Pilpres 2024
Exit Poll Pemilih Tak Terima Bansos: Anies 27 Persen - Prabowo 56 Persen - Ganjar 16 Persen
Efek bantuan sosial (bansos) ramai dibicarakan dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Efek bantuan sosial (bansos) ramai dibicarakan dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Exit poll dari Indikator Politik Indonesia menemukkan 56,9 persen pemilih yang tidak pernah mendapatkan bansos mencoblos Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Hanya selisih 3,2 persen lebih rendah dari pemilih yang menerima bansos dan memilih Pasangan Calon (Paslo) 02 Prabowo-Gibran.
Begitu juga di kalangan pemilih yang pernah menerima (sudah tidak menerima lagi), sebanyak 60,1 persen tetap memilih paslon yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Pilpres 14 Februari 2024.
Dari empat klasifikasi pemilih yang diteliti Indikator, kesemuanya memenangkan Prabowo-Gibran di angka terkecil 56,9 persen hingga 60,1 persen.
Exit poll adalah survei pemilih seusai keluar dari bilik suara menyalurkan hak politiknya.
Paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di posisi kedua dalam exit poll pada kisaran angka antara 22,5 persen hingga 27 persen.
Kemudian Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD di kisaran 16,1 persen sampai 17,6 persen.
Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Buhtadi dalam keterangan tertulis menjelaskan, pemilih yang pernah menerima atau tidak (bansos) dan apakah masih menerima atau sudah tidak lagi, dukungan terhadap Prabowo-Gibran mayoritas.
Rekapitulasi Perolehan Suara Pilpres 2024
- Anies-Muhaimin 40,971,906 (24,95 persen)
- Prabowo-Gibran 96,214,691 (58,59 persen)
- Ganjar-Mahfud 27,040,878 (16,47 persen)
Bersifat Asumtif
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid mengatakan, tudingan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang didalilkan tim pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD menguntungkan suara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 bersifat asumtif.
Menurut dia, dalil dari kubu Anies dan Ganjar itu, hanya sebuah narasi propaganda untuk mendelegitimasi keterpilihan Prabowo-Gibran.
"Dalil-dalil pemohon hanya bersifat asumtif dan propaganda guna mendelegitimasi pihak terkait (paslon 02) dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024," kata Fahri saat dihubungi Senin (1/4/2024).
Fahri menjelaskan, para pemohon tidak dapat membuktikan secara konkrit kausalitas antara lokasi dan wilayah pemberian bansos oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya, dengan naiknya suara Prabowo-Gibran.
"Seperti apa perbuatannya, kapan, dan di mana, siapa, bagaimana kaitannya dengan perolehan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon presiden dan wapres?" tanya Fahri.
Karena itu, Fahri menganggap, dalil permohonan tim Ganjar-Mahfud mengenai pilihan Presiden Jokowi di pilpres hanya spekulatif. Dia menegaskan bahwa Jokowi netral dalam Pemilu 2024 ini.
"Dalil pemohon mengenai adanya penjangkaran di masyarakat bahwa pihak terkait adalah pasangan dipilih Presiden Jokowi menurut hemat pihak terkait adalah dalil yang spekulatif dan menyesatkan," ujarnya.
Lanjut Fahri mengatakan tuduhan yang didalilkan seperti lumpuhnya independensi penyelenggara pemilu karena intervensi kekuasaan, nepotisme pasangan calon nomor urut 2 menggunakan lembaga kepresidenan, pengangkatan pejabat kepala daerah yang masif dan digunakan untuk mengarahkan pilihan dan sebagainya bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab kata Fahri, kewenangan MK adalah terkait perselisihan hasil pemilu telah diatur secara tersendiri dalam Bab III Perselisihan Hasil Pemilu, Pasal 473 Ayat (3) UU Pemilu.
“Perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden,” ujarnya.
Lebih lanjut Fahri menerangkan ketentuan Pasal 475 Ayat (1) dan (2) UU Pemilu menyatakan MK hanya mengadili terhadap penghitungan suara.
"Frasa 'hanya terhadap hasil penghitungan suara' bermakna pembatasan dan bersifat tetap. Tidak ada peluang untuk memperluas kewenangan Mahkamah Konstitusi, termasuk selain dari penghitungan suara,” katanya.
Dikatakan Fahri, maka selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
“Menjadi jelas bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap hasil penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif secara terstruktur, sistematis, dan masif yang notabene pendekatannya adalah kualitatif. Sesuai dengan sifatnya, pendekatan kualitatif dan kuantitatif adalah dua hal yang berbeda,” pungkasnya. (Tribun)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.