Berita Nasional
Akhirnya Terungkap, IPW Menduga Kombes Anton Setiawan Dilindungi Bareskrim, Dipanggil Selalu Mangkir
Mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus atau Dirkrimsus Polda Sumatera Selatan Kombes Anton Setiawan disebut menerima uang dari Rp 500 juta.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Siapa Kombes Anton Setiawan?
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menanggapi tudingan soal melindungi Kombes Anton Setiawan yang diduga terima gratifikasi dan pemerasan proyek pembangunan infrastruktur dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019.
Menurut Agus Andrianto, pihaknya telah meminta Propam Polri segera mendalami dugaan tersebut.
Baca juga: Nasib Felicia Tissue, Sempat Galau Saat Putus dari Kaesang Pangarep, Kini Jadi Sosok Berbeda
Namun begitu, Agus Andrianto enggan menanggapi soal tudingan Bareskrim melindungi Kombes Anton Setiawan.
Mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus atau Dirkrimsus Polda Sumatera Selatan Kombes Anton Setiawan disebut menerima uang dari Rp 500 juta.
Uang tersebut disetor oleh mantan Kapolres OKU Timur Sumatera Selatan AKBP Dalizon.
Keterangan tersebut disampapikan AKBP Dalizon dalam kasus suap Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel.
Lantas siapakah sosok Kombes Anton?
Kombes Anton Setiawan merupakan mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumatera Selatan.
Kombes Anton Setiawan pernah jadi atasan AKBP Dalizon.
Namun selama persidangan Kombes Anton enggan hadir ke persidangan sebagai saksi.
Hal itu membuat AKBP Dalizon serta kuasa hukumnya geram dan melayangkan protes kepada ketua Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Mangapul Tarigan, Rabu (10/8/2022).
Padahal, AKBP Dalizon pada sidang sebelumya berkali-kali menyebut Kombes Pol Anton sebagai atasannya saat itu, sempat menerima uang fee proyek Dinas PUPR Muba Rp 4,75 miliar dari total fee yang ia terima Rp 10 miliar.
Tak hadirnya Kombes Anton membuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di ruang sidang.
JPU menyebut, saksi Anton tak hadir dengan alasan masih dalam kondisi beribadah haji.
Sementara, satu saksi lain yang merupakan seorang penyidik bernama Pitoy telah berpindah tugas ke Polda Lampung.
“Untuk menghemat waktu, silahkan dibacakan (BAP)nya,”kata Hakim dalam ruang sidang.
Dalam BAP yang dibacakan JPU Kejaksaan Agung (Kejagung), Kombes Pol Anton Setiawan membantah keterangan AKBP Dalizon terkait penerimaan uang fee kepada dirinya.
Selain itu, Anton juga mengaku tak mengetahui kasus dugaan korupsi Dinas PUPR Muba yang dalam tahap penyelidikannya dihentikan terdakwa.
"Tidak ada perintah dari saya menghentikan proses penyidikan termasuk pengamanan proyek Dinas PUPR. Saya juga tidak pernah menerima uang, benda atau hadiah apapun terkait proses penghentian perkara di Kabupaten Muba," kata JPU membacakan BAP dari Anton.
Selanjutnya, pada BAP, saksi Pitoy juga membantah keterangan dari AKBP Dalizon terkait uang Rp 10 miliar dari Dinas PUPR Muba.
"Terkait perkara Dinas PUPR Muba, saya tidak pernah menerima uang ataupun hadiah. Tidak pernah tahu perkara Dinas PUPR Muba karena tidak dilibatkan dalam penyelidikan. Tidak pernah juga mengantarkan uang satu dus ke ruangan Kombes Pol Anton Setiawan," ujarnya.
Setelah BAP kedua saksi dibacakan, ketua Majelis Hakim mempersilakan AKBP Dalizon memberikan tanggapan.
"Keterangan Anton Setiawan salah semuanya Yang Mulia majelis hakim. Keterangan Pitoy ada yang tidak benar. Saksi menerima bagian uang, melakukan penyelidikan, saksi terlibat dalam mengantarkan uang," ungkapnya.
Kuasa Hukum AKBP Dalizon, Anwarsah Tarigan menyayangkan keputusan hakim yang mempersilakan ketua Majelis Hakim agar JPU hanya membacakan BAP kedua saksi yang tak hadir dalam sidang.
Padahal keterangan mereka secara langsung sangat diperlukan karena diduga ikut terlibat.
“Sudah empat kali tak hadir, semestinya majelis hakim dapat memanggil secara paksa. Bukan BAP hanya dibacakan dengan alasan waktu,” ujarnya.
Dengan dibacakannya hasil BAP tersebut, sidang selanjutnya akan dilanjutkan dengan mendengar keterangan saksi ahli.
Anwarsah menyebut, sedari awal kasus itu bergulir kliennya merasa menjadi tumbal atas kejadian tersebut.
“Dari awal klien kami merasa banyak yang janggal. Klien kami merasa dikorbankan. Tapi mereka sampai sekarang tidak dihadirkan,” ungkap dia.
Sementara, seorang JPU dari Kejagung menolak memberikan komentar terkait tidak hadirnya Kombes Anton dalam empat kali sidang berlangsung.
“Saya no comment, silahkan ke Kasipenkum,” katanya yang enggan menyebutkan nama.
Rutin setor uang
AKBP Dalizon mengaku setiap bulannya setor dari Rp 300 Juta hingga Rp 500 Juta ke atasan setiap tanggal 5 tiap bulan.
Apabila terlambat, dia akan ditagih melalui WA
"Dua bulan pertama saya wajib setor Rp 300 juta ke Pak Dir. Bulan-bulan setelahnya, saya setor Rp 500 juta sampai jadi Kapolres. Itu jatuh temponya setiap tanggal 5," ujar Dalizon di persidangan, Rabu (7/9/2022).
Pengakuan tersebut langsung mendapat reaksi dari majelis hakim yang diketuai Mangapul Manalu.
Hakim lantas bertanya dari mana uang dengan nominal besar tersebut berasal.
"Saya lupa yang mulia (uangnya dari mana). Tapi yang jelas ada juga dari hasil pendampingan," ujarnya.
"Bayarnya juga sering macet, buktinya itu dapat WA (ditagih)," jelasnya.
Dalam kesempatan ini, AKBP Dalizon juga mengungkapkan alasannya yang ingin membuka kasus secara gamblang.
AKBP Dalizon mengaku sangat kecewa atas sikap atasan maupun anak buahnya.
Dimana kata dia, saat itu ada tiga anak buahnya yang ikut diperiksa di Paminal Mabes Polri yakni tiga kanit di Ditreskrimsus Polda Sumsel bernama Pitoy, Salupen dan Hariyadi yang memohon kepadanya untuk dilindungi.
"Mereka minta tolong. Komandan tolong, kasihani anak istri kami. Tolonglah komandan, kalau komandan menolong kami sama saja dengan menolong 100 orang meliputi keluarga kami," ujarnya.
"Kenapa saya berubah pikiran untuk membuka semuanya, karena saya tahu pak Direktur menjelek-jelekkan saya di belakang.
Anggota juga mengkhianati saya, mereka tidak memenuhi janji untuk mengganti uang yang saya gunakan untuk menutupi yang mereka terima," katanya menambahkan.
Mendengar pernyataan tersebut, hakim lalu menyinggung apakah AKBP Dalizon masih sayang pada bawahannya.
"Tidak lagi pak hakim," jawabnya singkat.
Menyinggung soal aliran dana sebesar Rp10 miliar yang diduga bersumber dari Dinas PUPR Kabar Muba, AKBP Dalizon sama sekali tidak menampiknya.
Dia berujar, uang tersebut diberikan melalui Bram Rizal salah seorang Kabid Dinas PUPR Muba yang mengaku sebagai sepupu Bupati.
"Sebanyak Rp.2,5 miliar dari hasil kejahatan ini untuk saya. Terus Rp.4,250 miliar untuk Dir, sisanya saya berikan kepada tiga kanit. Terus ada Rp.500 juta fee untuk Hadi Candra," jelasnya.
Ditemui setelah persidangan, AKBP Dalizon enggan berkomentar banyak atas kasus yang kini menjeratnya.
Meski begitu, dia mengaku sangat lega telah mengungkapkan keterangan secara langsung dihadapan hakim.
"Iya, saya lega," ujarnya.
IPW Menduga Bareskrim Lindungi Kombes Anton Setiawan yang Terima Gratifikasi Rp 4,7 Miliar
Indonesia Police Watch (IPW) meminta Kabareskrim Komjen Agus Adrianto transparan dan membuka kepada publik kasus Kombes Anton Setiawan yang terlibat dalam penerimaan aliran dana dari terdakwa AKBP Dalizon.
Sebelumnya Kombes Anton Setiawan disebut terlibat dalam penerimaan kasus gratifikasi dan pemerasan proyek pembangunan infrastruktur dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019.
"Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), uang yang mengalir ke AKBP Dalizon sebesar Rp 10 miliar untuk menutup kasus di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin itu, mengalir ke Kombes Anton Setiawan sebesar Rp 4,750 miliar yang saat itu menjabat Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumsel," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangannya, Senin (12/9/2022).
Dalam dakwaan JPU, dari Rp 10 miliar itu, Rp 4,750 miliar diberikan AKBP Dalizon kepada Kombes Anton Setiawan secara bertahap.
Lalu, Rp 5,250 miliar digunakan AKBP Dalizon untuk tambahan membeli rumah senilai Rp 1,5 miliar.
Selain itu, tukar tambah mobil Rp 300 juta, membeli 1 unit mobil sedan Honda Civic Rp 400 juta, termasuk tabungan dan deposito rekening istri terdakwa senilai Rp 1,4 miliar.
"Bahkan, dalam persidangan Rabu 7 September 2022, AKBP Dalizon mengaku setiap bulan menyetor Rp 500 juta kepada Kombes Anton Setiawan. Pengakuan Dalizon ini menjadi viral di media sosial," jelasnya.
Ia menuturkan bahwa dalam persidangan kasus gratifikasi dan pemerasan Proyek Pembangunan Infrastruktur Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019 sendiri, Kombes Anton Setiawan tidak pernah hadir.
Pasalnya, JPU tidak pernah memaksa Kombes Anton untuk menjadi saksi di persidangan.
Namun, dengan terkuaknya aliran dana ini, pihaknya menilai bahwa AKBP Dalizon hanya dijadikan korban oleh institusi Polri.
"Sementara atasannya yakni Kombes Anton Setiawan dilindungi dan ditutup rapat oleh Bareskrim Polri agar tidak tersentuh hukum. Padahal, dalam kasus tersebut jelas ada persekongkolan jahat yang tidak hanya melibatkan AKBP Dalizon," ungkapnya.
"Hal ini sangat jelas terlihat karena penanganan perkara tersebut diambil alih oleh Bareskrim Polri. Artinya, dalam melakukan penyidikan, para penyidik dan pimpinan di Bareskrim tahu kalau nama Kombes Anton Setiawan muncul dalam pemeriksaan. Namun keterlibatannya diabaikan dan tidak dijadikan tersangka," sambungnya.
Padahal, kata Sugeng, kalau ditelusuri secara materiil dengan apa yang diungkap dalam dakwaan Jaksa penuntun umum, aliran dana gratifikasi diduga juga mengalir ke Kombes Anton Setiawan.
"Benang merah itu sangat terlihat jelas bahwa korupsi yang terjadi bukan hanya melibatkan AKBP Dalizon saja. Apakah Bareskrim memang sengaja melindungi koruptor di kandangnya sendiri. Pasalnya, Anton Setiawan setelah dimutasi dari Dirkrimsus Polda Sumsel bertugas di Ditipidter Bareskrim Polri," bebernya.
Anehnya, dalam penanganan kasus AKBP Dalizon tersebut, Bareskrim Polri tidak mengenakan Undang-Undang 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Akibatnya, Kombes Anton Setiawan menjadi tidak tersentuh oleh aliran uang dari AKBP Dalizon.
Padahal, kalau masyarakat biasa melakukan dugaan tindak pidana, pihak Bareskrim Polri langsung menyematkan pasal TPPU dengan mengorek semua aliran keuangan.
Termasuk, memblokir rekening bank terduga pelaku tindak pidana dan orang-orang yang mendapat aliran dananya. Ia mempertanyakan alasan UU TPPU itu tidak diterapkan bagi anggota Polri.
"IPW mendesak kepada Kabareskrim Komjen Agus Adrianto untuk bersih-bersih. Diawali dengan menuntaskan kasus gratifikasi dan pemerasan Proyek Pembangunan Infrastruktur Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019 sampai menyentuh ke atasan dan bawahan AKBP Dalizon," jelasnya.
Menurutnya, pimpinan Polri tidak boleh melindungi anggota Polri yang melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal ini untuk mewujudkan institusi Polri bebas dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.