Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Bitung

Mantan Direktur PDAM Bitung Divonis 10 Tahun Penjara, Kuasa Hukum Banding ke Pengadilan Tinggi

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Manado menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap RJL alias Raymond

Penulis: David_Kusuma | Editor: David_Kusuma
Handover/Kuasa Hukum Terdakwa
Foto Kiri: Sidang Putusan Dugaan Korupsi hibah air minum di PDAM Duasudara Kota Bitung tahun anggaran 2017. Foto Kanan: Soeharto Sulengkampung SH, kuasa hukum terdakwa Raymond 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Manado menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap RJL alias Raymond, terdakwa dugaan korupsi hibah air minum di PDAM Duasudara Kota Bitung tahun anggaran 2017, Selasa (6/12/2022) lalu.

Raymond merupakan mantan Direktur PDAM Duasudara Bitung. Sementara terdakwa MNL alias Nurcholis selaku mantan Regional Manager 6 Wilayah II pada PT Sucofindo divonis empat tahun penjara.

Majelis Hakim diketuai Agus Darmanto SH MH, didampingi anggota majelis Munsen Bona Pakpahan SH MH dan Syors Mambrasar SH MH

Selain itu Raymond juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp14 miliar dengan subsider empat tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider empat bulan.

Sementara Nurcholis dihukum membayar denda sebesar Rp200 juta dengan subsider 1 bulan.

Atas putusan ini, terdakwa Raymond mengajukan banding.

Terpisah, kuasa hukum Raymond, Soeharto Sulengkampung SH mengatakan, putusan hakim harus dihormati, karena itu namanya putusan, tetapi di dalam proses peradilan pidana akan ditempuh beberapa tahapan, termasuk upaya hukum lagi.

Baca juga: Berkas Tahap II, Polda Limpahkan Tersangka Korupsi PDAM Bitung ke Kejati Sulut

“Jadi jangan ada pikiran setelah ada putusan pengadilan itu ditafsir bahwa itu sudah benar, tapi kita harus melihat fakta yang terungkap dalam persidangan,” kata Sulengkampung.

Kata dia, justru karena harus dilihat bahwa berharganya suatu putusan itu dilihat dari pola pertimbangan hakim, apakah pertimbangan hakim mempertimbangkan secara obyektif, secara profesional di dalam letak kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.

“Pada akhirnya hakim tidak hanya bertanggung jawab pada hukum negara dan juga masyarakat, tapi lebih dari pada itu juga bertanggung jawab pada Tuhan,” ucap dia lagi. 

Lanjut Sulengkampung, justru karena suatu putusan itu harus dibarengi dengan pertimbangan yang akurat, teristimewa menyangkut bukti. “Jangan hanya saja melihat kepada keadaan-keadaan pembuktian yang sesuai dengan apa yang jaksa letakkan di dalam dakwaan maupun tuntutan,” ungkapnya.

Kata dia lagi, harus pada kebalikan, sebab itu adalah prinsip untuk menghormati hak asasi rakyat dalam hal ini adalah terdakwa.

“Karena itu, jangan kita membuat suatu berita bahwa seakan-akan menuduh bahwa betul orang ini sudah terbukti bersalah, karena ini putusan belum inkrah,” ucapnya.

Baca juga: Sidang Pledoi Dugaan Korupsi PDAM Bitung, Kuasa Hukum Ungkap Saksi Ahli Bukan Ahli Pengairan

“Justru karena itu yang diharapkan karena ini masih ada upaya banding, siapa tahu hakim Pengadilan Tinggi bisa memutuskan lain,” kata dia lagi.

Dia menambahkan, bisa saja dalam banding ada kebalikan, misalnya mengikuti versi penasihat hukum, bisa saja diputus bebas. 

“Apalagi ini perkara korupsi, kadangkala tendensi para hakim yang kelihatannya kalau korupsi itu harus dihukum, padahal semata-mata tidak demikian. Kalau mau menghukum kan harus mempertimbangkan unsur dari pasal itu, dibuktikan secara secara keseluruhan,” ucapnya.

“Misalnya apakah dia merugikan keuangan negara, baik yang dilakukan oleh diri sendiri, orang lain atau korporasi harus dibuktikan berapa besarnya,” ucapnya lagi.

Sulengkampung juga mengomentari uang pengganti terhadap terdakwa.

Kata dia, justru karena itu sangat menyakitkan, dari awal karena berubahnya tentang  pidana  korupsi, khususnya pasal 2 dan pasal 3 yang dahulu merupakan delik formil sekarang menjadi delik materil.

Dia menjelaskan, delik materil harus ada kerugian keuangan negara dan ditentukan siapa yang melakukan itu dan siapa yang hartanya bertambah. Orang bisa dibebaskan kalau negara tidak dirugikan, memperkaya diri sendiri dan tidak diuntungkan, kepentingan masyarakat terlayani.

“Nah di dalam perkara ini kan kelihatannya jadi 9.000 (sembilan ribu) sambungan atau beberapa puluh ribu, penambahan untuk keuangan ini, berkembang banyak sekali, berarti kepentingan masyarakat terlayani. Jangan mengabai hal-hal seperti itu, “ tandas Sulengkampung. (vid)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved