Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

KHOTBAH

KHOTBAH - Pendeta Tidak Bisa Sendiri

Budaya di Indonesia, mungkin sama dengan budaya di Timur pada umumnya, menempatkan kaum rohaniwan, seperti pendeta, dalam strata sosial yang tinggi.

Editor: Aswin_Lumintang
Istimewa
Renungan 

Oleh: Pdt Hariman A Pattianakotta

TRIBUNMANADO.CO.ID - Budaya di Indonesia, mungkin sama dengan budaya di Timur pada umumnya, menempatkan kaum rohaniwan, seperti pendeta, dalam strata sosial yang tinggi. Sosok dan suara pendeta begitu dihargai dan didengar. Pendeta dan para rohaniwan lain begitu disegani.

Dalam kehidupan bergereja di Tatar Sunda, pengaruh budaya terhadap posisi pendeta dilukiskan melalui sosok abah. Tentu, yang bermain di sini adalah langgam budaya patriakhi. Sosok laki-laki menjadi sentral. Saat berpadu dengan agama (Kristen), abah pendeta menjadi puncak dan pusat dari seluruh langgam bergereja. Kalau abah sudah bertitah, maka segala sesuatunya selesai. Beres! Namun, kalau abah belum bersuara, umat sendiri merasa belum abdol. Maka, terjadilah apa yang disebut abah-isme. Ada semacam kemelekatan dan ketergantungan pada abah.

Baca juga: Baru Terungkap Penyebab Harry Nugraha Ceraikan Mulan Jameela: Memang Berat Hancur Rasanya

Baca juga: Gempa Terbaru, Guncang Wilayah Indonesia Selasa 5 Juli 2022, Terjadi di Banten & Jatim

Situasi serupa mungkin terjadi di banyak gereja di Indonesia. Saya pernah mendengar cerita di jemaat gereja tertentu, kalau pendeta tidak ada di tempat, maka kegiatan-kegiatan jemaat "diliburkan". Kalau pendeta sudah balik, barulah kegiatannya berjalan kembali.

Ada juga Majelis Jemaat dari gereja tertentu yang sulit atau tidak mau mengambil keputusan atau kebijakan kalau tidak ada pendeta. Mengingat, pendeta juga adalah ketua Majelis Jemaat. Jadi, harus menunggu pendeta dulu, baru mereka bisa mengambil keputusan. Dan, biasanya apa yang pendeta katakan, itulah yang akan menjadi keputusan.

Situasi semacam itu harus jujur diakui sebagai situasi yang tidak sehat. Mungkin ada pendeta -pendeta tertentu yang menyukai situasi semacam itu, sebab dengan demikian mereka merasa memiliki kekuasaan atau pengaruh yang besar. Namun, sebetulnya situasi itu akan membuat diri pendeta menjadi lelah karena akhirnya harus ikut mengurusi hal-hal yang tidak perlu sebab ia menjadi pusat segala-galanya.

Lalu, pada sisi lain, membuat jemaat dan gereja menjadi tidak mandiri. Bahkan, tidak maju!

Kondisi ketergantungan semacam itu akan membuat jemaat gereja mengalami inersia. Mandeg. Stagnan! Jemaat berjalan, tetapi hanya sebagai sebuah mekanisme rutin. Ibadah-ibadah ritual dilakukan, tetapi hanya sekadarnya saja. Bukan didorong oleh kesadaran penuh sebagai anggota tubuh Kristus, di mana masing-masing anggota memiliki kharisma atau karunia Roh Kudus untuk pembangunan "rumah rohani" dalam konteks sosial yang berubah cepat. Boro-boro merespons situasi konteks eksternal secara kreatif dan konstruktif, yang internal pun tidak terurus dengan baik.

Jim Caviezel bersaksi usai perankan Yesus di film The Passion of The Christ. Jim saat syuting memikul salib Yesus.
Jim Caviezel bersaksi usai perankan Yesus di film The Passion of The Christ. Jim saat syuting memikul salib Yesus. (Internet/istimewa)

Situasi isignifnifikansi dan irelevansi jemaat gereja itu antara lain disebabkan oleh karena "budaya" gereja yang abah-isme atau pendeta sentris. Padahal, pendeta juga manusia. Pendeta memiliki keterbatasan. Pendeta hanya salah satu di antara yang banyak. Karena itu, pendeta tidak bisa sendiri.

Allah di dalam Kristus mengaruniakan rupa-rupa karunia Roh Kudus. Semua warga jemaat pasti memiliki karunia Roh Kudus. Mereka memiliki kecakapan dan pengalaman yang luar biasa, baik jemaat di kota maupun di desa-desa.

Di sebuah jemaat, kita mendapati rupa-rupa profesi. Ada akademisi, politisi, teknokrat, birokrat, entrepreneur, sampai orang-orang yang memberikan waktu lebih banyak untuk keluarga. Peran dan kontribusi mereka sangatlah penting.

Sayangnya, dalam cukup banyak pengalaman, para profesional tidak selalu diberikan tempat dalam pelayanan jemaat atau gereja. Mungkin karena keterbatasan waktu mereka. Namun, menurut saya, sebetulnya terbatasnya keterlibatan kaum profesional itu karena keterbatasan ruang yang diciptakan untuk mereka. Jemaat/gereja lebih banyak meminta persembahan uang, bukan persembahan gagasan dan inovasi untuk pengembangan pelayanan dari mereka.

Menurut saya, warga jemaat dengan berbagai karunia dan pengalaman yang dimiliki adalah modal utama jemaat dan gereja. Seorang pemimpin jemaat seperti pendeta, penatua dan diaken, harus mampu menata dan mengelola karunia-karunia yang ada.

Untuk itu, dibutuhkan leadership yang kuat. Francis Fukuyama pernah menulis mengenai Negara Kuat, dan itu membutuhkan pemerintahan yang kuat. Pemerintahan yang kuat itu bukan pemerintahan yang otoriter, tetapi pemerintahan yang tegas yang menyelenggarakan tugas kepemimpinan dan pelayanan berbasis pada hukum, dan dengan gagasan-gagasan yang visioner
berani membawa negara mencapai cita-cita bersama. Rasanya, gereja pun membutuhkan kepempimpinan yang kuat!

Posisi pendeta dalam budaya sebagaimana yang saya singgung di atas justru dapat dipakai untuk menjadi pemimpin yang kuat. Pemimpin yang kuat itu bukan karena ia bisa melakukan dan menentukan banyak hal, tetapi melakukan pemberdayaan umat berdasarkan firman. Ia giat melibatkan sebanyak mungkin warga jemaat dalam proses-proses pembangunan jemaat di dalam konteks. Ia mendorong agar jemaat dan warga jemaat bertumbuh sesuai dengan talenta yang Tuhan karuniakan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved