Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hari Pahlawan

Pahlawan Nasional yang Wafat di Sulawesi Utara, Tuanku Imam Bonjol dan Kyai Modjo

Berikut ini 2 Pahlawan Nasional yang Wafat di Sulawesi Utara. Tuanku Imam Bonjol dan Kyai Modjo. Tokoh muslim terkenal.

Kolase/tribunmanado.co.id/masmoi.wordpress/IDprajuritpena
Kiai Modjo dan Tuanku Imam Bonjol. Pahlawan nasional yang wafat di Sulawesi Utara. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Jangan lupakan sejarah, ingat jasa dan perjuangan para pahlawan. Selamat Hari Pahlawan 10 November 2023. 

Banyak pahlawan yang berasal dari Sulawesi Utara yakni, Dr GSSJ Ratulangi, Arie F Lasut, Maria Walanda Maramis, Piere Tendean, Robert Wolter Mongisidi, Jahja Daniel Dharma atau John Lie, Lambertus Nicodemus Palar, Bernard, Wilhelm Lapian. AA Maramis, Arnold Mononutu. 

Selain tempat lahir para pahlawan nasional, Sulawesi Utara juga menjadi tempat sejumlah pahlawan nasional, tokoh muslim terkenal wafat.

Ada 2 tokoh muslim, pahlawan nasional yang wafat di Sulawesi Utara. Tuanku Imam Bonjol dan Kyai Modjo.

Berikut kisah 2 pahlawan nasional tersebut.

Mereka tinggal dan menyebarkan agama islam di Sulawesi Utara

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Minahasa Sulawesi Utara karena melakukan pemberontakan di tempat asalnya, yaitu Padang, Sumatera Barat.

Imam Bonjol diasingkan ke Minahasa bersama anak tertuanya yang bernama Sultan Saidi; kemenakannya, Abdul Wahid; dan orang kepercayaan Imam Bonjol, Baginda Tan Labih.

Setelah sebelumnya sempat diasingkan ke Ambon, Maluku, pada akhirnya Imam Bonjol menetap di Desa Lotta, Pineleng, Minahasa.

Selama pengasingannya di Desa Lotta, ia ditemani oleh bekas Tentara KNIL bernama Apolos Minggu.

Hingga kini, situs makam Imam Bonjol masih ada di Desa Lotta.

Bahkan, makam tersebut dijaga langsung oleh keturunan Imam Bonjol.

Selain itu, Desa Lotta juga merupakan pusat warga asal Padang yang menjadi eksil dan pada akhirnya berketurunan di tempat tersebut.

Profil Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol atau bernama Muhammad Shabab, Muhammad Syabab, Peto Syarif atau Malim Basa adalah seorang tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Sumatera Barat, Indonesia.

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada 1772.

Orangtua dari Imam Bonjol adalah Bayanuddin dan Hamatun.

Tuanku Imam Bonjol wafat pada 6 November 1864 di Manado, Sulawesi Utara.

Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki.

Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.

Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. (1)

Masa Awal Tuanku Imam Bonjol

la mendapat pendidikan agama dari ayahnya, Buyanuddin dan dari beberapa orang ulama lain, seperti Tuanku Koto Tuo dan Tuanku Nan Renceh dari daerah Agam.

Tuanku Imam Bonjol tumbuh dewasa pada waktu daerah Sumatra Barat dilanda oleh perang saudara antara golongan Padri dengan golongan adat.

Golongan paderi yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Tanah Arab, berusaha membersihkan ajaran agama dari penyelewengan dan mengembalikannya sesuai dengan ajaran Islam yang murni.

Tantangan datang dari golongan adat yang melihat gerakan baru itu sebagai bahaya terhadap kedudukan mereka.

Apabila gerakan Padri berhasil, maka golongan ulamalah yang akan berkuasa, padahal pada masa-masa sebelumnya golongan adatlah yang berkuasa.

Golongan adat yang merasa kedudukannya terancam, mencari bantuan pihak lain, yakni Inggris yang ketika itu menguasai pesisir barat Sumatra.

Usaha mereka tidak berhasil, bahkan sebaliknya Inggris menjual senjata kepada golongan Padri.

Situasi menjadi berubah ketika pesisir barat Sumatra, sesuai dengan Perjanjian London, dikembalikan kepada Belanda.

Dalam perjanjian tahun 1821 antara Belanda dan kaum adat, Belanda berjanji akan membantu golongan adat untuk menghabisi kaum Padri.

Sepasukan tentara Belanda akan ditempatkan di pedalaman Sumatra Barat.

Meski, Belanda hanya berkuasa di daerah pesisir.

Dengan perjanjian tahun 1821, maka Belanda melancarkan perang di Sumatra Barat.

Pertempuran pertama berkobar di Sulit Air, dekat danau Singkarak, dan kemudian berkobar di tempat-tempat lain dalam waktu yang cukup lama.

Sementara itu Imam Bonjol sudah tumbuh menjadi ulama terkemuka di daerah Alahan Panjang dengan pusatnya di Bonjol.

Dalam pertentangan antara golongan paderi dengan golongan adat, Imam Bonjol berdiri di pihak Padri.

Dalam usahanya mengembangkan pemahamannya, ia lebih banyak menjalankan cara persuasi, karena itu pertentangan antara kedua golongan itu di daerah Alahan Panjang tidak terjadi sehebat di daerah-daerah lain.

Bahkan Imam Bonjol berhasil pula mengembangkan agama Islam ke beberapa daerah di Tapanuli Selatan. (2)

Perang Padri

Peperangan berlangsung, kaum adat dengan dukungan Belanda tidak berhasil meraih kemenangan.

Justru keberadaan pasukan Tuanku Imam Bonjol yang sangat kuat bersama kaum padre membuat Belanda merasa semakin terancam.

Akhirnya Belanda pun memainkan siasat licik dengan berpura-pura melakukan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824, perjanjian tersebut pun dikenal dengan sebutan Perjanjian Masang.

Namun meski begitu, beberapa waktu setelah perjanjian damai, Belanda justru menyerang wilayah Negeri Pandai Sikat.

Pertempuran terus terjadi, namun kekuatan Belanda yang terbagi ke wilayah Perang Diponegoro membuatnya tidak berhasil meraih kemenangan atas Tuanku Imam Bonjol.

Akan tetapi, setelah Perang Diponegoro usai, dengan sigap Belanda mengirimkan pasukannya dalam jumlah besar untuk merebut Sumatra Barat secara keseluruhan.

Perang Padri terus berlangsung, segenap kekuatan telah dikerahkan oleh Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya

Akan tetapi, perbedaan jumlah dan kekuatan yang terlalu besar membuat satu demi satu wilayah yang dipegang oleh Tuanku Imam Bonjol direbut oleh pasukan Belanda.

Namun, setelah tiga bulan berlalu, tepatnya pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berhasil merebut kembali wilayah kekuasaannya tersebut.

Namun lagi lagi, Belanda tidak menyerah untuk menguasai Sumatra Barat.

Dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Belanda kembali menggempur Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya.

Dan pada pertemuran kali ini, pasukan Belanda dipimpin langsung oleh Gubernur Jeneral Van den Bosch.

Tapi tetap saja, Belanda tidak berhasil mengalahkan Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya.

Singkat cerita, kedudukan Tuanku Imam Bonjol dan pasukan semakin bertambah sulit, meski begitu beliau selaku pemimpin tetap tidak ingin berdamai dengan Belanda.

Periode terus berlanjut, bahkan Belanda telah 3 kali mengganti panglima perangnya agar dapat menaklukan dan merebut daerah Bonjol.

Bonjol yang terus dikepung selama tiga tahun pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1837.

Setelah wilayah Bonjol dikuasai oleh Belanda, mau tidak mau Tuanku Imam Bonjol pun menyerah terhadap Belanda. 

Hingga akhirnya beliau pun di asingkan ke beberapa wilayah di Indonesia.

Tempat pengasingan terakhir beliau adalah di tanah Sulawesi Utara, dimana akhirnya Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikebumikan di Lota, dekat Manado.

Tuanku Imam Bonjol wafat pada usia 92 tahun.

Tuanku Imam Bonjol Diangkat Menjadi Pahlawan Nasional

Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional berkat perjuangannya melawan penjajahan Belanda.

Tuanku Imam Bonjol diberi gelar itu sesuai dengan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Nama Tuanku Imam Bonjol digambarkan dalam uang pecahan 5.000 rupiah.

Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga banyak diabadikan di berbagai ruang public seperti jalan, stadion hingga universitas. (4)

Nama Lengkap Muhammad Shabab

Nama Gelar Tuanku Imam Bonjol

Lahir Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat 1772

Wafat Manado, Sulawesi Utara 6 November 1864

Orangtua : Bayanuddin dan Hamatun.

Pergerakan : Perang Padri

Kyai Modjo

Dilansir dari website kemdikbud.go.id, Kyai Modjo yang berperang bersama Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda akhirnya bisa ditangkap pada tahun 1928.

Saat ditangkap Belanda, Kyai Modjo akhirnya melunak dan mau berunding dengan Belanda.

Dalam perundingannya, Kyai Modjo sepakat untuk menghentikan perang dan diasingkan ke Minahasa.

Akhirnya, ia diasingkan ke Minahasa bersama kurang lebih 62 pengikutnya.

Kyai Modjo dan pengikutnya akhirnya menghabiskan hidup di Kampung Jaton hingga berketurunan.

Kyai Modjo meninggal pada sekitar tahun 1849.

Makam Kyai Modjo juga terletak di Kampung Jaton, Tondano, Minahasa, Sulut.

Sebagai situs bersejarah agama Islam di Minahasa, makam Kyai Modjo ramai dikunjungi terutama di hari besar agama Islam seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.(*)

Profil Kyai Modjo

Kiai Modjo atau Kiai Madja adalah sosok bernama asli Muslim Mochammad Khalifah.

Kiai Modjo lahir di Surakarta, Jawa Tengah tahun 1792.

Kiai Modjo dikenal sebagai ulama dan tokoh militer kepercayaan Pangeran Diponegoro.

Kiai Modjo merupakan kerabat Pangeran Diponegoro dan masih memiliki darah Keraton Yogyakarta.

Kiprah Kiai Modjo sendiri merupakan pengatur strategi militer saat melawan Belanda ketika Perang Jawa meletus pada tahun 1825 sampai 1830.

Berkat kepiawaiannya, Kiai Modjo juga menjadi jenderal perang sekaligus guru spiritual Pangeran Diponegoro.

Kiai Modjo sendiri meninggal di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara pada 20 Desember 1849 dalam pengasingan Belanda. (Tribunmanado.co.id/BangkaPos.com/TribunnewsWiki.com)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved