Opini
Fenomena Politik Praktis, Perilaku Koruptif dan Dekadensi Moral di Perguruan Tinggi
Pemilihan Rektor Unsrat yang terhambat karena terus ditarik ke wilayah politik praktis menjadi sebuah fenomena yang perlu diseriusi
Penulis: dr Adi Tucunan Mkes (Pengamat Sosial Kemasyarakatan)
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemilihan Rektor Unsrat yang terhambat karena terus ditarik ke wilayah politik praktis menjadi sebuah fenomena yang perlu diseriusi, bukan karena ini terkait pemilihan pimpinan perguruan tinggi saja; tapi karena ini adalah masalah kebangsaan di mana pertaruhan kredibilitas institusi pendidikan sebagai organisasi publik yang harus berjalan lurus dan benar serta menjunjung tinggi integritas, serta etik dan moral perlu mendapat keseriusan dari kita semua.
Permainan politik praktis yang sarat kepentingan dari mereka yang mengais rejeki dari even seperti ini, ditambah lagi kemungkinan mismanajemen dalam tata kelola anggaran dari proyek pengadaan barang dan jasa di perguruan tinggi; serta good governance yang tidak tercapai optimal; membuat sebuah ‘konspirasi’ untuk saling menutupi dan melindungi kesalahan, menjadi sebuah tradisi di perguruan tinggi.
Masih teringat kasus lama, pimpinan perguruan tinggi yang sudah tercium aroma korupsi besar-besaran oleh KPK, tapi sampai detik ini tidak terdengar upaya hukumnya; karena mereka sangat pandai bermain dengan masalah hukum dan berlindung di balik aparat penegak hukum.
Bukan rahasia lagi, bahwa banyak pejabat di Indonesia yang bisa lolos dari jerat hukum karena kedekatan dengan partai politik, pejabat negara dan aparat hukum dan semua itu tidak gratis tapi mereka harus membayar harganya. Perguruan tinggi sebagai benteng moral harusnya menjadi panutan untuk menjadi jujur dan tidak tamak serta rakus; bukan sebaliknya memperkaya diri sendiri.
Kasus Rektor Universitas Negeri Lampung, Karomani yang terjaring OTT KPK memperlihatkan bahwa Perguruan Tinggi sebagai institusi penjaga moral bangsa tidaklah steril dari kasus korupsi dan mulai runtuhnya moral dan etika kaum cendekiawan di republik ini. Data ICW menunjukkan bahwa dalam periode 2006-2016 yaitu satu dekade, ada sekitar 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi; dan tren ini bukannya menurun tapi terus meningkat.
Angka kasus di atas hanya yang ditemukan, tapi banyak kasus yang tidak terselesaikan dan ditemukan walaupun kasusnya ada. Perguruan tinggi sebagai institusi yang bergerak dalam dunia pendidikan seharusnya merupakan organisasi yang menjadi mercusuar bagi masyarakat dan bangsa; tapi dengan munculnya begitu banyak kasus di perguruan tinggi semakin membuktikan ada yang salah dengan banyak perguruan tinggi di Indonesia.
Kasus korupsi hanyalah salah satu komponen rusaknya para kalangan cendekiawan di negeri ini, yang terlalu ingin hidup mewah tapi hidup tidak jujur. Sekitar 80 persen kasus korupsi di negeri ini melibatkan lulusan perguruan tinggi. Ini sangat merendahkan martabat perguruan tinggi sebagai pelaku pendidikan, sekaligus yang mengajarkan kita semua arti sebuah nilai kejujuran; tapi mereka yang hidup di perguruan tinggi ternyata tidak menjadikan moralitas sebagai panduan; tapi hanya mempelajari ilmu pengetahuan sekedar untuk mendapatkan uang dan jabatan.
Perjuangan kita untuk melawan ketidakjujuran di negeri ini masih sangat jauh nampaknya, karena masalah penyalahgunaan jabatan di Universitas terlampau besar terjadi. Ada pimpinan dan dosen perguruan tinggi yang terlibat korupsi, ada yang terlibat paham radikal, ada yang kasus pelecehan seksual dan sebagainya.
Kita menjadi tersentak dan merenung, mengapa dekadensi moral terus terjadi di tempat sakral sekelas universitas. Cara kita memandang dengan perspektif etis dan filosofis tentang makna nilai pendidikan, semakin terdegradasi karena perilaku oknum-oknum di perguruan tinggi yang memainkan skenario mencari profit, bukannya berperan dalam mencerdaskan bangsa.
Kita semua yang terlibat dalam upaya mencerdaskan bangsa, tidak benar-benar memahami esensi dari sebuah perjuangan memanusiakan manusia lain seperti yang bergaung dalam semboyan Unsrat ‘Si tou timou tomou tou’.
Mereka terjebak dengan hanya menggunakan sains untuk kepentingannya sendiri. Di perguruan tinggi, ada banyak kasus penyalahgunaan, di mana dosen mencatut nama dosen lain dalam proposal penelitian tanpa diketahui dosen lain, ada yang membuat laporan keuangan fiktif tidak sebagaimana yang dikeluarkan, karena lebih cenderung menghasilkan karya ilmiah untuk mendapatkan uang, ada proyek pengadaan barang yang di mark-up sedemikian rupa dengan kualitas rendahan, ada proyek infrastruktur yang dibuat asal-asalan sehingga negara rugi karena terlalu banyak ‘fee’ yang diambil dari proyek tersebut, ada yang mendapat keuntungan dari setiap proses penerimaan mahasiswa baru dengan menjadi calo, oknum dosen yang mendapat amplop dari setiap ujian mahasiswa dan bentuk pungli lainnya yang digunakan dengan cara halus dan banyak kasus lainnya.
Kasus terakhir, saya memiliki teman Profesor dari Universitas di Swiss yang hendak mengurus dokumen ke kementerian untuk kepentingan riset di Sulut, tapi oleh seorang pejabat diminta uang sekian juta rupiah untuk mengurus hal itu, walaupun seharusnya biayanya tidak sebesar itu. Hal-hal di atas tidak pernah terselesaikan selama bertahun-tahun dan terkesan dibiarkan.
Kita semua perlu mengembalikan lembaga perguruan tinggi seperti Unsrat ke tempat terhormat dalam aspek leadership dan manajerial, sehingga bisa melahirkan good governance di kampus sebagai organisasi publik yang menjadi pelayan masyarakat.
Kalau perguruan tinggi kita hanya diarahkan untuk mencapai prestasi akademis dengan semua predikat akreditasi dan rangking universitas, tanpa melihat ke dalam bahwa ada kultur atau budaya yang harus kita bangun untuk mencapai peradaban yang lebih tinggi dalam hal karakter dan moral; maka kita belum bisa mencapai apa yang disemboyankan sebagai ‘UNGGUL’.
Peradaban tertinggi adalah membangun budaya bukan prestasi, tapi kita di Indonesia cenderung membalikkan keutamaan sebagai prestasi; sehingga kita tidak punya budaya yang mengawal etika dan moral ke tempat yang seharusnya seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang sudah lebih maju. Kita tidak perlu mewariskan sains dan teknologi kepada anak cucu kita hanya atas nama kebanggaan prestasi; tapi yang harus kita lakukan adalah mewariskan karakter yang luhur dan unggul kepada generasi setelah kita.
Prestasi akan muncul dengan sendirinya jika konsep pembangunan karakter sudah berjalan efektif. Apakah para pemimpin perguruan tinggi di Indonesia termasuk Unsrat, berpikir sampai jauh ke sana atau hanya terjebak dengan kepentingan pragmatis, sehingga dengan mudah terjebak dalam politik praktis, berlindung di balik pemimpin daerah atau partai politik serta penegak hukum, jika kita memiliki skandal moral? Kita semua seharusnya punya kepedulian untuk melahirkan praktek-praktek yang jujur di level kepemimpinan perguruan tinggi, karena akan menuntun generasi muda kita melewati abad-21 dengan penuh tantangan dan dibutuhkan kekuatan karakter yang bisa diandalkan.
Kalau pemimpin perguruan tinggi saja sudah mengalami dekadensi moral, maka kita tidak bisa berharap banyak untuk melakukan sesuatu yang lebih dalam membantu generasi muda mencari jalannya sendiri.
Sebagai orang yang lahir dan dibimbing oleh Unsrat, saya menyadari sepenuhnya apa yang Sam Ratulangi ingatkan kepada generasi kita sekarang ini, bahwa tujuan kita menjadi pelayan publik adalah melayani manusia agar mereka bisa disejahterakan, bukan memperalat mereka sebagai objek untuk mendapatkan profit; kita tidak benar jika hanya mencari uang dari jabatan yang diamanatkan kepada kita.
Para anggota senator yang berusaha mencari pemimpin universitas, yang hanya mengandalkan uang sogokan dan transaksi jabatan untuk memilih, benar-benar tidak mempunyai hati nurani; karena mereka mengorbankan nilai-nilai fundamental dunia pendidikan, serta civitas akademika secara keseluruhan dan masyarakat pada umumnya.
Saya ingin menggugah mereka yang hanya cerdas secara akademis tapi tidak cerdas secara emosional dan spiritual; sehingga dengan mudah tanpa pikir panjang mengkhianati para leluhur pendidikan yang berpesan kepada kita semua, bahwa kita harus menjunjung tinggi martabat dan nilai-nilai pendidikan. Mereka yang ‘berdagang’ alias mencari untung di kampus, seharusnya tidak menjadi pendidik.
Negeri ini dirugikan oleh segelintir orang yang hanya menjadi benalu bagi republik ini. Mereka lulusan perguruan tinggi terbaik bahkan dari universitas top dunia, tapi sulit menjadikan karakter dan moral sebagai penuntunnya. Seorang guru besar, dianggap ‘besar’ karena kontribusinya bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat bukan membesarkan kepentingannya sendiri, jika karyanya hanya terlihat dalam jurnal ilmiah tapi terselubung skandal yang tidak beretika dalam perilakunya, itu mempermalukan dirinya sendiri.
Dies Unsrat seharusnya dijadikan momentum introspeksi dalam skala yang luas, bukan hanya sebuah perayaan seremonial belaka. Mereka yang hanya bangga dengan menggunakan seragam kebesaran bernama ‘TOGA’ sebagai anggota senat tapi tidak memiliki keluhuran budi dalam konteks mencari pemimpin; perlu sadar dan bangkit! Belum ada kata terlambat untuk memperbaiki semua kesalahan dan kekeliruan demi Unsrat yang lebih baik.
Saya hanya bisa berdiri tegak dan berkata, saya bangga menjadi bagian dari Unsrat karena karakter yang tertanam di dalamnya, bukan rasa malu karena Unsrat disoroti di panggung internasional atau dunia sebagai institusi yang lemah karena membiarkan perilaku etik yang abnormal.
Jayalah Unsrat ke depan dengan transformasi manusianya bukan gedungnya. (*)