Travel
3 Wisata Sejarah Islam di Minahasa, Ada yang Sudah Berbentuk Kampung
Meski masyarakat Minahasa mayoritas beragama Nasrani, agama Islam tetap berkembang pesat di tengahnya. Berikut 3 wisata sejarah Islam di Minahasa.
Penulis: Isvara Savitri | Editor: Isvara Savitri
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Sulawesi Utara (Sulut) dikenal dengan daerah mayoritas penduduknya beragama Nasrani.
Meski begitu, agama Islam juga cukup berkembang di Sulut.
Hal tersebut karena penduduk wilayah Bolaang Mongondow Raya (BMR) sebagian besar beragama Islam.
Namun, di Minahasa sendiri ada beberapa jejak peninggalan agama Islam yang dibawa oleh eksil sebelum kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Berikut beberapa lokasi perkembangan agama Islam di wilayah Minahasa:
1. Makam Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol merupakan salah satu eksil di zaman kolonial Belanda.
Ia dibuang ke Minahasa karena melakukan pemberontakan di tempat asalnya, yaitu Padang, Sumatera Barat.
Imam Bonjol dibuang ke Minahasa bersama anak tertuanya yang bernama Sultan Saidi; kemenakannya, Abdul Wahid; dan orang kepercayaan Imam Bonjol, Baginda Tan Labih.
Setelah sebelumnya sempat dibuang ke Ambon, Maluku, pada akhirnya Imam Bonjol menetap di Desa Lotta, Pineleng, Minahasa.
Baca juga: Manfaat Air Timun Bagi Rambut, Bisa Menghentikan Rambut Rontok
Baca juga: Terungkap Rahasia Manfaat Minum Air Biji Ketumbar, Diminum Setiap Bangun Tidur
Selama pengasingannya di Desa Lotta, ia ditemani oleh bekas Tentara KNIL bernama Apolos Minggu.
Hingga kini, situs makam Imam Bonjol masih ada di Desa Lotta.
Bahkan, makam tersebut dijaga langsung oleh keturunan Imam Bonjol.
Selain itu, Desa Lotta juga merupakan pusat warga asal Padang yang menjadi eksil dan pada akhirnya berketurunan di tempat tersebut.
2. Kampung Jawa Tondano

Sebelum dibuang ke Makassar, Sulawesi Selatan, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan ke Manado.
Namun pengasingan Pangeran Diponegoro di Manado tak berlangsung lama, yaitu hanya tiga tahun.
Saat di Manado, ia ketahuan berkorespondensi secara terlarang oleh seorang perwira Belanda bernama Mayor Jenderal Jan Baptist Cleerens.
Pemilik nama lengkap Bendara Pangeran Harya Dipanegara ini selama di Manado diasingkan di Benteng Nieuw Amsterdarm.
Benteng Nieuw Amsterdarm sendiri hingga kini belum diketahui secara pasti letaknya ada di mana.
Sepeninggalan Pangeran Diponegoro ke Makassar, para punakawan yang menemaninya, pindah ke yang sekarang disebut sebagai Kampung Jawa Tondano (Jaton) di Tondano, Minahasa.
Baca juga: Update Penikaman di Wenang Manado Sulawesi Utara, Seorang Mahasiswa Ditikam 2 Kali
Baca juga: Chord Dan Ku Bertemu Dia - Kezia, Lirik Lagu Aku Masih Memikirkanmu - Kezia
Di Kampung Jawa Tondano para punakawan bergabung bersama rombongan Kyai Modjo yang sudah lebih dulu diasingkan ke sana.
Di situlah peradaban Islam di Kampung Jaton berkembang pesat sampai sekarang.
Di sana, pengunjung bisa menemukan masjid hingga makam Kyai Modjo yang juga menjadi tempat wisata sejarah Islam di tengah Minahasa.
3. Makam Kyai Modjo

Dilansir dari website kemdikbud.go.id, Kyai Modjo yang berperang bersama Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda akhirnya bisa ditangkap pada tahun 1928.
Saat ditangkap Belanda, Kyai Modjo akhirnya melunak dan mau berunding dengan Belanda.
Dalam perundingannya, Kyai Modjo sepakat untuk menghentikan perang dan diasingkan ke Minahasa.
Akhirnya, ia diasingkan ke Minahasa bersama kurang lebih 62 pengikutnya.
Kyai Modjo dan pengikutnya akhirnya menghabiskan hidup di Kampung Jaton hingga berketurunan.
Baca juga: Fakta Kebohongan Mayang Soal Dapat Beasiswa FKG Universitas Moestopo, Doddy Sudrajat Cari Alasan
Baca juga: Gempa Terkini Malam Ini Minggu 3 Juli 2022, Baru Guncang di Laut, Info BMKG Magnitudo dan Lokasinya
Kyai Modjo meninggal pada sekitar tahun 1849.
Makam Kyai Modjo juga terletak di Kampung Jaton, Tondano, Minahasa, Sulut.
Sebagai situs bersejarah agama Islam di Minahasa, makam Kyai Modjo ramai dikunjungi terutama di hari besar agama Islam seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.(*)