Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Boltim Sulawesi Utara

Curah Hujan Sebabkan Harga Cabai Naik di Boltim Sulawesi Utara, Diprediksi hingga Ramadan

Harga cabai naik disebabkan karena curah hujan tinggi. Kenaikan harga ini diprediksi terjadi hingga bulan ramadan.

Editor: Isvara Savitri
Tribunmanado.co.id/HO
Petani cabai di Boltim, Sulawesi Utara. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, BOLTIM - Curah hujan yang masih cukup tinggi menyebabkan harga cabai rawit di Boalaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, merangkak naik.

Kamis (23/2/2023), harga cabai rawit di Boltim mencapai Rp 70 ribu/kg.

Padahal, dua hari lalu masih Rp 50 ribu/kg.

Pedagang menyebut kenaikan harga tersebut disebabkan karena banyaknya permintaan namun kekurangan stok.

Pasalnya, sebentar lagi akan tiba bulan ramadan.

"Kalau produksi masih sedikit otomatis harga akan terus naik, mungkin bisa menyentuh harga Rp 90rb/kg. Untuk komoditi lain seperti tomat dan cabai keriting sudah mulai naik juga," ungkap Inka, salah seorang pedagang di Desa Purworejo. 

Petani mengatakan bahwa produksi cabai menurun karena curah hujan tinggi.

Hal itu menyebabkan pohon cabai layu dan harga racun serta pupuk yang naik. 

"Awalnya sih produksinya sekali panen bisa 25-30 kg, tapi karena hujan terus banyak pohon yang rusak, jadi hasilnya juga kurang sekitar 20-25 kg sekali panen. Juga harga pupuk dan racun juga naik. Mungkin untuk kedepannya produksi juga akan berkurang kalo hujan masih seperti ini," ungkap salah satu petani cabai di Boltim, Djasina Mamonto.

Di sisi lain, kenaikan harga cabai diperkirakan terus terjadi hingga bulan ramadan.

Tekan Inflasi di Kepulauan Sitaro Sulawesi Utara, John Palandung Ajak Warga Menanam

Kenaikan harga bahan pokok terjadi di seluruh daerah di Indonesia, tanpa terkecuali di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara.

Meski begitu, kenaikan harga atau biasa disebut inflasi ini tidak begitu terasa di daerah berjuluk Negeri 47 Pulau tersebut.

"Kita juga ada inflasi tapi jumlahnya sangat kecil, sehingga masih diterima masyarakat,” kata Wakil Bupati Sitaro, John Palandung, Kamis (23/2/2023).

Baca juga: Pemkab Minahasa Sabet Penghargaan Paritrana Award Tingkat Provinsi Sulawesi Utara

Baca juga: Kios Kuliner di Malalayang Manado Dibongkar, Pedagang Bingung Jualan di Mana

Dia bilang, keberadaan Kabupaten Sitaro sebagai daerah kepulauan yang bergantung pasokan bahan pokok dari luar daerah membuat Sitaro ikut merasakan kenaikan harga.

"Bumbu dapur seperti, tomat, bawang, dan cabai rawit juga beras itu naik, karena memang kita bukan daerah penghasil dan terus bergantung ke daerah lain," terang John Palandung.

"Jadi memang kita butuh biaya lebih untuk mendatangkan barang dari daerah asal agar bisa sampai ke sini (Sitaro). Makanya berdampak ke harga jual," lanjutnya.

Karena itu, John Palandung bilang, pemerintah daerhg terus mengkampanyekan Gerakan Sitaro Menanam atau Gesit Nanam yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah.

Melalui program ini, masyarakat diajak untuk memanfaatkan lahan di pekarangan rumah atau lahan tidur lainnya.

"Tujuannya agar masyarakat akan mandiri secara pangan, mulai dari keluarga masing-masing. Meskipun jumlahnya tidak banyak tapi bisa mengurangi biaya kebutuhan sehari-hari," ujarnya.

Terpisah, Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Sitaro, Richard Sasombo, menyatakan hingga saat ini kebutuhan akan bumbu dapur masih tinggi.

cabai di bolmut sulut
Cabai rawit di Boltim, Sulawesi Utara.

Dimana, data luas panen dan produksi cabai rawit, tomat, dan bawang merah, sangat kurang.

Untuk luas panen empat tahun terakhir khusus cabai rawait pada tahun 2019 hanya 19 ha, dengan jumlah produksi 306 kuintal.

Untuk tahun 2020 luas panen naik 20 ha, dengan jumlah produksi turun 251 kuintal dan di 2021 naik signifikan untuk luas panen 83,1 ha dan namun jumlah produksi justru turun lagi 118,1 kuintal.

"Sementara tahun 2022 turun lagi 44,4 ha saja dan jumlah produksi hanya 81,1 kuintal," katanya.

Sedangkan, untuk tanaman tomat luas panen pada tahun 2019 ditemukan 4 ha dengan nilai produksi 17 kuintal, di tahun 2020 naik 6 ha dengan jumlah produksi 58 kuintal.

Dan di tahun 2021 turun lagi 5,5 ha dengan jumlah produksi 20,8 kuintal, kemudian di tahun 2022 turun lagi 0,1 ha, dengan jumlah produksi 10 kuintal saja.

Data yang mengkhawatirkan untuk tanaman bawang merah luas panen hanya pernah ada pada tahun 2020 selama empat tahun terakhir, dengan sejumlah 1 ha saja, dan jumlah produksi 4 kuintal saja.

Baca juga: Perda Baru, Pemprov Sulawesi Utara Yakin 100 Persen Pekerja Terlindungi BPJS Ketenagakerjaan

Baca juga: Arti Mimpi Tentang Alis, Pertanda Baik atau Buruk? Berikut Tafsir Lengkapnya

"Ini yang menyebabkan harga jual kita tinggi di pasaran," jelas Richard Sasombo.(*)

(Tribunamanado.co.id/Teguh Mamonto/Octavian Hermanses)

Baca berita lainnya di: Google News.

Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved