Tsunami Aceh
18 Tahun Tsunami Aceh, Berikut Ini Detik-detik Bencana Mematikan Itu Datang di Minggu Pagi
18 tahun yang lalu bencana mematikan terjadi di Indonesia. Pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 9,3 Skala Rithcer (SR)
Penulis: Gryfid Talumedun | Editor: Gryfid Talumedun
TRIBUNMANADO.CO.ID - Berikut ini peringatan 18 tahun Tsunami Aceh.
18 tahun yang lalu bencana mematikan terjadi di Indonesia.
Pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 9,3 Skala Rithcer (SR) mengguncang Aceh.
Gempa berkedalaman 10 kilometer dan berpusat di 160 km sebelah barat Aceh dengan posisi 2,9 derajat Lintang Utara dan 96,6 derajat Bujur Timur itu terjadi pukul 08.00 WIB.
Baca juga: Peringatan Dini Besok Selasa 27 Desember 2022, BMKG: 28 Wilayah Patut Waspada Cuaca Ekstrem

Gempa bumi itu menjadi gempa paling hebat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
Orang-orang berhamburan keluar rumah, bangunan yang menjulang tinggi sebagian roboh menyentuh tanah.
Gempa itu menewaskan sebagian korban meski gelombang tsunami belum menyapu dataran.
Gempa bumi tersebut juga memicu gelombang tsunami dengan ketinggian lebih dari 30 meter.
Tak selang berapa lama, tsunami menyapu bersih sebagian wilayah Aceh.
Bencana alam ini menjadi peristiwa bencana alam terbesar dalam sejarah abad 21.
Gelombang tsunami datang dengan kecepatan mencapai 100 meter per detik, atau 360 kilometer per jam.
Air laut memuntahkan gelombang raksasa dengan ketinggian yang berbeda-beda.
Puncak tertinggi yakni 34,5 meter di pantai Lhoknga, Aceh Besar sebagaimana tercatat dalam buku Tsunami Aceh Getarkan Dunia (2006:5) yang diterbitkan Serambi Indonesia dan Japan - Aceh Net.
Pulau Simeulue yang menjadi wilayah paling dekat dengan episentrum membutuhkan waktu 15 menit bagi tsunami naik ke daratan salah satu kabupaten di Aceh itu usai gempa.
Fenomena unik air surut pascagempa membuat sebagian masyarakat di daratan Aceh antusias pergi ke pantai mengumpulkan ikan yang tergeletak.
Padahal itu merupakan tanda-tanda tsunami yang belakangan diketahui oleh banyak orang.
Meski demikian, kala itu tidak diketahui oleh kebanyakan masyarakat di Aceh, hal yang berbeda dengan masyarakat di Pulau Simeulue.
Kearifan lokal melalui Nafi-Nafi Smong (cerita rakyat tentang tsunami 1907) membuat masyarakat sadar akan mitigasi dan peringatan dini bencana.
Sehingga budaya smong berdampak terhadap pengurangan risiko bencana di sana, hanya tujuh orang saja yang meninggal dunia akibat tsunami 2004 di Simeulue.
Sementara secara keseluruhan, sebanyak 133.153 orang meninggal dunia (dalam versi lain ditulis 230.000 jiwa) akibat tsunami Aceh 2004.
Data tersebut sudah termasuk dari negara-negara lain yang ikut terdampak.
Sebanyak 525.00 penduduk mengungsi, sebagian rumah dan harta bendanya disapu ganasnya gelombang tsunami.
Namun yang lebih menyakitkan, mereka yang anak kehilangan ayah dan ibunya, orang tua yang kehilangan anak kesayangannya.
Kemudian ada juga abang yang kehilangan adik kandungnya, si bungsu yang kehilangan kakaknya.
Sejak pagi itu, banyak jiwa yang menjadi kelam, trauma hingga sedih berkepanjangan sebelum kemudian bangkit lagi karena meyakini semua ini adalah ujian dari yang Maha Kuasa.
Bahkan hingga 18 tahun berlalu, gempa dan tsunami Aceh masih menyisakan banyak luka bagi para korban.
Masih banyak anak yang menangis mengingat ayah dan ibu tersapu gelombang muntahan air laut kala itu, bahkan ada dihanyutkan gelombang tsunami di depan mata kepala mereka sendiri.
Masih banyak orang tua yang menitikan air mata bila mengingat masa-masa kelam itu.
Betapa dahsyat tsunami 2004 dapat tergambarkan dari berpindahnya kapal Apung sebesar 2.600 ton yang awalnya terparkir di pelabuhan Ulee Lheue.
Kapal tersebut berpindah ke pusat perumahan warga di Punge Blang Cut, Banda Aceh dengan jarak sekitar 5 kilometer dari tempat asalnya dan kini dijadikan salah satu situs tsunami.
Tak hanya itu, mesin cetak PT Serambi Prima Grafika yang mencetak Harian Serambi Indonesia di kawasan Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar mengalami hal yang sama.
Mesin cetak dengan bobot puluhan ton itu, tercabut dari dudukannya dan terpental sejauh 50 meter akibat terjangan tsunami.
Masih mengutip buku Tsunami Aceh Getarkan Dunia (2006) pada bagian yang ditulis oleh Jurnalis Senior Serambi Indonesia Yarmen Dinamika, tiga bulan pertama pascatsunami, hampir semua pengungsi tinggal di tenda.
Ada juga yang menumpang di tempat famili yang rumahnya kebetulan tidak rusak pascabencana amat dahsyat itu.
Mereka diberi bekal oleh pemerintah berupa uang lauk pauk (dana jadup) sebesar Rp 3.000 ribu per jiwa/hari.
Selain itu, World Food Program (WFP) bekerja sama dengan pemerintah Indonesia menyalurkan bantuan logistik berupa beras, minyak makan, mie instan, sarden, biskuit dan susu kepada pengungsi.
Pemberian bantuan tersebut berlangsung selama lebih dari setahun sampai mereka kembali ke rumah bantuan dan hidup secara mandiri.