Digital Activity
Wawancara Khusus Bersama Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulut
Tribunmanado.co.id, berkesempatan berbincang-bincang bersama Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulut Matulandi Paat Lontoh Supit SH.
Penulis: Mejer Lumantow | Editor: Rizali Posumah
Persoalan wilayah ini sangat mendasar, kenapa sangat mendasar? karena itu menyangkut hak-hak tertentu.
Tentu ada perbedaan antara wilayah non adat, dan wilayah adat.
Tetapi sekarang ini digeneralisir, buktinya sampai hari ini persoalan tanah dan agraria belum selesai selesai, bahkan amburadulnya persoalan hak tentang wilayah.
Contohnya pembangunan Ibu Kota Negara yang baru (IKN), yang ribut justru masyarakat adat di sana, wilayahnya.
Itu milik komunitas adat di sana dan itu belum beres.
Adakah Undang-Undang yang Mengatur Terkait Masalah Itu?
Undang-Undang yang mengatur masalah ini adalah UU Pokok Agraria yang menyatakan hak komunal komunitas diangkat menjadi hak komunal negara.
Apakah hal-hal semacam ini mengancam eksistensi masyarakat adat itu sendiri?
Ya sudah pasti, jika haknya tidak diakui lagi, artinya dia harus keluar dari wilayahnya dengan berbagai cara.
Kita sudah lihat dimasa lalu bagaimana pengusuran masyarakat adat bahkan dari zaman kolonial.
Apa saja yang dinilai sebagai ancaman nyata bagi masyarakat Adat sendiri, khususnya di Sulawesi Utara?
Di Sulut kita bisa lihat banyak masyarakat adat, ada tiga kluster, yakni Nusa Utara, Minahasa, dan Bolaang Mongondow.
Ini yang saya sebutkan tadi, adat dan non adat.
Sangihe dan Sitaro itu kerajaan sewaktu masa lalu, Bolaang Mongondow juga kerajaan, sedangkan Talaud bukan kerajaan, Talaud terdiri dari 18 Komunitas adat.
Kita turun ke Minahasa Raya. Minahasa itu ada 9 satuan suku, mulai dari Tountemboan, Tonsea, Tombulu dan Tolour, sisanya pecahan dari sana.