus.
Oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang berkawan baik dengan Guevara, dia dinasihati agar tidak ikut campur dalam politik di Kongo.
Meski mendapat peringatan, Guevara tetap pergi. Menggunakan nama Ramon Benitez, dia memimpin operasi berbekal dukungan dari Simba.
Bersama 12 orang Kuba lainya, Guevara sampai pada 24 April 1965, dan awalnya bergabung dengan pasukan Laurent-Desire Kabila.
Namun, dia mengalami kesulitan karena pasukan di bawah pimpinan Kabila kurang disiplin, sehingga memutuskan untuk meninggalkannya.
Saat itu, oposisi mulai melancarkan balasan melalui tentara bayaran yang dipimpin Mike Hoare, dan didukung CIA serta orang Kuba anti-Castro.
Mereka berhasil melacak Guevara yang sedang bermarkas di desa Fizi dekat Danau Tanganyika, di kawasan tenggara Kongo.
Pasukan yang disokong CIA itu berhasil menyadap komunikasi Guevara, dan memutus jalur perbekalan bagi pergerakannya.
Guevara pun mengalami kekalahan pada 20 November 1965. Enam bulan berikutnya, dia bersembunyi di Dar es Salaam dan Prague, Republik Ceko.
Di Prague, dia bertemu mantan Presiden Argentina Juan Peron yang berkata kalau apa yang dilakukan Guevara di Kongo adalah bunuh diri.
Peron lalu mengenang bahwa Guevara adalah sosok yang masih belum dewasa.
"Namun, saya senang dia berhasil membuat Yankee, julukan untuk AS, itu sakit kepala," katanya.
Tertangkap di Bolivia dan Dihukum Mati
3 November 1966, Guevara sampai di La Paz, Kolombia, melalui penerbangan dari Montevideo, Uruguay, menggunakan nama samaran Adolfo Mena Gonzalez.
Dari La Paz, Guevara menuju kawasan Nancahuazu untuk memimpin pasukan gerilya berkekuatan 50 orang yang menamakan diri sebagai Pasukan Pembebasan Nasional Bolivia (ELN).
Awal 1967, ELN yang mempunyai modal kemampuan meraih kesuksesan dengan menumbangkan pasukan pemerintah di kawasan pegunungan Camiri.
Awalnya pemerintah Bolivia melihat pasukan Guevara sangat besar.
Namun di Agustus 1967, mereka berhasil mengalahkan dua kelompok gerilyawan.
Pada saat itu, La Paz mulai melancarkan perburuan terhadap Guevara, dan mendapat bantuan dari pejabat Divisi Khusus CIA di Bolivia, Felix Rodriguez.
7 Oktober 1967, seorang informan memberi tahu Pasukan Khusus Bolivia bahwa Guevara dan pengikutnya bermarkas di Jurang Yuro.
8 Oktober 1967 pagi, Bolivia mengerahkan dua batalion untuk mengepung tempat itu, dan memaksa gerilyawan maupun Guevara menyerah.
Guevara diikat dan dibawa ke sebuah sekolah di desa La Higuera malam harinya. Tertembak di betis kanan, dia menolak berbicara dengan penyidik Bolivia.
9 Oktober 1967 dalam usia 39 tahun, Guevara tewas dieksekusi oleh pasukan Bolivia atas instruksi Presiden Rene Barrientos.
Sebelum dieksekusi Guevara ditanyai oleh salah satu tentara Bolivia yang menjaganya tentang apakah ia memikirkan tentang keabadiannya. "Tidak," jawabnya.
"Aku berpikir tentang keabadian revolusi," pungkas Che.
Beberapa menit kemudian, seorang sersan masuk ke dalam gubuk tersebut untuk menembaknya.
Saat sedang menodongkan senjata, Che dengan tegas dan keras berkata, "Saya tahu kamu datang untuk membunuh saya. Tembak, pengecut, kamu hanya akan membunuh seorang pria."
Sersan tersebut sempat ragu, dan kemudian mengarahkan pistol karbin M2 miliknya dan menembak Che Guevara.
Tembakan tersebut mengenai Guevara di bagian lengan dan tungkainya.
Kemudian, saat Guevara menggeliat kesakitan sersan tersebut menembak lagi, dan tembakan ini mengakibatkan luka fatal di dadanya.
Guevara dinyatakan tewas pada pukul 13.10 waktu setempat.
Secara keseluruhan, Guevara ditembak sembilan kali, termasuk lima tembakan di tungkainya, satu di pundak dan lengan kanannya, dan satu di dada dan tenggorokannya.
Sebelum Che meninggal, dia sempat mengirim surat sehabatnya presiden kuba Fidel Castro:
"Kunyatakan sekali lagi bahwa aku membebaskan Kuba dari segala tanggung jawab, kecuali ia menjadi contoh buatku. Jika saat terakhirku kualami di bawah langit lain, aku akan mengingat rakyat ini terutama engkau. Aku berterima kasih atas apa yang kau ajarkan, teladanmu, dan aku akan mencoba setia pada konsekuensi terakhir atas tindakan-tindakanku".
Ketika Castro mendengar kematian Guevara, dia memerintahkan Kuba berkabung selama tiga hari.
Tidak hanya Kuba yang memuja Guevara. Masyarakat internasional, termasuk pejuang anti-Apartheid Nelson Mandela, Jean-Paul Sartre, dan Malcolm X menganggap dia sebagai simbol anti imperialisme dan tokoh revolusi.
Che, adalah manusia yang lahir dengan takdir seorang pembebas, seorang revolusioner. Dan dia meninggal dengan itu.
Dalam surat terakhirnya, ia mengahiri dengan kalimat "Hasta la victoria siempre! (Maju terus menuju kemenangan)
Patria o muerte! (Tanah air atau mati)".
• Analisa Mantan Kabareskrim Polri Terkait Nasib Pegi Setiawan dalam Kasus Vina Cirebun
Artikel ini diolah dari Kompas.com
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/Che-Guevara-dan-pejuang-Palestina-di-Tepi-Barat.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.