Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Liputan Khusus Kelelawar Hitam

Kelelawar Hitam: Tersaji di Meja Makan, Nyaris Punah di Alam

Ada 2 jenis kelelawar yang paling banyak diperdagangkan di Sulawesi, kelelawar sulawesi (Acerodon celebensis) dan kelelawar hitam (Pteropus alecto)

Penulis: Isvara Savitri | Editor: Finneke Wolajan
Co Executive Director PROGRES Sulawesi dan Peneliti Kelelawar, Sheherazade
Kelelawar hitam (Pteropus alecto) yang banyak mendiami beberapa daerah di Sulawesi 

Bahkan, Shera menyebut ada kapal khusus dari Buton, Sultra yang dipakai mengambil daging kelelawar dari Nusa Tenggara. Pasokan daging kelelawar tersebut kemudian dikumpulkan di Sulsel sebelum didistribusikan ke daerah lain di Pulau Sulawesi. Meski begitu, ada pula daging kelelawar dari Buton yang langsung dijual ke beberapa pengepul di Sulut.

Pasokan daging kelelawar yang didatangkan dari luar daerah ini menjadi salah satu indikator populasi kelelawar hitam di Sulut menurun drastis. Salah seorang warga asal Modoinding bernama Frandi Priring (26) yang sampai sekarang terbiasa mengonsumsi kelelawar dari hasil buruan, mengaku kini kesulitan mendapatkan kelelawar dari habitatnya.

Beberapa tahun lalu, Frandi dan sang ayah bisa berburu kelelawar di kebun. Kini, mereka  harus menempuh jarak kurang lebih 3-10 kilometer masuk ke dalam hutan untuk memburu kelelawar. Untuk menangkap kelelawar, Frandi menggunakan jaring yang dipasang di atas pohon dengan ketinggian tertentu. “Kalau pas banyak, bisa dapat sampai 20 hingga 30-an ekor dalam satu perangkap. Bisa untuk makan satu minggu,” terangnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK), Diah Irawati Dwi Arini. Pada tahun 2010 saat ia meneliti keberadaan kelelawar hitam di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di Bolaang Mongondow, Arin hanya berhasil menjaring 1 ekor kelelawar hitam. “Waktu itu saya sekitar 3 hari di Gunung Imandi Maelang, hanya ketangkap satu kali. Metodenya dengan memasang jaring di ketinggian 600 hingga 700 mdpl,” jelas Arin.

Peneliti Kelelawar sekaligus Pendiri Konservasi Kelelawar Sulawesi, Jusuf Kalengkongan, menyebut bahwa sejak tahun 2015, koloni kelelawar di Sulut bahkan hingga Gorontalo memang sudah tidak terdeteksi lagi keberadaannya. Kini, yang tersisa hanya beberapa keluarga kelelawar yang hidupnya terpisah.

Menurut Shera, kelelawar hitam memiliki jumlah ribuan individu per koloni dalam satu situs. Jika ada warga yang masih berhasil memburu kelelawar hitam di Sulut, Shera menyebut kelelawar hitam sedang melintas untuk mencari makan. Pasalnya, kelelawar memiliki dua lokasi berbeda untuk beristirahat (resting site) dan mencari makan (foraging site).

Kelelawar bisa bermigrasi atau mencari makan sejauh puluhan kilometer. Bisa dari satu provinsi ke provinsi lain. Misalnya saja di Australia, mereka ada migrasi musiman, menempuh jarak belasan hingga puluhan kilometer.

Kepentingan Komersial

Sulitnya pelestarian kelelawar hitam salah satunya disebabkan karena spesies ini belum masuk ke daftar hewan dilindungi. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor P. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, jenis kelelawar hitam belum termasuk satwa yang dilindungi.

Penjualan daging kelelawar hitam (Pteropus alecto) di Pasar Tomhon, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (14/5/2022).
Penjualan daging kelelawar hitam (Pteropus alecto) di Pasar Tomhon, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (14/5/2022). (Tribunmanado.co.id/Isvara Savitri)

Dalan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) kelelawar hitam juga baru memiliki status Least Concern (LC). Namun, dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), kelelawar hitam masuk ke dalam kategori Appendix II yang artinya spesies ini terancam punah jika perdagangan terus dilanjutkan tanpa ada pengaturan.

Para peneliti berpendapat bahwa perdagangan daging kelelawar khususnya kelelawar hitam di Sulut harus dihentikan agar perburuan kelelawar hitam juga berhenti. Shera menyebut, faktor utama masyarakat Minahasa masih mengonsumsi daging kelelawar hitam hingga kini karena barangnya selalu tersedia di pasar.

“Kalau dalam hal komersial harus dihentikan di Sulut. Percuma berkoar-koar sudah mau punah, tapi daging kelelawar hitam masih ada di pasar. Masyarakat kan tidak tahu kalau jumlah kelelawar hitam di Sulut bahkan Gorontalo sudah berkurang, makanya dipasok dari provinsi lain,” ujar Shera.

Meski berlangsung turun temurun, konsumsi daging kelelawar hitam di Sulut tidak ada hubungannya dengan budaya masyarakat melainkan faktor konsumerisme. Hal tersebut diungkapkan oleh Peneliti Kelelawar sekaligus Dosen Kehutanan Universitas Sam Ratulangi Manado, John Tasirin.

“Sekarang sudah masuk ke konsumerisme karena dikonsumsi sehari-hari dalam jumlah besar. Kalau dulu, orang hanya tangkap kelelawar hitam menggunakan tongkat, pisau, atau senapan angin, sehingga dalam satu malam hanya mendapat 1-10 ekor untuk dikonsumsi sendiri,” jelas John.

Padahal, jika pasokan daging kelelawar dihentikan, tidak akan menjadi masalah besar bagi masyarakat Minahasa. Pasalnya, konsumsi daging kelelawar oleh masyarakat Minahasa dianggap sama seperti daging lainnya. “Kalau tidak ada, tidak apa-apa juga. Kami semua di sini makan apa saja,” ujar pedagang daging satwa liar Robert.

Halaman
123
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved