Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Memilih Damai

Manuver Politik Erick Thohir Tuai Pujian, Cendekiawan Muslim: ''Dia Bombastis''

Erick Thohir menuai pujian karena kinerjanya selama masuk dalam dunia politik dan pemerintahan di tanah air. Cendekiawan muslim berikan pujian.

Editor: Frandi Piring
Youtube Tribun Sumsel
Acara Talkshow Series Memilih, Damai dengan tema "Membaca Suara dari Daerah: Sumatera", Senin (21/11/2022). 

karena oligarkinya makin kuat dan penguasa di oligarki itu adalah sekelompok orang yang memang memiliki kekuasaan akses selalu kepada partai kekuasaan," ucapnya.

Meski demikian, Ray mengaku bahwa mengajukan capres bukanlah hal yang main-main.

"Contohnya jika Ketum PDI-P Megawati misalkan memaksakan mendorong Puan Maharani tapi nyatanya elektabilitasnya hanya 2-3 persen dan jika didorong hal itu tidak akan laku," tutur Ray.

Dijelaskan Ray, pemilihan langsung saat ini membuat semua orang punya kesempatan untuk berkompetisi, untuk masuk ke dalam yang atau rekam jejak yang memungkinkan kandidat dilihat di pasar pemilu.

Terlebih, sebut dia, ada orang yang ingin memilih orang lain berdasarkan kedekatan, bukan sekadar uang semata.

"Meskipun tetap mengambil uang itu nanti, tapi pilihannya siapa yang tahu. Sehingga orang itu harus kampanye dengan prestasinya selama ini.

Kandidat yang ada saat ini menjual prestasi yang telah mereka lakukan saat menjabat, tidak ada calon pemimpin yang tiba-tiba muncul dan itu sudah habis sejak 2024 mendatang," paparnya.

Baca juga: Cendekiawan Muslim Aceh Sebut Erick Thohir sebagai Jembatan Generasi Nonmilenial dengan Milenial

Diungkapkan Ray, jika nantinya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara resmi pindah ke Kalimantan, maka Jakarta bukan lagi pusat untuk presiden-presiden selanjutnya, seperti Joko Widodo yang awalnya Gubernur DKI Jakarta.

"Dengan berpindahnya pusat pemerintah dari Jakarta ke Kalimantan, jelas hal itu nanti merubah pusat, dan besar dugaan saya Gubernur Jawa Barat

dan Jawa Tengah akan dilirik masyarakat, karena pemilihnya banyak, tetapi luar jawa juga memiliki kesempatan.

"Sehingga siapa yang sukses disana maka punya kesempatan memimpin Indonesia.

Namun, lagi-lagi, siapkah kita berkompetisi dengan sebaik mungkin dalam sistem yang terbuka ini, yang liberal ini sebelum dikunci oleh para oligarki," bebernya.

Cendekiawan muslim asal Aceh Fachry Ali menilai, politik identitas Jawa-non Jawa tidak ada sejak masa revolusi itu "dikotomi Jawa dan luar Jawa" seperti yang ditulis oleh Umar Kayam di Tempo pada tahun 1980-an.

"Di tembok-temboknya itu tertulis slogan Soekarno-Hatta padahal maksudnya itu sukar (sulit) tanpa Hatta itu di Yogyakarta," tutur Fachry.

Namun, dia mengakui bahwa pertarungan politik sejak dahulu memang sering terjadi pembelahan antara partai Jawa dan non-Jawa.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved