Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pemerintahan Prabowo Ketiban Utang Rp 8.338 Triliun dari Presiden Jokowi

Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming ketiban utang dari pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin sebesar Rp 8.338 triliun.

Editor: Arison Tombeg
Kolase Tribun Manado
Uang rupiah dan dolar AS. Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming ketiban utang dari pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin sebesar Rp 8.338 triliun. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming ketiban utang dari pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin sebesar Rp 8.338 triliun.

Tren kenaikan utang pemerintah ini sudah terjadi sejak 2015, atau sejak periode pertama pemerintahan Jokowi. Jumlah utang pemerintah semakin besar, terutama dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Selama ini, SBN menjadi komponen dominan dalam utang pemerintah. Bahkan, sejak 2001 hingga 2023, porsi SBN sebagai sumber pendanaan pemerintah semakin besar.

Pada 2001 misalnya, sebanyak 51,9 persen porsi utang pemerintah berasal dari SBN. Sementara pada tahun 2023, porsi utang pemerintah yang berasal dari SBN mencapai 88,6 persen.

Celakanya, pada pemerintahan baru ini akan menjadi tahun-tahun dengan pembayaran SBN tertinggi.

Puncaknya adalah pada tahun 2025, di mana pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 704 triliun. Ini menjadi jumlah pembayaran utang jatuh tempo tertinggi dalam 40 tahun ke depan.

Berdasarkan riset KONTAN, sebanyak 92,7 persen dari total SBN yang jatuh empo tahun 2025 diterbitkan setelah tahun 2014 atau setelah Jokowi memimpin.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa utang jatuh tempo yang relatif besar pada 2025 belum memasukkan potensi penambahan utang baru yang akan muncul terutama dalam beberapa tahun ke depan imbas dari kebijakan pemerintahan baru.

Untuk itu, ia menyarankan agar faktor utang menjadi pertimbangan pemerintah ketika menyusun anggaran belanja terutama dalam tiga hingga lima tahun mendatang.

"Karena tentu dengan jatuh tempo utang yang besar ini berpotensi akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang kembali dalam rangka membayar jatuh utang tempo tersebut," ujar Yusuf.

Baca juga: Simon Aloysius Mantiri Jadi Komut Pertamina Gantikan Posisi Ahok, Orang Dekat Prabowo

Salah satu solusi bagi pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo dalam menghadapi tumpukan utang adalah dengan meminimalkan utang.

Apalagi saat ini utang negara 90 persen berasal dari SUN yang mahal. Sebab berutang dari SUN tergolong mudah, pemerintah tinggal menerbitkan SUN dan ketika tidak lagi, bunganya dinaikkan.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyarankan agar pemerintahan baru memperbanyak porsi utang program berjangka panjang dan berbunga rendah.

Misalnya saja pinjaman dari Lembaga International seperti World Bank, Asian Development Bank, maupun Islamic Development Bank.

"Karena utang-utang dari lembaga itu sebenarnya banyak yang jangkanya panjang dan jauh lebih murah," pungkasnya.

Dirinya juga mengkhawatirkan soal pembayaran bunga utang yang terus meningkat bahkan porsinya sudah 14 persen dari belanja APBN. "Posisinya sangat tinggi, bahkan tahun ini diprediksikan untuk membayar utang saja nilainya dua kali lebih tinggi dari capital expenditure," kata Wijayanto.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah hingga April 2024 ini mencapai Rp 8.338,43 triliun.

Posisi utang pemerintah jauh lebih tinggi ketimbang lima tahun lalu. Per akhir 2019, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 4.779,28 triliun.

Sementara utang tersebut naik sebesar Rp 76,33 triliun dibandingkan bulan Maret 2024. Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,64 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Kamis (6/6/2024) kemarin mengatakan, posisi utang pemerintah tersebut masih dalam kondisi aman.

Menurut Sri Mulyani, rasio utang Indonesia tersebut lebih rendah jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia (60,4 persen), Thailand (61 persen), India (88,5 persen), hingga Argentina (85 persen).

Bahkan Sri Mulyani menyebut, dalam kondisi 10 tahun yakni pada tahun 2012 ke 2022, hampir semua negara mengalami lonjakan rasio utang.

"Kita lihat hampir G20 semua naik dari sisi debt GDP ratio, even seperti negara Rusia dalam hal itu. Saudi pun juga kenaikan dari utangnya karena mereka ingin membangun," katanya.

Mantan Direktur Bank Dunia ini menjelaskan, meski pada tahun 2020 angka defisit melonjak, namun pemerintah bisa melakukan konsolidasi fiskal dalam waktu yang segera.

Oleh karena itu, dirinya memastikan bahwa pemerintah akan terus berkomitmen untuk pengelolaan utang secara baik. "Ini sangat diperhatikan sekali dan dinotice sebagai suatu komitmen dari pengelolaan APBN yang baik," terangnya.

Dengan utang sebesar itu, beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada pemerintahan mendatang akan bertambah. Pasalnya, Berdasarkan data Kemenkeu, total utang jatuh tempo dari tahun 2025 hingga 2029 mencapai Rp 3.748 triliun.

Rinciannya adalah Rp 800,33 triliun pada tahun 2025, Rp 803,19 triliun pada tahun 2026, Rp 802,61 triliun pada tahun 2027, Rp 719,81 triliun pada tahun 2028, dan Rp 622,3 triliun pada tahun 2029. Mayoritas utang tersebut berbentuk Surat Berharga Negara (SBN). (Tribun)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved