Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Memilih Damai

Manuver Politik Erick Thohir Tuai Pujian, Cendekiawan Muslim: ''Dia Bombastis''

Erick Thohir menuai pujian karena kinerjanya selama masuk dalam dunia politik dan pemerintahan di tanah air. Cendekiawan muslim berikan pujian.

Editor: Frandi Piring
Youtube Tribun Sumsel
Acara Talkshow Series Memilih, Damai dengan tema "Membaca Suara dari Daerah: Sumatera", Senin (21/11/2022). 

Surya Paloh sendiri menurutnya adalah tokoh hebat yang berani memimpin tanpa memandang etnis.

Menteri BUMN Erick Thohir. Soal harga Pertamax naik, Erick Thohir minta maaf, pemerintah diminta konsisten hingga tanggapan pengamat.
Menteri BUMN Erick Thohir. Soal harga Pertamax naik, Erick Thohir minta maaf, pemerintah diminta konsisten hingga tanggapan pengamat. (istimewa via Tribunnews)

Baca juga: Spanduk Dukungan Untuk Ganjar Pranowo dan Erick Thohir Pasangan di Piplres 2024 Banyak di Solo

Sedangkan Erick Thohir dinilai bisa menjadi pemimpin nasional ke depan, entah sebagai presiden atau wakil presiden.

"Dalam basis konteks demografi ( Erick Thohir) adalah jembatan antara generasi non milenial dengan milenial,

Saya pernah membuat tulisan pengantar buku tentang dia, di dalam itu dia adalah jembatan bukan reproduksi dari Orde Baru,

karena ia lahir ketika Orde Baru itu mulai mengkonsentrasikan kekuatan materialnya ditangan keluarga.

"Sedangkan kemampuan dia ( Erick Thohir) didasarkan pada teknikal dan profesional. Inilah basis dia sedikit bombastis,

inilah basis politik ekonominya. Jadi dia diakui sebagai orang bukan massa, tapi kemampuan profesional dan ditunjukkan di nasional," pujinya.

Sedangkan, Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Profesor Alfitri menerangkan, jika berbicara mengenai hal historis peradaban Indonesia,

bangsa Melayu sebenarnya memiliki kekuatan lebih besar karena memiliki Mataraman Jawa yang lebih oligarkis.

"Nah, Melayu inilah sebetulnya akar dari demokrasi sebenarnya dan yang saya lihat beberapa potensi-potensi

yang memang menjadi akar demokrasi itu memang muncul di Sumatera, ada marga Sumatera Barat ada Nagari, di Sumatera Utara juga ada marga.

"Inilah pembelajaran demokrasi Indonesia, sehingga pada saat kita melihat potret bagaimana Melayu memberikan semacam sumbangsih demokrasi kepada bangsa ini sangat terasa pada saat memutuskan Sumpah Pemuda," papar Alfitri.

Alfitri melanjutkan, Indonesia perlu mencari orang Jawa yang bisa menghargai bahasa Indonesia yang akarnya adalah bahasa Melayu.

"Kemudian yang kedua ketokohan yang tadi singgung Soekarno Hatta yang memang begitu tunggal ini adalah model politik awal dalam membangun Indonesia ke depan," tuturnya.

Dia menilai bahwa ada semacam pencitraan bahwa presiden harus orang Jawa dan luar Jawa. Contohnya seperti Soekarno-Hatta, Soekarno-Malik, dan Soekarno-Jusuf Kalla (JK).

"Menurut saya bagaimana jalan tengah yang dipilih untuk memimpin Indonesia dengan keberagaman, jadi pluralistik Indonesia ini merupakan sebuah kekuatan ketika itu sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini.

"Termasuk pada saat Orde Baru menerapkan politik ekspansi dengan program transmigrasinya di sinilah, memulai bahwa peradaban peradaban ini Jawa dan luar Jawa ini mulai membaur,

dalam kacamata tadi yang unggah-ungguhnya mulai luntur kemudian otokrasinya juga mulai memudar termasuk juga budaya di Melayu itu sudah lebih Jawa daripada orang lain ini yang kita lihat,

bahwa sudah terjadi semacam persilangan dimana orang sekarang bermimpi terhadap keadilan," jelasnya.

Alfitri mengungkapkan, keadilan perlu diperhatikan ketika melihat tokoh-tokoh asal Sumatera.

"Tetapi kalau misal ada tokoh yang bisa mengusung prinsip keadilan, terutama di dalam membangun Indonesia peluang itu akan besar dengan tidak memandang dia dari mana Menurut saya di pada Pemilu 2024 akan menarik

dan ditunggu oleh publik, bagaimana keadilan itu bisa menjadi tawaran bagi calon-calon kedepan, " tambahnya.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang Profesor M Sirozi mengungkapkan, Pemilu 2024 didominasi oleh generasi Z dan generasi milenial yang dibesarkan pada era digital.

Menurutnya, pemilih pemula memiliki satu karakter dan selera politik berbeda. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melihat secara kuantitatif.

"Karena suara ini sangat penting. Kalau saya baca, data dari statistik generasi Z itu merepresentasikan 28 persen dari penduduk kita

dan generasi milenial itu merepresentasikan 24 persen, sehingga kalau dikombinasikan merepresentasikan hampir 58 persen dari penduduk kita, atau hampir 144 juta," jelasnya.

Dengan demikian, sebut Raden, generasi Z dan milenial merupakan kelompok penting yang harus diperhatikan calon presiden dan calon wakil presiden.

Ia juga mengingatkan calon pemimpin untuk mewaspadai sikap generasi Z dan milenial yang realistis, sehingga sulit diimingi-imingi janji palsu atau gombalan politik tertentu.

"Jadi tidak bisa dibohongi, karena mereka ini cari info terus, mereka punya informasi dan mereka sangat Intens berkomunikasi Jadi mereka selalu verifikasi.

Kedua, mereka ini sangat independen mereka ini disebut dengan generasi yang tidak mau terlalu diatur-atur.

Sehingga capres cawapres jangan coba-coba dengan mendikte dan menggurui yang membuat mereka tidak suka, "ujarnya.

Selain itu generasi Z dan milenial ini sangat terbuka, sehingga diperlukan gagasan, ide dan terobosan baru yang tidak konvensional yang memberikan perspektif baru untuk masa depan Indonesia.

"Kita ini kan hidup di era global karena kita penduduk kita ini masih lokal. Anak muda sekarang itu mereka tidak ingin hanya jadi warga lokal, mereka ingin menjadi warga internasional dan ini tidak mudah,” tutur Raden.

Baca juga: Prabowo Subianto-Erick Thohir Disebut Duet Nasionalis Religius, Didoakan Banyak Ulama

Ikuti dan Baca Berita Update Tribun Manado di Google News

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved